Monthly Archives: June 2014

Diplomasi Rampak Kendang Hentakkan Beijing

rampak kendang KBRI Beijing

tim rampak kendang sedang beraksi

Sebuah pertunjukan musik tradisional rampak kendang digelar di Wisma Duta KBRI Beijing di hadapan seratusan anggota ASEAN Ladies Circle (ALC), Senin, 23 Juni 2014. Acara tersebut disaksikan langsung oleh istri Duta Besar RI untuk RRT Aslida Rahardjo dan istri para duta besar dan diplomat negara-negara anggota ASEAN lainnya serta perwakilan dari Kementerian Luar Negeri RRT.

Sebanyak 6 orang pemain yang terdiri dari diplomat dan staf lokal KBRI Beijing serta seorang anggota Dharma Wanita  memainkan seperangkat alat musik tradisional rampak kendang yang terdiri dari kendang berukuran kecil yang biasa disebut Kendang Ciblon dan  kendang besar yang disebut Kendang Ageng, dua buah gamelan Bali dan sebuah drum minimalis.

Rampak kendang merupakan musik tradisional asal dari Jawa Barat dan Tengah yang dimainkan secara serempak oleh sedikitnya dua orang pemain. Permainan kendang yang dilakukan bersama-sama ini memiliki makna filosofis yang mencerminkan kebersahajaan, kebersatuan gotong royong, keharmonisan dan keceriaan masyarakat Indonesia.

Mengenakan kostum putih hitam dengan sarung kotak-kotak dan ikat kepala khas Bali, para ‘pemusik dadakan’ tersebut memulai pertunjukan dengan 4 pukulan beruntun pada pada Kendang Ciblon. Bunyi tung tung langsung menggema dari kendang kecil tersebut yang diikuti dengan pukulan serentak pada Kendang Ageng yang sontak menghasilkan bunyi dung dung sehingga menghasilkan rangkaian bunyi pembuka yang harmonis … tung tung tung tung … dung dung tung deng …  tung deng … tung deng.

Cegah Teror, Masjid di Beijing Pasang Pintu Detektor

huashi moasque gate

Metal detektor di pintu masuk

Seperti lazimnya, setiap Jumat dapat dipastikan masjid akan selalu ramai dipenuhi jamaah yang ingin menunaikan sholat Jumat, tidak terkecuali masjid-masjid yang ada di Beijing. Dan dari puluhan masjid yang ada di Beijing, salah satu yang saya kunjungi pada pekan ini adalah masjid Huashi yang terletak di Jalan Huashi di Distrik Dongcheng.

Masjid Huashi merupakan sebuah masjid yang didirikan pada tahun 1414 pada masa pemerintahan Kaisar Yongle dari Dinasti Ming (1368-1644). Menilik sisa-sisa bangunan tembok kuno yang mengelilingi kota Beijing dan lokasi keberadaan masjid Huashi yang berada di luar tembok, maka dapat dikatakan bahwa pada saat itu masjid Huashi dan komunitas Muslim Beijing memang sengaja ditempatkan di luar pusat kota. Namun sejalan dengan perkembangan kota Beijing, posisi masjid Huashi saat ini justru berada  di  pusat kota dan terletak di antara bangunan apartemen modern bertingkat tinggi.

Dengan usia bangunan yang sudah sekitar 600 tahun, kondisi masjid Huashi terlihat masih terpelihara baik. Pemerintah kota Beijing tidak menggusur masjid seperti yang dilakukan terhadap bangunan lain yang ada di kawasan tersebut. Pemerintah kota Beijing malah merenovasi bangunan masjid dengan tetap mempertahankan keaslian bangunan dan fungsinya sebagai tempat ibadah.

Kho Ping Hoo’s Books and Cultural Diplomacy

suling-emasFor Indonesian kung fu book fans, the name of Kho Ping Hoo or Sukawati Asmaraman is very familiar. He is an Indonesian prolific and legendary writer of Chinese origin. Inspired by Chinese kung fu books, he made a significant contribution to Indonesian daily literature. His kung fu stories original, distinctive, imaginative and load the big ideas with a background of life in China which is presented with a very alluring.

In his works, even he never visited China before, Kho Ping Hoo managed to tell the readers about the beauty of the scenic landscapes in the mountains and surrounding Thaysan with enough detail (now located in Shandong Province). He also tells many fictional characters who live in the world of martial turbulent times between the kingdoms in China at that time, both groups of black characters (antagonist) and the white group (protagonist). The characters are displayed well and gave a lot of inspiration to the readers and fans.

In the era where diplomatic relations between Indonesia and China are not harmonious, as a result of the attempted coup by Indonesian Communist Party in 1965, and New Order’s regime banned to teach Chinese language, history and culture, Kho Ping Hoo’s books have meant much for generations of Chinese Indonesians to learn more about their cultural identity

Today, the situation is certainly very different. Indonesia-China relation is in the peak and both countries agreed to become strategic partnership in 2005 and enhancing its relationship into comprehensive strategic partnership in 2013. Furthermore, we are now in the age of information and technology where someone can reach millions of people at the speed of thought and access much information.

Against this backdrop, books could become an interesting instrument of diplomacy, more typically known as “soft power”, to engage people-to-people contact and could be used as an instrument of cultural diplomacy to reach out the international communities.

Mengintip Pakaian Musim Panas Warga Beijing

china summerMusim panas di Beijing pada bulan Juni ini telah mulai memasuki masa-masa yang paling panas. Terik matahari sangat menyengat dengan suhu yang mencapai sekitar 40 derajat Celcius. Hal ini tentu saja membuat masyarakat di Beijing gerah dan pada gilirannya mempengaruhi cara mereka berpakaian. Sebagai bagian dari adaptasi mereka pun kemudian berupaya mengenakan yang terasa nyaman dikenakan yaitu pakaian tipis dan cenderung terbuka.

“Semakin panas, semakin tipis dan minim pakaian yang dikenakan,” begitu mungkin perkataan yang tepat untuk menggambarkan pilihan pakaian yang dikenakan warga Beijing, khususnya kaum muda.