66 Tahun Kemenlu, Jalan Panjang Diplomasi RI

Hari ini, 19 Agustus 2011, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia tepat berusia 66 tahun, hanya berselisih 2 hari dengan usia Republik ini. Bahwa pembentukan Kemenlu berdekatan dengan hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) sesungguhnya tidak mengherankan jika mengingat bahwa upaya merebut kemerdekaan Indonesia dilakukan secara pararel, selain dilakukan melalui perjuangan bersenjata, juga dilakukan melalui jalur diplomasi.

Seperti dikutip dari buku Dua Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri 1945-1970 “Sejarah Departemen Luar Negeri Indonesia tidak terlepas dari sejarah berdirinya negara Indonesia itu sendiri, mengapa? Karena setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945 Kabinet pertama Republik Indonesia terbentuk. Salah satu Kementerian atau Departemen yang dibentuk adalah Departemen Luar Negeri dengan bapak Mr. Ahmad Soebardjo Djojohadisurjo sebagai Menteri Luar Negeri pertama Republik Indonesia”.

Meski keberadaan Kemenlu sangat penting sebagai mesin diplomasi RI dalam memperjuangkan kemerdekaan, pembentukan Kemenlu tidaklah semulus yang dibayangkan. Berbeda dengan beberapa kementerian lain yang tinggal melanjutkan infrastruktur Pemerintahan Kolonial Hindia-Belanda, pembentukan Kemenlu dilakukan mulai dari nol.

Mr. Ahmad Subardjo yang ditunjuk sebagai Menlu pertama membuka kantor Kemenlu di rumahnya sendiri di Jl Cikini Raya No. 80-82 Jakarta. Pada saat itu beliau dibantu beberapa staf seperti Herawati Diah, Paramita Abdulrachman, Mr. Sudjono, Suyoso Hadiasmoro dan Hadi Thayeb. Dari Cikini Raya, kantor Kemenlu pindah ke gedung eks Departemen Pendidikan dan Kebudayaan jaman Belanda dan Jepang di Jl. Cilacap No. 4, untuk kemudian pindah lagi ke Jl. Pegangsaaan Timur No. 36. Setelah itu barulah Kemenlu berkantor secara tetap di jalan Pejambon No. 6 dan Jl. Sisingamangaraja.

Di masa-masa awal kemerdekaan RI ini, selain masalah fisik kantor yang berpindah-pindah, keterbatasan personil dan struktur organisasi yang sederhana,  Kemenlu dihadapkan pula pada upaya untuk menegakkan kemerdekaan dan menentukan karakter dan watak politik luar negeri Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan ini tugas utama yang dibebankan kepada Kemenlu adalah mengusahakan simpati dan dukungan masyarakat internasional, menggalang solidaritas teman-teman disegala bidang dan dengan berbagai macam upaya memperoleh dukungan dan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia serta melakukan perundingan dan membuat persetujuan.

Upaya menyelesaikan tugas tersebut tidaklah ringan mengingat bahwa tatanan dunia pada saat itu tidak mendukung sepenuhnya kemerdekaan sebagai hak segala bangsa dan perlunya menghapuskan penjajahan di atas dunia. Bahkan Piagam PBB yang dideklarasikan pada tanggal 24 Juni 1945 pun tidak tegas menyebutkan mengenai kemerdekaan sebagai hak segala bangsa. Karena itu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan pernyataan dalam Pembukaan UUD 1945 seolah menantang dunia untuk segera berubah. Namun dengan diplomasi yang gigih, upaya yang dilakukan berbuah manis dengan diperolehnya pengakuan PBB tahun 1950.

Selanjutnya di tengah situasi tatanan dunia pada saat itu yang berporos pada dua kekuatan Rusia dan Amerika Serikat, Indonesia pun dihadapkan pada pilihan untuk pro kepada salah satu negara tersebut. Menyikapi hal ini dalam pidatonya tanggal 2 September 1948 di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Wakil Presiden RI Mohammad Hatta tegas menyatakan bahwa “Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri Indonesia merdeka seluruhnya.”

Kini ketika era kekuatan politik global yang berporos pada Rusia dan Amerika Serikat berakhir, tantangan yang dihadapi justru tidak semakin ringan. Tantangan yang dihadapi Kemenlu sebagai mesin diplomasi RI menjadi lebih luas dan beragam, tidak lagi terbatas hanya pada isu politik dan keamanan global, tetapi juga menyangkut isu-isu HAM, lingkungan, perubahan iklim, perdagangan bebas, kerjasama kawasan dan antar kawasan, terorisme, kejahatan lintas negara, perdagangan manusia dan sebagainya.

Perubahan ini tentu saja menuntut Kemenlu menyesuaikan struktur organisasinya agar lebih bisa menjawab perubahan pada tatanan global maupun kawasan. Organisasi Kemenlu yang dibentuk pada masa kemerdekaan dan dilakukan penyesuaian di sana sini dipandangan sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan perubahan jaman.

Sikap tanggap pun diperlihatkan Kemenlu ketika melakukan reformasi birokrasi kementerian yang bertolak dari program benah diri yang dilakukan sejak 2001. Program Restrukturisasi Organisasi dimaksudkan untuk menyesuaikan organisasi Kemenlu dengan perkembangan keadaan, kebutuhan, dan tantangan yang dihadapi saat ini maupun kedepan. Oleh karena itu Kemlu kemudian membentuk unit-unit khusus untuk menangani isu-isu tertentu guna dapat menjawab perkembangan keadaan, kebutuhan, dan tantangan dalam Diplomasi RI.

Dari proses restrukturisasi Kemenlu ini, salah hal yang menarik adalah dibentuknya direktorat khusus yang menangani masalah perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) di luar negeri. Pembentukan Direktorat Perlindungan TKI dan BHI ini memperlihatkan perhatian sangat besar dari Kemenlu mengenai aspek perlindungan yang merupakan salah tugas pokok para diplomat Indonesia di luar negeri. Ketika kementerian lain masih sibuk berdebat mengenai siapa yang mesti bertanggungjawab terhadap masalah perlindungan TKI dan BHI, Kemenlu memberikan contoh dengan melakukan tindakan nyata, termasuk di antaranya dengan membentuk citizen service di sejumlah Perwakilan RI di negara-negara dimana terdapat TKI dalam jumlah besar.

Sejalan dengan perkembangan arsitektur regional dan global, upaya diplomasi Indonesia di berbagai fora memang masih sangat panjang dalam memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia tingkat regional dan global. Upaya reformasi birokrasi dan upaya meningkatkan perlindungan bagi TKI dan BHI, perlu diikuti upaya lain untuk mendorong people-to-people contact, salah satunya dengan melakukan diplomasi digital dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan media sosial. Melalui diplomasi digital, kegiatan diplomasi dan upaya membangun citra di forum internasional tidak hanya dilakukan oleh para diplomat dan pejabat negara, tetapi juga oleh berbagai elemen masyarakat lainnya,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *