65 Tahun Hubungan Indonesia – Tiongkok

imagesBulan April 2015 ini tepat 65 tahun hubungan diplomatik Indonesia – Tiongkok. Memberikan pengakuan pada 13 April 1950, Indonesia adalah salah satu negara pertama yang mengakui berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, tidak lama setelah negeri tersebut diproklamasikan oleh Pemimpin Partai Komunis Tiongkok Mao Zedong pada 1 Oktober 1949.

Menandai 65 tahun hubungan diplomatik tersebut, Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kenegaraan ke Beijing pada 26 Maret 2015 dan akan dibalas dengan kunjungan Presiden Xi Jinping ke Jakarta dan Bandung pada 23-24 April 2015 untuk menghadiri Peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika. Sementara pada tanggal 13 April 2015 lalu Kedutaan Besar RI di Beijing menggelar resepsi diplomatik yang dihadiri pejabat tinggi pemerintah Tiongkok.

Bagi Presiden Joko Widodo, kunjungan ke Tiongkok merupakan kunjungan yang kedua kalinya dalam kurun waktu 6 bulan sejak menjadi Presiden RI pada 20 Oktober 2014, kunjungan pertama berlangsung pada Nopember 2014 dalam rangka KTT APEC. Hal yang sama juga berlaku bagi Presiden Xi Jinping, kunjungannya pada 24 April 2015 adalah yang kedua kalinya setelah kunjungan pertama pada Oktober 2013 ke Jakarta dan Bali.

Bagi sebagian masyarakat Indonesia sendiri, Presiden Xi Jinping bukanlah sosok asing. Ia memiliki hubungan yang kuat dengan sejumlah konglomerat Indonesia asal Fujian sejak menjadi gubernur dan pemimpjn partai komunis Provinsi Fujian pada tahun 1985-2002.

Di tengah krisis ekonomi global dewasa yang terus berkelanjutan dan ketidakpastian politik di beberapa kawasan, tingginya intensitas saling kunjung antar kepala negara Indonesia dan Tiongkok memperlihatkan suatu titik kulminasi dari semakin kuatnya hubungan kerja sama bilateral kedua negara selama 65 tahun terakhir. Secara formal penguatan tersebut ditandai oleh adanya Deklarasi Kemitraan Strategis Komprehensif tahun 2013. Dinamika hubungan kerja sama pun berlangsung di berbagai sektor, mulai dari politik, ekonomi hingga sosial budaya.

Di bidang politik, dialog politik tingkat tinggi terus berlanjut membahas berbagai isu bilateral, regional dan global. Di bidang militer, terjadi peningkatan kerja sama yang antara lain tampak dari pembelian pesawat latih militer ataupun peluru kendali buatan Tiongkok oleh Indonesia.

Di bidang ekonomi dan perdagangan, sebagai implementasi dari Deklarasi Kemitraan Strategis Komprehensif Indonesia – Tiongkok 2013, pada Januari 2015 terbentuk Dialog Ekonomi Tingkat Tinggi yang dipimpin bersama oleh Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil dan State Councilor (pejabat tinggi setingkat Wakil PM) Yang Jiechi. Melalui mekanisme dialog ini dibahas kerja sama ekonomi dan perdagangan yang sejalan dengan konsep Poros Maritim dan Jalur Sutera Maritim Abad ke-21. Sebelumnya, pada Desember 2014, Indonesia mendukung gagasan Tiongkok membentuk Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan menjadi salah satu negara pendiri.

Di bidang sosial budaya, jumlah pelajar/mahasiswa Indonesia yang belajar di Tiongkok terus bertambah hingga mencapai sekitar 15 ribu orang. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara terbanyak kelima yang mengirimkan pelajar/mahasiswanya ke Tiongkok. Sementara itu wisatawan Tiongkok ke Indonesia terus meningkat hingga mendekati 1 juta orang pada 2014. Hal ini menjadikan wisatawan Tiongkok sebagai wisatawan asing terbesar ketiga di Indonesia.

Di tengah semakin kuatnya hubungan bilateral Indonesia – Tiongkok, terdapat beberapa hal yang kiranya patut mendapat perhatian agar tidak menjadi bom waktu yaitu defisit kepercayaan, defisit perdagangan dan stabilitas keamanan kawasan.

Defisit kepercayaan menjadi salah satu isu yang mengemuka di bidang ekonomi dan perdagangan mengingat kerap munculnya sengketa dan perselisihan dagang, terutama terkait dengan pendanaan. Untuk mengatasinya dipandang perlu untuk membentuk lembaga pendanaan yang dapat menjamin transaksi perdagangan guna mengantisipasi masalah dan perselisihan perdagangan dan investasi.

Defisit perdagangan menjadi masalah karena semakin melebarnya defisit perdagangan yang dialami Indonesia. Jika di tahun 2013 Indonesia mengalami defisit sebesar USD 2-3 milyar dari total nilai perdagangan kedua negara sebesar USD 68,5 milyar, maka di 2014 Indonesia mengalami defisit sebesar USD 12 milyar dari total nilai perdagangan sebesar USD 65,3 milyar. Karenanya kedua belah pihak mesti sering duduk bersama untuk mencari jalan keluar yang dapat mencegah terus melebarnya angka defisit.

Terakhir, hubungan kemitraan strategis komprehensif Indonesia-Tiongkok tidak terlepas dari hubungan ASEAN-Tiongkok, khususnya terkait dengan kohesivitas kawasan Asia Tenggara. Setidaknya ada dua permasalahan yang mengemuka, yaitu: pertama, masalah perdagangan yang dikaitkan dengan implementasi ASEAN-China Free Trade Agreement (AFCTA) dan konsep jalur sutera maritim abad ke-21. Kedua, masalah stabilitas keamananan di kawasan akibat klaim Tiongkok dan interpretasi dari “nine-dash line” di peta Tiongkok, yang mencakup sekitar 90 persen perairan Laut Tiongkok Selatan. Muncul kekhawatiran dari negara-negara di kawasan bahwa akan muncul konflik terbuka yang dapat menyeret negara-negara di luar kawasan. Disini, Indonesia sebagai negara yang tidak memiliki klaim di Laut Tiongkok Selatan dapat secara aktif menjadi broker penyelesaian konflik yang baik dan mendorong Tiongkok berperan besar dalam pembangunan dan pemeliharaan stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *