Monthly Archives: November 2009

Hendropriyono dan Ganyang Malaysia

Bagi banyak orang, nama Abdullah Mahmud Hendropriyono, mantan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan di era Presiden B.J Habibie dan Kepala Badan Intelijen Negara di era Presiden Megawati Soekarnoputri, mungkin tidak terlalu asing. Namun bahwa beliau adalah kakak kandung tetangga depan rumah, saya baru mengetahuinya belum lama ini. Sebagai penghuni baru di sebuah perumahan di Bekasi Barat, saya memang belum banyak mengenal dekat tetangga sekitar.

Jumat, 20 November 2009, tetangga depan rumah saya, Bapak dan Ibu Heri Wibowo mengundang tetangga sekitar menghadiri upacara midodareni*. Dalam acara ini hadir pula Pak Hendropriyono, kakak ipar Heri Wibowo.

Soekarno: Head To Nation

Dalam kesempatan merapihkan file beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan majalah Newsweek terbitan 15 Februari 1965 dengan gambar sampul foto mantan Presiden RI Soekarno dalam pakaian kebesarannya. Berita Presiden Soekarno saat itu layak menjadi headlines terkait gonjang ganjing politik di Indonesia dan kekhawatiran jatuhnya Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya ke tangan komunis. Kekhawatiran tersebut diungkapkan dalam salah satu artikelnya yang berjudul Soekarno: Head To Nation. Mengutip judul artikel Newsweek tersebut saya pernah membuat postingan berjudul sama di  DISINI. Untuk itu dalam tulisan ini saya tidak akan mengulang keseluruhan hal yang telah saya kemukakan disana. Saya mencoba menuliskannya kembali dari sisi yang berbeda.

Indonesia’s Environmental Diplomacy in the South China Sea

  Indonesia’s foreign policy is shaping by various factors such as the nation’s history, its geographic conditions, its demography and its security and national interest. These factors prompted Indonesia to adopt a foreign policy that is independent and active.

As we may aware, the issues on environment have a broad aspect, from the issues of our daily life to global economic and politics, from environment in our neighborhood to the issues of climate change. Talking about environmental issues, we can say that all of those issues connected to the Indonesia’s national interest. Combating environmental degradation should be a key strategic. In this regard, we could understand if Indonesia puts issues on environment on their foreign policy and promotes bilateral and multilateral cooperation actively.

First Achievement On Indonesia’s Diplomacy

The Linggajati Agreement was a key political accord in the struggle of Indonesia for Independence. When the Republic of Indonesia proclaimed its independence on August 17, 1945, right after Japanese surrender to the Allies, Colonialist Government of Dutch tried to regain control of the former East Indies by sending more troops to attack Indonesian strongholds. It was noticed that between 1945 and 1949 they undertook two military actions.

In this regard, the freedom fight continued and Dutch military aggressions met with solid resistance from Indonesian troops. Along with military action, the young Republic of Indonesian conducted also a diplomatic offensive against the Dutch. Indonesia raised the Dutch’s invasion to the United Nations and pushed the Dutch Government to negotiate.

Uni Eropa Pasca Traktat Lisbon

Setelah menunggu 2 tahun, akhirnya pada tanggal 1 Desember 2009 mendatang Traktat Lisbon dipastikan secara resmi akan diberlakukan bagi seluruh negara anggota Uni Eropa (UE). Kepastian ini diperoleh setelah pada hari Selasa (3 November 2009) Presiden Ceko Vacvlav Klaus akhirnya menandatangani Traktat Lisbon. Ceko menjadi negara terakhir yang menyatakan kesediaannya untuk menandatangani Traktat Lisbon.

Dengan telah ditandatanganinya Traktat Lisbon oleh seluruh negara anggota UE yang berjumlah 27 negara, berakhirlah ketidakpastian mengenai kelanjutan proses integrasi dan masa depan UE. Traktat Lisbon ini sekaligus pula akan menggantikan traktar sebelumnya yaitu Traktat Nice 2001.

Gaya Bahasa Diplomasi

Enggak usah terlalu santun dan berputar-putar dech ngomongnya, kayak diplomat aja. Begitu sering kita dengar pernyataan yang ditujukan kepada seseorang yang menggunakan bahasa yang santun dalam menunjukkan suatu fakta, dengan mempergunakan kata tak langsung. Misalkan menggunakan kata “langsing” untuk menyebut “kurus”, “Wah kamu langsing sekali ya ? (padahal mungkin maksudnya adalah “wah kamu kok kurus sekali, apa kurang makan ?”).

Dalam tata krama diplomatik, adalah suatu kelaziman untuk mempergunakan bahasa yang santun sebagai bagian dari tata krama pergaulan, baik dalam forum negosiasi, konferensi, pesta diplomatik ataupun sekedar pertemuan informal. Pada kesempatan-kesempatan tersebut seorang diplomat lebih memilih menggunakan kata atau kalimat tak langsung dalam mengekspresikan pendapatnya, terutama ketika menyatakan persetujuan atau penolakan.