“Umumnya, kunjungan luar negeri pertama seorang menteri luar negeri (menlu) merupakan suatu kegiatan diplomatik yang sangat penting karena dapat mencerminkan kebijakan luar negeri yang baru dari suatu negara”, demikian diucapkan mantan Menlu China Tang Jiaxuan (1998-2008) dalam buku memoarnya setebal 366 halaman yang berjudul “Heavy Storm and Gentle Breeze: Tang Jiaxuan’s Diplomatic Memoir” dan diterbitkan Foreign Languages Press, Beijing tahun 2011.
Dan dalam satu bab khusus yang diberi judul “The New Foreign Minister’s First Overseas Visit: Indonesia, Tang kemudian menceritakan pengalamannya menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang dikunjunginya setelah ia dilantik sebagai Menlu China pada bulan Maret 1998. Indonesia dipilih sebagai negara pertama yang dikunjunginya karena melihat Indonesia sebagai negara besar di ASEAN dan merupakan mitra strategis di kawasan. Selain itu, Pemerintah China ingin menunjukkan simpati kepada negara-negara di ASEAN yang sedang terkena dampak krisis ekonomi 1998, khususnya Indonesia. Pemerintah China juga ingin mendapatkan penjelasan dari tangan pertama mengenai dampak krisis ekonomi di Asia Tenggara dan menyampaikan keinginannya untuk ikut membantu Indonesia dan negara ASEAN lainnya mengatasi krisis ekonomi.
Tang menggambarkan bahwa dalam kunjungan yang berlangsung pada tanggal 11-12 April 1998 atau hanya sekitar 3-4 minggu setelah pelantikannya sebagai Menlu China, ia sangat disambut hangat dan penuh antusias oleh Pemerintah Indonesia. Kehangatan tersebut tampak dari sikap Pemerintah Indonesia untuk menerima kunjungan kerjanya meski dilakukan pada saat libur akhir pekan. Suatu praktik keprotokolan dalam dunia diplomasi yang relatif jarang dilakukan di Indonesia pada saat itu.
Dalam kunjungan yang tidak sampai 48 jam di Indonesia, Tang tidak saja dipertemukan dengan Menlu Ali Alatas di gedung Kemenlu di Pejambon, tetapi ia pun diterima Presiden Soeharto di Istana Negara dan berkesempatan menyampaikan secara langsung surat dan pesan dari Presiden China Jiang Zemin. Tang menyampaikan bahwa Pemerintah China siap membantu Indonesia tanpa syarat dan dapat memahami sikap Indonesia untuk berunding dengan IMF dalam rangka menyelesaikan krisis ekonomi. Tang menilai bahwa semua pengaturan kunjungan kerjanya yang berjalan dengan sangat baik dan pertemuannya dengan pejabat tertinggi negara di Indonesia memperlihatkan sikap Pemerintah Indonesia yang menyambut baik sinyal dan gesture Pemerintah China untuk semakin mempererat hubungan kemitraan kedua negara.
Lebih jauh, Tang juga menceritakan langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah China di tengah krisis ekonomi yang terus memburuk di Indonesia dan berujung pada krisis politik menyusul mundurnya Soeharto sebagai Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998. Pemerintah China sangat merisaukan perkembangan ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia tersebut, yang tidak saja dapat berdampak pada kondisi kawasan di Asia Tenggara tetapi juga bagi kondisi dalam negeri China. Selain itu, China pun risau terhadap nasib sekitar 7 juta etnis China dan sekitar 200 ribu warga negaranya di Indonesia.
Pemerintah China tidak dapat menutup mata terhadap kerusuhan Mei 1998 dimana banyak korbannya adalah anggota masyarakat keturunan etnis China. Untuk itu melalui Kedutaan Besarnya di Jakarta, Pemerintah China melakukan serangkaian aksi penyelamatan dan evakuasi warganya dan anggota masyarakat keturunan etnis China di Indonesia dengan mengunjungi tempat-tempat kejadian seperti antara lain di Jakarta dan Kalimantan.
Sebagai Menlu, Tang secara berulang-ulang menyampaikan sikap tegas negaranya untuk melindungi warga negaranya dan keturunan etnis China di Indonesia agar tidak menjadi korban kerusuhan. Untuk itu, ia menugaskan staf kedutaannya di Indonesia untuk secara aktif melakukan evakuasi warga negaranya dan keturunan etnis China. Ia juga memerintahkan kedutaannya untuk melonggarkan dan mempermudah permohonan warga negara Indonesia keturunan etnis China untuk berkunjung dan tinggal lebih lama di China, termasuk memberi bantuan pendidikan bagi anak-anak mereka.
Mengingat status hukum keturunan etnis China di Indonesia adalah warga negara Indonesia, Pemerintah China pun tidak lupa mendorong pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan yang sama bagi semua warga negaranya, termasuk warga negara keturunan etnis China. Bahkan guna menyampaikan sikap serius Pemerintah China, secara khusus Tang menemui Alatas di sela-sela pertemuan ASEAN Regional Forum di Manila pada bulan Juli 1998.
Tang menyampaikan ke Alatas bahwa serangan terhadap warga keturunan etnis China di Indonesia dapat memunculkan kemarahan masyarakat China di seluruh dunia. Sebagai negara asal keturunan etnis China, Pemerintah China meminta Pemerintah Indonesia untuk sungguh-sungguh melakukan berbagai langkah dan upaya perlindungan dan penanganan konflik, serta menjamin kerusuhan serupa tidak lagi berulang.
Menutup cerita pengalamannya mengenai perkembangan hubungan bilateral Indonesia-China, khususnya di tengah krisis ekonomi, Tang mengungkapkan mengenai perlunya Indonesia dan China untuk terus belajar dari sejarah dan menatap ke masa depan. Hubungan persahabatan kedua negara yang telah berlangsung sejak dua abad yang lalu dan peran Indonesia sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang membuka hubungan diplomatik dengan RRC, tidak dapat diabaikan begitu saja meski masih terdapat isu-isu sensitif, termasuk isu yang terkait dengan keturunan etnis China di Indonesia.
Khusus terkait korban kerusuhan Mei 1998 dimana korbannya banyak yang berasal dari keturunan etnis China, secara jujur Tang mengakui bahwa sebenarnya keturunan etnis China sebenarnya bukanlah target, tetapi lebih sebagai korban akibat dari puncak ketidakpuasan politik, ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia yang sudah lama terpendam. Dan secara kebetulan tingkat ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia keturunan etnis China banyak yang lebih baik dari pada masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dan karena itu, sambil tetap memberikan perhatian terhadap isu etnis China di Indonesia, Tang melihat perlunya kedua negara terus meningkatkan upaya membina hubungan kedua negara. Dan dalam satu dekade terakhir ini, hubungan Indonesia-China terlihat semakin erat.
Indonesia dan China telah menandatangani Deklarasi Kemitraan Strategis sejak tahun 2005. Hubungan perdagangan kedua negara juga terus meningkatkan dan terus menuju rekor baru dimana pada tahun 2011 saja sudah mencapai angka sebesar US$ 60 milyar dan China menjadi mitra dagang terbesar kedua bagi Indonesia setelah Jepang. Dalam kehidupan bermasyarakat, Tang mengakui berbagai perkembangan positif telah terjadi paska reformasi di Indonesia, dimana antara lain diakuinya hak-hak kemasyarakatan warga masyarakat warga negara Indonesia keturuna etnis China, sama seperti warga negara Indonesia lainnya.
Secara keseluruhan, buku memoar karya mantan Menlu Tang Jiaxuan ini layak dibaca oleh para pemerhati hubungan internasional, khususnya yang ingin mengetahui sepak terjang diplomasi RRC di dunia. Sebagai mantan Menlu yang menjabat selama dua periode dan kemudian menjabat sebagai State Councilor (pejabat tinggi negara dibawah Presiden, Ketua Parlemen dan PM), informasi yang disampaikan sangat valid dan informatif, serta menggambarkan potret sejarah diplomasi China kontemporer. Dan cara bertutur Tang dalam buku memoarnya tidak seperti kebanyakn mantan buku-buku otobiografi sebagaimana umumnya ditulis oleh mantan pejabat Indonesia.
Dengan sangat detail, Tang menceritakan kejadian-kejadian yang berlangsung pada saat itu disertai pandangan-pandangannya mengenai hubungan China dengan negara lain dengan tulisan yang santun dan memperlihatkan kualitasnya sebagai salah satu diplomat sangat senior di China.
Menariknya, selain membahas isu-isu substansial, Tang juga menceritakan hal-hal yang terkesan remeh-temeh dalam praktik diplomasi tapi justru penting dalam membina hubungan persahabatan secara personal. Tang misalnya menceritakan mengenai sikap Alatas saat bertemu di toilet usai pertemuan di Kemenlu. Ketika Tang akan mencuci tangan di wastafel, dengan sopan Alatas, yang berada di sampingnya, menekan tombol kran dan sesudahnya memberikan handuk kecil untuk mengeringkan tangan. Menurut Tang, apa yang dilakukan Alatas sangat jarang dalam praktik diplomasi. Dan menurutnya hal tersebut justru penting untuk memperlihatkan respek dan ketulusan yang sungguh-sungguh untuk membina hubungan persahabatan secara personal.
Selain cerita mengenai hubungan Indonesia-China di masa krisis ekonomi 1998, terdapat 10 tulisan lain yang menggambarkan tonggak-tonggak diplomasi RRC selama periode 1998-2008 menghadapi perkembangan global seperti upaya diplomasi RRC menghadapi isu terorisme paska peledakan bom di New York 2001, negosiasi China dengan Rusia, Jepang dan Vietnam mengenai masalah perbatasan, masalah uji coba senjata nuklir ataupun hubungan China dengan Uni Eropa dan Afrika. Semua isu-isu tersebut hingga kini tetap aktual dan terus dibicarakan dalam berbagai forum global. Dan karenanya jika ada kesempatan, tidak ada salahnya untuk membaca buku ini.
Kelihatannya buku yang menarik, mas Aris. Diterbitkan dalam bahasa Inggris ya, mudah-mudahan bisa ada buku versi bahasa Indonesia-nya.
@Vavai, memang menarik mas. Bukan hanya menyebutkan tentang tragedi Mei 1998, tetapi juga ada pandangan China ttg pembomam 2001, peledakan kedutaan China di Yugoslavia, hubungan China dg negara21 Afrika dsb. Buku tsb bisa dibeli online di Amazon dot com, cuma memang belum ada bahasa Indonesianya.
membaca ulang tulisan mas aris ini, saya merasakan hebatnya para menlu china dan juga Indonesia.
salam
Omjay