“Bro, sudah punya
bendera merah putih? Sebentar lagi Agustus. Kita merayakan hari kemerdekaan RI.
Jangan lupa kibarkan bendera merah putih di depan rumah,” seru seorang
temanku.
“Tumben elo ingat
soal pengibaran bendera merah putih,” jawabku agak sedikit heran.
Sepahamanku, selama ini
dia selalu cuek soal bendera nasional. Bahkan waktu SMA, dia dikenal jarang
ikut upacara. Setiap Senin pagi, dimana ada upacara bendera, dia selalu datang
terlambat. Alasannya klasik, jalanan macet.
“Ha ha ha … dari
awal gue udah yakin kalau elo bakalan heran saat gue ngomong soal bendera
nasional,” jawab temankuRI. Jangan lupa kibarkan bendera merah putih di
depan rumah,” seru seorang temanku.
“Begini bro, gue barusan aja baca berita
di media sosial mengenai Surat Edaran Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang
berisi himbauan kepada masyarakat untuk memasang dan mengibarkan Bendera Merah
Putih secara serentak di seluruh Indonesia mulai tanggal 1-31 Agustus
2020,” jelasnya kemudian.
“Sebagai warga negara
yang baik, gue merasa perlu meneruskan informasi tersebut ke teman-teman,
termasuk ke elo,” tambahnya sambil sedikit tersenyum
“Baiklah kalau
begitu, terima kasih informasinya bro,’ jawabku ringan
“Lalu bagaimana
perayaan kemerdekaan tanggal 17 Agustus nanti? Bukankah sekarang masih
Covid-19?. Waktu 1 Juni 2020 lalu saja, upacara peringatan Hari Lahir Pancasila
dilakukan daring. Presiden Jokowi memimpin upacara dari Istana Bogor,” tanyaku
kemudian tanpa bermaksud menguji pengetahuannya
“Dari berita yang gue
baca sih, Mensesneg juga sudah menginformasi bahwa dalam suasana pandemi
Covid-19, Pemerintah meminta agar perayaan kemerdekaan tetap mematuhi protokol
kesehatan demi mencegah penularan Covid-19,” jawab temanku tersebut.
Gayanya sudah seperti humas Sekretariat Negara.
Dari obrolan dengan
temanku tersebut, aku lantas teringat bacaan tentang sejarah bendera merah
putih, bendera pusaka yang dikibarkan saat proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17
Agustus 1945. Seperti diceritakan dalam artikel di situs Historia.id
“Meluruskan sejarah bendera pusaka,” bendera pusaka merah putih
dijahit oleh ibu Fatmawati Sukarno.
Artikel yang merujuk pada
pengakuan Fatmawati di bukunya “Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Volume
1, terbitan tahun 1978, menceritakan bahwa suatu hari, Oktober 1944, tatkala
kandungannya berumur sembilan bulan (Guntur lahir pada 3 November 1944),
datanglah seorang perwira Jepang membawa kain dua blok, masing-masing berwarna
merah dan putih.
Pemberian kain tersebut
kemungkinan dari kantor Jawa Hokokai terkait dengan pengumuman Perdana Menteri
Koiso pada 7 September 1944 bahwa Jepang berjanji akan memberikan kemerdekaan
kepada Indonesia “kelak di kemudian hari.”
Dengan kain itulah, Fatmawati
menjahitkan sehelai bendera merah putih dengan menggunakan mesin jahit tangan.
Selain sejarah pembuatan
bendera merah putih, ada ingatan lain yang muncul terkait persiapan perayaan
hari kemerdekaan. Setiap menjelang hari kemerdekaan, banyak orang disibukkan
dengan urusan mencari bendera merah putih yang dilakukan banyak anggota
keluarga di Indonesia.
Karena jarang dikibarkan,
paling-paling hanya setahun sekali saat hari kemerdekaan, bendera merah putih
yang dimiliki seseorang biasanya lebih banyak tersimpan di lemari. Kalau tidak
rapih menyimpannya, bisa jadi sulit untuk menemukan bendera tersebut dalam
waktu singkat. Kalaupun akhirnya ketemu, bisa jadi benderanya sudah lusuh dan
warnanya luntur.
Masalah lain muncul,
ketika bendera akan dipasang ternyata tiang benderanya tidak ada atau sudah
kropos karena terbuat dari bambu. Tidak semua keluarga memiliki tiang bendera
permanen dari pipa besi di halaman rumahnya. Biasanya tiang bendera terbuat
dari tiang bambu yang ditancapkan ke tanah atau diikatkan ke pagar.
Keadaan ini yang kemudian
dimanfaatkan para pedagang bendera musiman. Mereka menawarkan bendera dengan
berbagai ukuran dan umbul-umbul, termasuk tiang bendera dari bambu.
Biasanya, mulai
pertengahan Juli para pedagang bendera mulai menggelar barang dagangannya di
sejumlah tempat ataupun berkeliling menggunakan gerobak. Bahkan di perempatan
lalu lintas, kita pun kerap melihat pedagang asongan menawarkan bendera merah
putih mini, sticker ataupun hiasan gantung di kendaraan.
Di Jakarta, pedagang
bendera mulai terlihat menggelar barang dagangannya antara lain di sekitar
Pasar Senin, Pasar Jatinegara dan dekat lapangan Urip Sumohardjo. Bagi mereka,
masa-masa menjelang hari kemerdekaan merupakan kesempatan baik untuk menjajakan
dagangannya berupa bendera aneka ukuran, umbul-umbul dan pernak pernik lainnya,
termasuk tiang bendera dari bambu.
“Bang, bagaimana
hasil penjualannya?,” tanyaku saat mampir ke salah satu kios bendera yang
mangkal tidak jauh dari tempat tinggal saya.
“Belum ramai pak,
baru satu dua bendera saja yang laku hari ini,” ujar si pedagang
“Mungkin karena
korona kali ya pak? Belum banyak orang yang membeli bendera. Karenanya
kemungkinan besar untuk memeriahkan suasana HUT Kemerdekaan RI tahun ini,
masyarakat banyak yang mengunakan bendera atau umbul-umbul yang lama yang
disimpan,” tambah si pedagang.
“Mungkin juga bang.
Dengan tidak adanya upacara langsung dan lomba-lomba yang menyertainya, bisa
jadi masyarakat tidak membeli bendera dan umbul-umbul baru,” jawabku
“Saya sendiri juga
hanya berniat membeli tiang bendera dari bambu saja. Tiang bambu yang saya beli
tahun lalu sudah rusak karena kepanasan dan kehujanan,” ujarku lebih
lanjut
“Enggak sekalian cari
bendera merah putih, umbul-umbul atau pernak-pernik merah putih Pak?. Buat
penglaris hari ini” ujar si pedagang
“Terima kasih bang.
Bendera merah putih saya masih bagus kok,” jawabku
“Ngomong-ngomong
sudah berapa lama jualan bendera Bang?,” tanyaku mencoba mengalihkan
pembicaraan
“Wah sudah 5 tahun
terakhir ini Pak. Tapi kayaknya tahun ini yang paling sepi. Mungkin karena
korona,” jawab abang penjual bendera
“Tapi gak apa-apa
Pak. Namanya juga musibah, kita tidak tahu kapan datangnya. Enggak apa-apa
pembeli bendera saya menurun, yang penting korban korona tidak semakin
banyak,” tambah si abang penjual bendera
“Benar sekali Bang.
Semarak merah putih di hari kemerdekaan boleh berkurang, tapi yang penting
masyarakat tetap sehat. Tidak banyak yang jadi korban korona,” tanggapku
“Aamiin”
“O iya Pak, nanti
kalau bapak perlu bendera atau tiang bendera tambahan bisa kesini. Saya mangkal
disini sampai selesai perayaan kemerdekaan kok,” ujar si pedagang masih
berusaha menawarkan dagangannya
“Siap 86 Bang!.
Semoga semangat merah putih tetap menyala di dada sepanjang masa, bukan hanya
saat menjelang perayaan kemerdekaan,” jawabku mengakhiri pembicaraan
sambil menuju kendaraan.
Saat kendaraan akhirnya
bergerak menyusuri jalan-jalan di Jakarta yang mulai kembali macet, dari radio
terdengar tembang dari group band Coklat.
Merah putih teruslah kau
berkibar
Di ujung tiang tertinggi
di Indonesiaku ini
Merah putih teruslah kau
berkibar
Di ujung tiang tertinggi
di Indonesiaku ini
Merah putih teruslah kau
berkibar
Ku akan selalu menjagamu
Leave a Reply