Pancasila yang Tertukar – rev

Finalis Puteri Indonesia 2020 dari Sumatera Barat, Louise Kalista Iskandar, menjadi pembicaraan publik dan bulan-bulanan netijen yang budiman ketika tidak bisa menjawab dengan baik pertanyaan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Pertanyaannya adalah “Apa Kalista hafal lima sila yang terkandung dalam Pancasila?”

Mungkin agar dikira hafal, Kalista pun mencoba menyebutkan satu persatu bunyi sila-sila Pancasila. “Nomor satu, Ketuhanan yang Maha Esa. Nomor dua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Nomor tiga, Persatuan Indonesia”. Sampai disini Kalista sukses melafalkan sila-sila Pancasila, meski ia tidak menyebut kata sila pertama, sila kedua, sila ketiga, sebagaimana lazimnya. Di sila keempat dan kelima barulah muncul kekacauan ketika Kalista gagap melafalkan sila keempat dan kelima. Cuplikan video kegagapan Kalista melafalkan teks Pancasila pun segera viral di media sosial.

Ketidakhafalan Kalista melafalkan sila-sila Pancasila sebenarnya manusiawi karena mungkin saja ia gugup. Soal kegugupan ini saya jadi teringat sebuah cuplikan video dimana dalam suatu acara temu masyarakat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta salah seorang anggota masyarakat untuk maju dan berdiri di panggung bareng Presiden. Saat sudah di atas panggung Presiden Jokowi bertanya mengenai sila-sila Pancasila. Anggota masyarakat tersebut terlihat gugup dan tidak bisa menyebutkan sila-sila Pancasila dengan baik. Presiden Jokowi berusaha menenangkannya secara bercanda “Enggak apa-apa, mungkin dia grogi, coba kalau bapak-bapak yang berdiri di depan saya diminta naik ke panggung, pasti juga grogi menjawabnya.”

Seperti halnya anggota masyarakat yang demam panggung saat ditanya Presiden Jokowi, Kalista pun bisa jadi demam panggung dan gugup karena mungkin tidak mengira mendapatkan pertanyaan sederhana yang semestinya bisa dijawab dengan mudah. Pertanyaannya pun hanya sekedar hafalan sila-sila Pancasila, bukan meminta penjelasan makna dan penerapan sila-sila Pancasila, yang jika dijawab tidak cukup 30 detik seperti disebutkan pembawa acara.

Mengenai kegugupannya ini, Kalista mendapat pembelaan dari Najwa Shihab yang dalam akun twitternya menyebut “Kalista terlihat gugup berkali-kali lipat, apalagi mesti menjawab dalam 30 detik di tengah riuh rendahnya suara penonton, itu manusiawi sekali.”

Dan kalau kita menyaksikan tayangan jalannya final kontes Putri Indonesia 2020, sepertinya bukan hanya Kalista yang tidak hafal sila-sila Pancasila, tetapi juga pembawa acara dan calon putri Indonesia lainnya. Perhatikan saja, saat Ketua MPR Bambang Soesatyo menanyakan kepada Kalista mengenai Pancasila, terlihat para finalis lain ikut tertawa, bahkan pembawa acara wanita Patricia Gouw terlihat sempat mengelus dada. Penyebab mereka ikut tertawa bisa jadi karena dua hal. Pertama, karena yakin hafal sila-sila Pancasila. Kedua, merasa bersyukur karena pertanyaan Ketua MPR tidak tertuju ke mereka. Kalau saja ditujukan ke mereka, mungkin mereka juga akan gagap menjawabnya.

Seperti biasa, menyaksikan kegagapan-kegagapan semacam itu publik dan netizen yang budiman lantas riuh dan ramai-ramai merundung. Bukan hanya Kalista yang dirundung tetapi juga asal daerahnya, Sumatera Barat, dan tentu saja Panitia Pemilihan Putri Indonesia.

Pemerintah daerah Sumatera Barat, belakangan mencoba cuci tangan dengan menyangkal Kalista sebagai wakil daerah Sumatera Barat. Sementara panitia pemilihan dipandang ceroboh karena tidak atau kurang memberikan pembekalan mengenai materi Pancasila kepada para finalis Puteri Indonesia sejak proses pemilihan di daerah hingga final. Karena itu, tidak mengherankan apabila masyarakat kemudian menilai jika Pemilihan Putri Indonesia dan juga kontes-kontes sejenis, masih tidak beranjak dari pemilihan gadis-gadis berwajah cantic dan betubuh seksi.

Celakanya, bukan hanya Pemerintah Daerah dan Panitia pemilihan saja yang dikritisi dan dirundung, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang tidak terlibat apapun dalam kontes tersebut ikut terkena gatahnya. BPIP ikut disorot publik karena dipandang tidak mampu menyosialisasikan Pancasila.

Padahal kalau mau menoleh sejenak ke belakang,  ketidakhafalan terhadap sila-sila Pancasila seperti yang dialami Kalista bisa jadi merupakan cerminan krisis pemahaman ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di kalangan generasi muda. Apa yang terjadi di panggung Kontes Putri Indonesia 2020 sebenarnya bukan persoalan demam panggung, melainkan sebuah peristiwa yang amat sangat telak menampar kita sebagai sebuah bangsa yang memiliki Pancasila sebagai falsafah dan dan dasar negara.

Jawaban Kalista yang tertukar-tukar dan kacau sesungguhnya mencerminkan potret pembinaan ideologi Pancasila di masyarakat, terutama di kalangan generasi muda, yang kacau, tanpa arah dan terabaikan. Penyebabnya antara lain karena dihapuskannya TAP MPR nomor II tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan pembubaran Badan Pembinaan dan Pelaksanaan Pendidikan P-4 (BP-7) pada tahun 1998. Akibatnya, tidak ada lagi lembaga yang mengurusi atau menangani pembinaan ideologi Pancasila.

Pembinaan ideologi Pancasila semakin tidak jelas ketika Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional justru menghapuskan mata pelajaran Pancasila sebagai mata pelajaran wajib di bangku Pendidikan.  

Karena itu, di balik kegagapan Kalista dalam melafalkan sila-sila Pancasila, ada hikmah yang bisa kita petik. Kegagapan Kalista mengingatkan kita semua tentang realita praktek nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, termasuk juga dalam penyelenggaraan kenegaraan. Maraknya perilaku untuk saling melecehkan orang lain, tingginya penyebaran berita hoaks dan perilaku koruptif, sikap tidak menghormati orang tua, berkurangnya sikap saling tolong menolong dan gotong royong menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila masih sebatas teori, belum menjadi realita yang harus diperjuangkan.

Tidak cukup sampai disitu, jawaban Kalista yang menyebutkan “nomor” saat menyebutkan urutan sila-sila Pancasila seperti ingin menunjukkan makna tersirat bahwa urutan kedudukan di masyarakat merupakan hal yang sangat penting. (“Nomor” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti angka yang menunjukkan kedudukan dalam urutan, kumpulan dan sebagainya). Melalui penyebutan “nomor”, kita diingatkan bahwa urutan kedudukan seseorang akan sangatr terkait dengan keistimewaan yang didapat. Karenanya tidak mengherankan apabila kebanyakan orang tua di Indonesia lebih bangga anaknya memperoleh ranking nomor satu di kelas dibanding terbiasa antri atau terbiasa menepati janji. Karena dengan memperoleh ranking baik di sekolah, mereka memiliki peluang lebih baik dalam mendapatkan sekolah favorit.

“Panas setahun bisa dihapuskan oleh hujan sehari, tapi kekosongan pembelajaran Pancasila di ruang publik selama hampir dua dekade terakhir sejak reformasi 1998 tidak bisa bisa lantas ditutup dengan sosialisasi oleh BPIP dalam setahun terakhir,” begitu komentar seorang pemerhati pendidikan yang tidak mau disebutkan namanya.

“Saya tidak sedang membela kinerja BPIP, tetapi saya mencoba memahami segala keterbatasan BPIP dalam membumikan Pancasila ke ruang publik dalam setahun terakhir ini,” ujar si pemerhati pendidikan tersebut.

“Di tengah luasnya kritik publik kepada BPIP sebenarnya ada harapan besar kepada BPIP untuk dapat membumikan nilai-nilai Pancasila  dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. BPIP yang dibentuk melalui Perpres Nomor 7 tanggal 28 Februari 2018 menjadi institusi yang memiliki otoritas penuh dalam menyusun dan merekomendasikan kebijakan pembinaan ideologi Pancasila kepada Presiden dan kemudian mengoordinasikan pelaksanaannya bersama seluruh kementerian dan lembaga.

“lalu bagaimana implementasi pembumian Pancasila di lapangan ketika dukungan adminstrasi dan infrastruktur belum sepenuhnya siap, seperti masih belum direvisinya Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional. Sepanjang Undang-undang tersebut masih belum selesai direvisi, sepanjang itu pula pembelajaran Pancasila belum bisa kembali ke bangku pendidikan formal,” tanya Mamat, yang dari tadi ikutan menyimak komentar si pemerhati pendidikan

“Mamat, kalau membaca Perpres Nomor 7 tahun 2018, meskipun di BPIP terdapat Dewan Pengarah yang dipimpin Presiden ke-5 yaitu Megawati Soekarnoputri namun BPIP bukan lembaga super bodi atau koordinator kementerian dan lembaga, sehingga bisa memerintahkan instansi lain. Kewenangan BPIP adalah memberikan masukan kebijakan kepada Presiden RI mengenai pembinaan ideologi Pancasila dan mengomunikasikan setiap kegiatan pembumian Pancasila dengan seluruh kementerian dan lembaga sehingga bisa sinkron dan tidak tumpang tindih maksud dan tujuannya,” ujar Udin, staf BPIP, yang duduk di sebelah Mamat.

“Terkait usulan agar pendidikan Pancasila dikembalikan ke bangku pendidikan dan ruang-ruang publik, BPIP sudah mengomunikasikannya dengan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk dengan DPR RI, untuk merevisi Undang-undang Pendidikan Nasional sebagai jalan untuk mengembalikan pelajaran Pancasila sesuai aturan,” tambah Udin.

“Sebenarnya bukan cuma pendidikan formal saja yang perlu mendapatkan pendidikan Pancasila, tetapi juga pendidikan non formal dan informal.yang bisa menyentuh anak jamannya. Dalam proses peralihan, hal seperti itu bisa terjadi karena Pancasila menjadi cara berpikir, bertindak, berperilaku, berelasi, tidak menjadi kesadaran-nya. Maka dibutuhkan sekarang, lewat peristiwa ini bagaimana Pancasila diajarkan lagi secara massif lewat pendidikan,” ujar Mamat yang gaya bicaranya tidak kalah dengan pengamat di televisi.

“Benar sekali Mat. Semoga melalui kejadian yang dialami Kalista kita semua dapat mengambil hikmahnya. Pancasila tidak sekedar untuk dihapal, tetapi perlu diaktualisasikan secara konsisten oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk penyelenggara negara,” ujar Udin yang gaya omongannya kali ini tidak kalah dengan Mamat

“Ahsiaap … baiklah kalau begitu,” jawab Mamat kali ini sambil menyeruput kopi di cangkir yang sudah mulai dingin.

Bekasi, 8 Maret 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *