Beijing Sang Primadona

Cuaca cerah dengan suhu berkisar 19 derajat Celcius, cukup sejuk dibandingkan suhu Jakarta yang berkisar 31 derajat Celcius, menyambut kami sekeluarga saat pertama kali tiba di Beijing. Pesawat yang kami tumpangi mendarat mulus di Bandar Udara (Bandara) Internasional Beijing, China, pada tanggal 8 September 2011, setelah sebelumnya menempuh perjalanan sekitar 10 dari Jakarta via Hong Kong. Dari jendela pesawat terlihat bangunan bandara yang besar, megah dan modern dengan tidak meninggalkan ciri khas arsitektur dan ornamen Cinanya. 

Keluar dari pintu pesawat, kami segera menuju tempat kedatangan bandara yang terlihat begitu luas dan megah dengan atap bangunan yang ditopang tiang-tiang baja yang menjulang tinggi. Dari informasi petugas bandara, diketahui bahwa kami berada di terminal 1, sementara tempat kedatangan berada di terminal 3. Setelah selesai dengan urusan keimigrasian di terminal 1, kami pun segera menuju menggunakan sky train yang menghubungkan terminal 1 dan 3. Tidak perlu menunggu lama karena sky train tiba setiap 2 menit sekali. Terus terang, melihat kemegahan dan fasilitas sky train yang terdapat di bandara, tiba-tiba saja saya merasa bahwa Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta yang baru saya tinggalkan beberapa waktu lalu, seperti tua dan usang.  Bayang-bayang bahwa negara yang menganut paham sosialis biasanya suram dan statis pun hilang begitu melihat kemegahan dan kebesaran Bandara Internasional Beijing.   

Setibanya di tempat kedatangan di terminal 3 menggunakan sky train, kami segera bergegas mengeluarkan barang-barang bawaan dan membawanya keluar dari bandara. Di pintu kedatangan sudah menanti Yuliyanto, petugas protokol Kedutaan Besar RI, yang akan mengantar kami dari bandara menuju pusat kota. Dalam perjalanan menuju tempat parkir kendaraan, Yulianto menunjukkan pintu masuk stasiun kereta yang menghubungkan langsung Bandara Internasional Beijing dengan stasiun kereta dalam kota. Menurutnya, stasiun kereta di Beijing tersebut sudah terintegrasi sedemikian rupa sehingga akses ke bandara dapat dicapai dengan mudah melalui berbagai cara, termasuk dengan menggunakan kereta monorel bawah tanah (subway). 

Tak lama meninggalkan bandara, tampak jalan tol yang lebar dan mulus. Saya perhatikan pada setiap sisi jalan tol terdapat 5 ruas jalur yang siap menampung kendaraan yang berlalu lalang dari dan menuju bandara. Dengan jalur jalan yang cukup memadai, meski dipadati banyakj kendaraan, tidak terlihat adanya kemacetan sejak pintu tol bandara.

Sementara itu, deretan bangunan bertingkat tinggi pun mulai tampak memagari jalanan dan semakin ramai begitu memasuki kawasan Distrik Chaoyang. Gedung-gedung pencakar langit berarsitektur modern menjulang tinggi dan berderet-deret rapih membentuk suatu hutan beton. Di antara gedung-gedung tinggi tersebut terlihat rimbunan pepohonan yang menjadikan Beijing terlihat hijau dan asri.

Melihat hal tersebut di atas, saya pun teringat bunyi sebuah iklan penghilang bau badan “kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda”. Ya, pemandangan di Bejing memang begitu menggoda. Beijing terlihat begitu rapih dengan jalan-jalan raya yang dibangun lebar, mulus dan jembatan saling susun guna menampung pengguna jalan yang terus meningkat. Di sepanjang jalan utama terlihat adanya pembagian ruas jalan yang jelas untuk kendaraan pribadi, umum (bis kota) dan pengguna sepeda. Sementara di kiri kanan jalan tersedia trotoar khusus bagi para pejalan kaki selebar 3-4 meter.

Tidak terlihat adanya pengendara sepeda motor yang mendominasi jalan raya seperti halnya di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Pemerintah Kota Beijing memang membatasi penggunaan sepeda motor di jalan raya, apalagi sepeda motor bermesin besar. Pemerintah Kota Beijing hanya memperkenankan penggunaan sepeda ataupun sepeda yang menggunakan baterai. Untuk memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat kota Beijing yang berpenduduk sekitar 20 juta jiwa, Pemerintah menyediakan berbagai moda angkutan umum yang memadai dan murah, mulai dari bus kota hingga jaringan monorel subway.

 Dimulai 34 tahun lalu, sejak berakhirnya revolusi kebudayaan pada tahun 1976 dan naiknya Deng Xiaoping sebagai Pemimpin Cina pada tahun 1978, gerakan pembangunan di Beijing memang tumbuh dan berkembang sedemikian pesat selaras dengan gerakan reformasi ekonomi yang digaungkan oleh sang pemimpin negeri. Peningkatan pembangunan ekonomi ibu kota negara berpenduduk lebih dari 1,3 milyar ini dilakukan antara lain dengan membangun industri dan menggenjot pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, jembatan hingga jalur kereta subway ataupun antar kota. Hasilnya, jalan tol lingkar kota (ring road) di sekeliling Beijing bertambah dari hanya 2 menjadi 6 buah, sedangkan lintasan monorel subway yang beroperasi pertama kali pada tahun 1969 kini sudah memiliki 15 lintasan dengan track sepanjang 372 km. Sehingga dapat dikatakan tidak terdapat lagi jalan-jalan utama di Beijing yang tidak terhubungkan satu sama lain.   

Sementara itu agar tidak terjadi penumpukan kegiatan di satu tempat, sejak awal  wilayah Beijing yang terdiri dari 16 distrik dan 2 kecamatan dibagi-bagi berdasarkan peruntukannya. Sebagai contoh, wilayah di sekitar Tiannamen yang merupakan kawasan pusat pemerintahan sejak jaman dahulu ditetapkan sebagai kawasan sentral dimana berkantor kepala negara/pemerintahan, kepala dan anggota parlemen serta beberapa instansi kementerian negara. Sedangkan wilayah di seputar Fuxingmen dan Fuchengmen, yang secara tradisional telah menjadi pusat keuangan, semakin dikukuhkan sebagai tempat pusat keuangan.

Adapun wilayah di sekitar Wangfujing dan Xidan ditetapkan sebagai kawasan perbelanjaan dan wisata. Sedangkan Zhongguancun atau yang dikenal pula sebagai Silicon Valleynya Cina ditetapkan sebagai pusat perdagangan dan industri komputer dan penelitian farmasi. Sementara Yizhuang yang terletak di selatan dijadikan kawasan pengembangan dan pembangunan industri farmasi, teknologi informasi dan material engineering. Selanjutnya di daerah pinggiran Beijing, dibangun  Yongle Economic Development Zone, Beijing Economic-Technological Development Area, dan Tianzhu Airport Industrial Zone.

Dengan pengaturan tata kota yang sedemikian rupa dan didukung konsistensi, disiplin serta pengadaan sarana transportasi umum yang memadai tidak mengherankan jika Beijing menjadi lebih baik dibanding berbagai kota-kota besar lainnya di dunia, termasuk Jakarta. Meski arus pergerakan penduduk kotanya sedemikian tinggi, tidak terlihat kesemrawutan luar biasa di berbagai simpul-simpul kegiatan. Bahkan untuk mengurangi kepadatan arus lalu lintas di dalam kota, Pemerintah kota Beijing sudah memperketat dan membatasi pengeluaran ijin bagi mobil-mobil baru serta memberlakukan pengaturan penggunaan jalan berdasarkan nomor kendaraan.

 Sebagai sebuah ibu kota negara dan kota urban terbesar kedua di Cina setelah Shanghai, Beijing merupakan primadona pertumbuhan dan pembangunan kota-kota di Cina dengan tetap mempertahankan statusnya sebagai kota budaya, pendidikan, dan pusat politik, dan perekonomian Cina. Sebagai kota budaya, Beijing mempertahankan lebih dari 7000 situs warisan sejarah budaya Cina dimana 3 diantaranya telah diakui sebagai situs warisan budaya dunia oleh UNESCO yaitu istana raja di kota terlarang (Forbidden City), tembok besar (Great Wall) dan Peking Man di Zhoukoudian. Peninggalan obyek-obyek wisata budaya dan sejarah tersebut dipelihara dan dikembangkan dengan baik hingga mampu menarik puluhan juta wisatawan manca negara dan domestik setiap tahunnya.

Sebagai kota pendidikan, Beijing memiliki berbagai perguruan tinggi ternama dengan reputasi sangat baik seperti Universitas Peking, Tsinghua, Renmin dan Beihang. Perguruan-perguruan tinggi tersebut dijaga reputasinya sebagai tempat pendidikan yang baik, tempat dilahirkannya calon-calon pemimpin Cina modern di berbagai lapisan masyarakat. Sedangkan sebagai pusat politik, tidak perlu diragukan lagi jika Beijing merupakan tempat dimana semua denyut nadi kehidupan berbangsa dan bernegara di Cina diatur dan ditentukan. Semua elemen penting pemerintahan Cina berkedudukan di Beijing, mulai dari pimpinan Partai Komunis Cina, Presiden, Perdana Menteri, Ketua Parlemen hingga Menteri.

Di bidang perekonomian, Beijing pun tumbuh sebagai salah kota industri terkemuka, terutama industri keuangan, dan tempat berkantornya sekitar 41 perusahaan besar dunia yang tercantum dalam Fortune Global 500, kedua terbesar setelah Tokyo, dan sekitar 100 besar perusahaan raksasa Cina. Dari angka statistik, hingga akhir 2011, produk domestik bruto Beijing mencapai US$ 247.7 milyar atau lebih dari seperlima GDP Indonesia yang diperkirakan US$ 1,124 triliun. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 8 persen setiap tahun, Beijing senantiasa menjadi primadona dan kota dengan pertumbuhan yang stabil. Tidak mengherankan pula jika kemudian Beijing dipercaya sebagai tuan rumah Olimpiade 2008.

2 Responses to Beijing Sang Primadona

  1. Vavai says:

    Thanks untuk reportase-nya mas. Luar biasa ya pembangunan di Cina. Kapan-kapan jadi pingin liburan kesana :-)

  2. Sama2 mas Vavai. Tks sudah mampir. Yuk ditunggu di Beijing

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *