Sejalan dengan penetapan UNESCO bahwa batik merupakan warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia, pada Jumat 2 Oktober 2009 masyarakat Indonesia beramai-ramai mengenakan batik seperti layaknya menghadiri resepsi perkawinan. Tidak ketinggalan petugas pintu tol, yang biasanya berseragam biru muda, di hari yang “istimewa” itu mengenakan batik. Sementara di dunia maya, Masyarakat Indonesia pun ramai-ramai memasang status di fesbuk dan menampilkan foto profil ataupun foto bersama mengenakan batik. Tidak lupa pula twitter, plurk dan bentuk-bentuk microblogging lainnya dipenuhi dengan kata batik.
Respon yang luar biasa dari masyarakat Indonesia dalam menyambut keputusan UNESCO dan menjadikan tanggal 2 Oktober sebagai “batik day” kiranya patut diapresiasi dengan baik. Namun seperti kebiasaan masyarakat kita yang cenderung bersikap responsif dalam menanggapi suatu permasalahan dan hangat-hangat tahi ayam dalam melakukan sesuatu, maka saya berharap agar “batik day” tidak diartikan secara sempit yaitu berbatik ke kantor hanya pada tanggal 2 Oktober alias setahun sekali.
Makna “batik day” hendaknya dipahami secara lebih luas sebagai upaya untuk mewarisi budaya nasional. Sebagai ahli waris yang sah, masyarakat Indonesia tentunya dapat memelihara tradisi membuat dan mengenakan batik dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya berbatik ketika ada klaim dari negara lain.