Monthly Archives: August 2012

Liang Liji Duta Hubungan Indonesia-Tiongkok

Awal hingga pertengahan tahun 1970-an merupakan masa-masa sulit bagi jurusan Bahasa Indonesia di Univeristas Peking, Beijing, Tiongkok. Sejak terjadinya pemutusan hubungan diplomatik RI-RRT pasca pemberontakan G30S/PKI di Indonesia tahun 1965, jumlah mahasiswa yang mendaftar dan belajar di salah satu universitas ternama dan tertua di Tiongkok tersebut terus menurun dan universitas pun kesulitan mendapatkan referensi bahan pengajaran mengenai Indonesia. Karena itu banyak yang kemudian menyarankan agar jurusan Bahasa Indonesia dihapuskan.

Di tengah situasi sulit tersebut tampil sosok Prof. Liang Liji. salah seorang Huaqiao asal Bandung, Jawa Barat dan tenaga pengajar pada jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Peking. Ia tidak sependapat dengan rencana penutupan jurusan Bahasa Indonesia dengan alasan bahwa universitas tidak bisa begitu saja menutup jurusan tersebut hanya karena adanya pemutusan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Memang pemutusan hubungan diplomatik RI-RRT telah mengakibatkan penurunan minat mahasiswa untuk belajar Bahasa Indonesia dan kesulitan mendapatkan referensi, tetapi bukan berarti Bahasa Indonesia tidak diperlukan di Tiongkok.

Huaqiao Beijing Rindu Indonesia Raya

Ada pemandangan istimewa di kegiatan upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-67 di halaman KBRI Beijing yaitu kehadiran sekelompok warga masyarakat Cina berusia lanjut. Mereka adalah para Huaqiao, sebutan bagi warga negara Cina yang tinggal di perantauan, yang bersama orang tua dan anggota keluarga lainnya pernah tinggal di Indonesia pada sekitar tahun 1960-an. Terdapat sekitar 100 orang Huaqiao Indonesia yang hadir pada upacara tersebut.

Usia senja tidak menghalangi semangat para Huaqiao Indonesia untuk datang ke KBRI Beijing dan mengikuti setiap rangkaian acara dengan tertib dan penuh semangat. Meski upacara baru dimulai tepat pukul 10 pagi, para Huaqiao Indonesia tersebut sudah mulai berdatangan sejak pukul 8 pagi. Mereka tidak ingin terlambat dan tertinggal setiap momen dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI.

Melongok Dinamika Politik Mongolia

Dalam postingan terdahulu saya sudah bercerita sedikit tentang Ulaanbaatar, ibu kota Mongolia dan tempat tinggal sekitar 45 persen penduduk Mongolia yang secara keseluruhan berjumlah 2,8 juta orang. Kali ini saya akan bercerita mengenai kehidupan demokrasi di Mongolia, negeri tak berpantai (landlock) yang diapit dua negara besar, Rusia dan China. 

Cerita saya awali dengan terpilihnya Ketua Partai Demokrat Norovyn Altankhuyag sebagai perdana menteri menggantikan incumbent Perdana Menteri Sükhbaataryn Batbold dari partai Rakyat Mongolia pada rapat pleno anggota Parlemen Mongolia (State Great Khural) tanggal 8 Agustus 2012 lalu. Terpilihnya Altankhuyag sebagai perdana menteri baru sangat menarik perhatian mengingat proses penunjukannya yang berlangsung alot dan membutuhkan waktu maksimal selama 45 hari seperti yang diamanatkan Konsitusi Mongolia.

Menarik, karena meski Partai Demokrat yang dipimpin Altankhuyag memenangkan pemilu legislatif yang berlangsung pada tanggal 28 Juni 2012, partai tersebut tidak otomatis dapat membentuk pemerintahan baru. Hal tersebut bisa terjadi karena kemenangannya tidak bersifat mayoritas (50 persen+1). Partai Demokrat hanya memenangkan 31 kursi dari 76 kursi parlemen yang diperebutkan atau kurang 8 kursi dari yang dipersyaratkan. Akibatnya, agar bisa membentuk pemerintahan baru, Partai Demokrat mesti melakukan kerjasama atau koalisi dengan partai peserta pemilu lainnya agar memenuhi syarat minimum 39 kursi parlemen.

Cerita dari Ulaanbaatar

Dari jendela pesawat B737-200 Air China terlihat deretan perbukitan yang dilapisi hamparan padang rumput menyerupai karpet hijau. Nyaris tidak ada tumbuhan besar yang terlihat kecuali rerumputan yang tumbuh subur Sementara di kawasan lembah terlihat rumah-rumah penduduk dengan disain arsitektur sederhana, bahkan tidak sedikit di antaranya berbentuk tenda-tenda bulat.

Menjelang pendaratan terjadi sedikit guncangan di udara karena awan dan terjangan angin yang cukup kuat. Saat mendarat di bandara Chinggis Khaan Ulaanbaatar Mongolia, sekali lagi terjadi guncangan, kali ini disebabkan oleh landasan bandara yang tidak mulus. Masih dari jendela pesawat, sepanjang perjalanan menuju belalai kedatangan, terlihat beberapa rongsokan helikopter militer dan pesawat milik Mongolia Airlines teronggok di pinggir landasan.

Jangan bandingkan bandara Chinggis Khaan dengan bandara di Beijing atau bahkan Soekarno-Hatta, bandara ini cukup sederhana, mirip bandara-bandara yang ada di beberapa provinsi di Indonesia. Selesai dengan urusan keimigrasian dan barang bawaan, kami segera meninggalkan bandara menuju pusat kota Ulanbaatar.

Beijing Sang Primadona

Cuaca cerah dengan suhu berkisar 19 derajat Celcius, cukup sejuk dibandingkan suhu Jakarta yang berkisar 31 derajat Celcius, menyambut kami sekeluarga saat pertama kali tiba di Beijing. Pesawat yang kami tumpangi mendarat mulus di Bandar Udara (Bandara) Internasional Beijing, China, pada tanggal 8 September 2011, setelah sebelumnya menempuh perjalanan sekitar 10 dari Jakarta via Hong Kong. Dari jendela pesawat terlihat bangunan bandara yang besar, megah dan modern dengan tidak meninggalkan ciri khas arsitektur dan ornamen Cinanya. 

Keluar dari pintu pesawat, kami segera menuju tempat kedatangan bandara yang terlihat begitu luas dan megah dengan atap bangunan yang ditopang tiang-tiang baja yang menjulang tinggi. Dari informasi petugas bandara, diketahui bahwa kami berada di terminal 1, sementara tempat kedatangan berada di terminal 3. Setelah selesai dengan urusan keimigrasian di terminal 1, kami pun segera menuju menggunakan sky train yang menghubungkan terminal 1 dan 3. Tidak perlu menunggu lama karena sky train tiba setiap 2 menit sekali. Terus terang, melihat kemegahan dan fasilitas sky train yang terdapat di bandara, tiba-tiba saja saya merasa bahwa Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta yang baru saya tinggalkan beberapa waktu lalu, seperti tua dan usang.  Bayang-bayang bahwa negara yang menganut paham sosialis biasanya suram dan statis pun hilang begitu melihat kemegahan dan kebesaran Bandara Internasional Beijing.   

Anyer dan Daendles

Mercu Suar AnyerAPA yang terlintas di benak anda jika mendengar nama Anyer? Sebagian dari anda mungkin akan teringat dengan proyek pembangunan jalan sepanjang 1.000 km antara Anyer dan Panaroekan yang dibangun saat pemerintahan Herman William Daendels pada tahun 1808. Anda juga mungkin akan teringat sebuah lagu ciptaan Oddie Agam yang dinyanyikan Sheila Madjid pada tahun 1987: “Antara Anyer dan Jakarta”.

Anda tidak keliru jika menghubungkan Anyer dengan Daendels ataupun lagunya Oddie Agam. Karena bagi keduanya, nama Anyer nampaknya memiliki kenangan tersendiri. Bagi Daendels, nama Anyer tidak akan terlupakan karena di kota pelabuhan Anyer lah pertama kali ia menjejakkan kakinya pada tanggal 1 Januari 1808, sebelum kemudian ia mengambil alih kekuasaan tertinggi Hindia Belanda di Pulau Jawa (Pramoedya Ananta Toer, Jalan Pos Jalan Daendels). Sementara bagi Oddie Agam, deburan pantai di Anyer telah memberikan inspirasi yang luar biasa sehingga mampu melahirkan lagu yang menjadi populer pada masanya.