Asyiknya Buka Puasa Bersama di China

DSC_4014Seperti halnya umat Muslim di berbagai belahan dunia, umat Muslim di Beijing pun tidak ketinggalan menjalankan ibadah puasa Ramadan 1434 H. Sejak Selasa (9 Juli 2013) mereka telah berpuasa dan memadati sejumlah masjid yang tersebar di beberapa wilayah untuk sholat berjamaah, mendengarkan khotbah, membaca Al-Quran serta berbagai kegiatan lainnya, termasuk melakukan iftar atau buka puasa bersama.

Dari sejumlah masjid yang ada di Beijing, salah satu masjid yang ramai dikunjungi adalah masjid Niujie di kawasan Xuanwu. Berdiri di atas tanah seluas 10 ribu m2, masjid Niujie merupakan rumah ibadah  tertua umat Muslim China di Beijing yang dibangun pada tahun 996 M.

Menurut salah seorang pengurus masjid, setidaknya sekitar 200-an orang menghadiri kegiatan Ramadan setiap harinya. Kecuali sholat Jumat yang bisa dihadiri lebih dari 600-an orang. Umumnya mereka adalah umat Muslim yang tinggal di sekitar kawasan masjid dengan beberapa di antaranya berasal dari luar kota.

Saat Kamis sore (11 Juli 2013) saya dan keluarga berkunjung ke masjid Niujie untuk ikutan berbuka puasa bersama dengan masyarakat Muslim China di Beijing, tidak terlihat aktivitas dan suasana sakral Ramadan. Suasananya begitu sepi dan lenggang. Di tempat parkir di pinggir jalan depan masjid, yang di hari Jumat biasanya dipadati kendaraan, terlihat hanya ada sebuah kendaraan yang bisa jadi menandai sepinya jamaah. Hal ini tentu saja berbeda dengan aktivitas dan suasana kegiatan Ramadan di masjid-masjid di Indonesia yang begitu ramai dengan jamaah, khususnya seminggu pertama, dan gema suara azan yang terdengar hingga kejauhan.

Usai memarkir kendaraan di depan masjid, kami sekeluarga pun segera melangkah melewati pintu gerbang masjid. Belum berapa lama melewati gerbang, terdengar seseorang di pintu penjagaan menegur kami dengan ucapan ‘Malaysia, Malaysia?’ (si penjaga rupanya mengira kami orang Malaysia).

‘Bukan, kami Indonesia’, jawab saya

‘O Indonesia … oke silahkan-silahkan’, ujar si penjaga mempersilahkan

Ya, si penjaga menanyakan hal semacam itu hanya untuk memastikan identitas kami karena ketika masuk kami semua langsung nyelonong begitu saja tanpa mendatangi pos penjagaan dan membayar tiket masuk.  Ya, sebenarnya untuk masuk masjid Niujie dikenakan tiket masuk sebesar 10 renminbi atau sekitar 15 ribu rupiah per orang.  Hal tersebut dilakukan karena masjid Niujie merupakan salah situs cagar budaya dan menjadi salah satu obyek wisata di Beijing. Namun khusus untuk orang Muslim biasanya tidak dikenakan biaya masuk.

Lalu kenapa si penjaga mengira kami dari Malaysia? Hal ini sepertinya tidak terlepas dari banyaknya warga negerinya Mahathir yang berkunjung ke masjid Niujie dibandingkan warga Indonesia. Beberapa kali saya pernah saksikan, warga Malaysia mengunjungi masjid Niujie menggunakan bus-bus wisata berukuran besar . Sementara saya belum pernah melihat wisatawan Indonesia mampir ke masjid ini secara berombongan menggunakan bus besar, paling-paling individual 1-2 orang.

Memasuki halaman masjid, kelenggangan masih tampak, belum ada kegiatan apapun di halaman masjid, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Yang tampak adalah sebuah meja panjang dan meja kecil  yang masih dibiarkan kosong. Sementara di dalam masjid tampak beberapa orang tengah sholat dan beberapa lainnya membaca Al-Quran.

Sambil menunggu waktu Magrib, saya ngabuburit melihat-lihat halaman belakang masjid. Nach disini baru tampak kesibukan beberapa panitia masjid, termasuk ibu-ibu yang tengah menyiapkan dan menata tempat makan bagi jamaah masjid setelah berbuka puasa bersama. Menurut seorang pengurus masjid, makanan dan minuman disumbangkan oleh  umat Muslim yang ada di sekitar masjid. Sumbangan bisa berbentuk uang ataupun natura seperti air minum dalam botol atau beras. Oleh pengelola masjid, nama-nama penyumbang ditulis di atas kertas lebar dan ditempel di papan tulis yang diletakkan di depan kantor pengelola masjid.

DSC_3976Sekitar pukul 19.00 saya kembali ke halaman masjid dan melihat beberapa orang mulai sibuk menyiapkan tajil dan perangkat berbuka puasa. Tampak makanan kecil seperti dodol, kripik pisang, dan kue untir-untir disajikan di atas meja. Selain itu ada buah-buahan seperti kurma, semangka, dan anggur. Sementara untuk minumnya, selain air putih dalam botol juga disediakan susu.

Masih di halaman masjid, terlihat beberapa jamaah sedang duduk  dan berbincang santai hanya mengenakan kaos dalam, sambil sesekali memperhatikan rekan mereka yang sedang menyiapkan tajil. Udara Beijing yang cukup menyengat membuat mereka lebih memilih mengenakan kaos dalam agar lebih adem dan nyaman.

DSC_4011Sekitar pukul 19.45, sambil berdiri mulailah para jamaah masjid mengerubungi meja yang sudah penuh berisi tajil dan minuman. Tampak imam masjid Niujie berdiri di salah satu sisinya. Tidak lama kemudian terdengarlah bunyi bel seperti bunyi bel sekolah. Serentak para jamaah berseru Alhamdulliah dan membaca doa berbuka puasa dipimpin sang imam masjid. Setelah itu, ramai-rama para jamaah menyerbu tajil yang telah disiapkan. Ooo … rupanya bel tersebut merupakan pertanda waktu berbuka puasa, bukan suara azan Magrib seperti di Indonesia.

Ketika saya tanyakan ke seorang jamaah yang ada di dekat saya, kenapa menggunakan bel dan bukan menggunakan azan Magrib untuk menandai waktu berbuka puasa, dengan santai yang bersangkutan menjawab bahwa azan kan panggilan untuk sholat bukan untuk berbuka puasa. He he he bener juga logikanya. Dan kalau tanda berbuka puasa menggunakan bel diterapkan di Indonesia, bisa-bisa program azan Magrib di stasiun-stasiun televisi tidak lagi menjadi favorit seperti selama ini. :-)

DSC_4022Sekitar sepuluh menit setelkah bunyi bel pertama, terdengar bunyi bel kedua dan secara serentak para jamaah menghentikan aktivitas berbuka puasa. Beberapa jamaah terlihat menuju tempat wudhu, sedangkan sebagian besar lainnya masuk ke masjid. Tidak lama kemudian berkumandanglah azan Magrib yang menandakan waktu sholat Magrib akan segera dimulai. Tidak ada pengeras suara yang menjadikan suara azan terdengar hingga jauh ke luar masjid. Suara azan hanya menggema di dalam dan halaman depan masjid.

Tidak ada yang spesial dalam pelaksanaan sholat Magrib selain pengucapan kata ‘amin’ (usai imam membacakan Al-Fatihah) yang disuarakan pelan saja. Hal ini, lagi-lagi, beda dengan pengucapan ‘amin’ oleh jamaah di Indonesia yang cenderung keras dan ngotot.

DSC_4026Usai sholat Magrib, para jamaah segera bergegas ke halaman belakang masjid untuk menyantap hidangan makan malam bersama yang telah disiapkan pengurus masjid. Sajian kuliner yang disuguhkan cukup menarik yaitu nasi putih, bakpao, daging ayam bumbu campur kacang, sayur jamur dan sup kacang.

Dengan tertib para jamaah menduduki tempat yang disiapkan. Beberapa ibu terlihat ikut membantu mempersilahkan para jamaah menduduki tempat-tempat yang masih kosong. Saya yang datang agak terlambat pun diupayakan untuk bisa duduk dan bersama-sama makan dengan jamaah lainnya. Usai mendapatkan tempat duduk, saya pun segera ikutan menyantap hidangan yang tersedia, sambil sesekali ngobrol dengan seorang jamaah dari Xinjiang dan berasal dari suku Uygur.

Tuntas menyantap hidangan makan malam, satu persatu para jamaah meninggalkan tempat dan tempat makan pun mulai diangkati. Saya pun tidak ketinggalan untuk meninggalkan tempat makan dan tentu saja tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pengurus masjid yang telah menyajikan makanan yang luar biasa dan bisa merasakan langsung suasana berbuka puasa bersama dengan masyarakat Muslim di Beijing yang penuh dengan suasana keakraban dan kekeluargaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *