Tuhan, terlalu cepat semua
Kau panggil satu-satunya yang tersisa
Proklamator tercinta
Jujur, lugu, dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Rakyat Indonesia
Begitu pembuka lirik
lagu berjudul “Bung Hata“, yang ditulis Iwan
Fals untuk mengabadikan sosok salah satu sosok Proklamator Kemerdekaan Republik
Indonesia (RI), Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Lagu ini ditulis Iwan Fals
tidak lama setelah kepergian Bung Hatta pada 14 Maret 1980 di Jakarta dalam
usia 77 tahun.
Selain sebagai salah seorang
kemerdekaan RI, Bung Hatta merupakan Wakil Presiden pertama RI dan sejumlah
jabatan penting lain di awal kemerdekaan yang konsisten memperjuangkan, mempertahankan
dan mengisi kemerdekaan RI sejak muda hingga akhir hayatnya. Banyak buku-buku
dan pernyataan para tokoh yang memberikan kesaksian mengenai sosok Bung Hatta sebagai
pemimpin yang jujur, sederhana, tekun, dan tidak kenal kompromi. Antara apa
yang diucapkan dengan yang dilakukan selaras. Bung Hatta bukan tipe pemimpin
yang hanya memperkaya diri dan keluarga. Baginya, kepentingan negara lebih
utama. Sosok persis seperti bunyi lirik lagu dari Iwan Fals “Jujur, lugu dan
bijaksana, mengerti apa yang terlintas dalam jiwa rakyat Indonesia”.
Sebagai konsekuensi atas
konsistensi perjuangannya memerdekakan bangsanya, perjalanan hidup Bung Hatta pun
diwarnai dengan beragam dinamika seperti mengalami pembuangan hingga
bertahun-tahun, termasuk antara lain pembuangan
ke Tanah Merah Boven Digoel di pedalaman Papua atau menunda keinginan untuk menikah
sebelum Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka, barulah Hatta menikah
dengan Rachmi pada 18 November 1945. Uniknya, Hatta menjadikan buku yang
ditulisnya, “Alam Pikiran Yunani,” sebagai
mas kawin.
Bung Hatta dilahirkan pada
12 Agustus 1902 di Fort de Kock (Bukittinggi) dengan nama Mohammad Athar.
Seperti sosoknya yang tenang, peringatan hari lahirnya pun tidak terdengar riuh.
Tidak ada perayaan khusus memperingati hari kelahirannya. Di media sosial pun hanya
sedikit warganet yang memperbincangkan sosok Bung Hatta. Dari yang sedikit tersebut
adalah Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan yang menyelenggarakan
webinar “Bung Hatta Inspirasi Kemandirian Bangsa” pada 12 Agutus 2021,
tepat pada hari kelahiran Bung Hatta. [1]
Banyak hal yang dapat
diteladani dari seorang Bung Hatta sebagai seorang pejuang, negarawan, diplomat,
bapak koperasi dan pemimpin besar bangsa Indonesia yang berjuang denggan penuh
ketulusan. Bung Hatta dikenal sebagai pemikir yang sangat dihormati dan memiliki
kejujuran tinggi dalam segala hal. Pemikiran-pemikirannya mengenai banyak hal
seperti kebijakan politik luar negeri, ekonomi kerakyatan dan Pancasila masih
tetap aktual hingga hari-hari ini.
Pidato Bung Hatta “Mendayung Antara Dua Karang,” yang disampaikannya
dalam sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) di Yogyakarta, pada 2
September 1948 untuk merespons situasi politik internsional saat itu yang
cenderung bipolar antara AS dan Russia masih menjadi dasar kebijakan politik
luar negeri Indonesia yang bebas aktif hingga hari ini. Tentu saja kondisinya
tidak seperti masa lalu yang mendayung antara dua karang tetapi mendayung antara
banyak karang.
Di bidang ekonomi, didorong
rasa peduli kepada rakyat dan ekonomi Indonesia, Bung Hatta mendorong gerakan
ekonomi kerakyatan melalui koperasi. Menurut Bung Hatta, tujuan negara yaitu
memakmurkan rakyat dengan berlandaskan atas asas kekeluargaan dan bentuk perekonomian
yang paling cocok bagi Indonesia adalah ‘usaha bersama’ secara kekeluargaan.
Pandangannya tentang
koperasi yang disampaikan melalui pidato radio tanggal 12 Juli 1951 saat
memperingati Hari Koperasi di Indonesia dituliskan dalam bukunya “Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).”
Dalam bukunya tersebut, Hatta membuat 7 prinsip operasional pengembangan
koperasi Indonesia secara internal dan eksternal yaitu keanggotaan sukarela dan
terbuka, pengendalian oleh anggota secara demokratis, partisipasi ekonomis
anggota, otonomi kebebasan, pendidikan, pelatihan dan informasi dan kerjasama
antar koperasi serta kepedulian terhadap komunitas.
Apa yang disampaikan
Hatta tersebut di atas sampai saat ini masih menjadi cita-cita bersama bangsa
Indonesia yang masih perlu diperjuangkan dengan sekuat tenaga yaitu memakmurkan
perekonomian rakyat dengan berlandaskan atas asas kekeluargaan. Menurut
Profesor Edi Swasono yang hadir sebagai naras umber dalam Webinar “Bung Hatta
Inspirasi Kemandirian Bangsa”, konsep Bung Hatta untuk meningkatkan perekonimian
adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat.[2]
Menjawab pertanyaan
mengapa koperasi “begitu-begitu saja?”, tidak tumbuh dan berkembang serta tidak
dapat meningkatkan perekenomian masyarakat, pada webinar tersebut Prof Edi Swasono
menyampaikan bahwa koperasi tidak berkembang bukan karena konsep koperasi tidak
tepat. Koperasi tidak berkembang karena dua hal yaitu koperasi tidak diajarkan dengan baik dan masih
terpeliharnya kapitalisme dan liberalisme.
Dalam penjelasannya
Prof Edi menyampaikan bahwa selama ini koperasi tidak diajarkan dengan baik di
sekolah dan masyarakat. Akibatnya masyarakat tidak memahami konsep koperasi
dengan benar. Banyak orang, termasuk dosen yang menyamakan koperasi dengan perusahaan
terbatas (PT) yang berprinsip untuk meraih profit secara maksimum.
Selanjutnya
disampaikan oleh Prof Edi bahwa koperasi tidak akan pernah maju selama
pemerintah memelihara kapitalisme dan liberalisme. Koperasi hanya dipandang
sebagai kumpulan usaha bersama guna mencari keuntungan atau mengakumulasikan
kapital. Karena itu koperasi dibangun atas dasar kesadaran kelas dan ada kelas
lain yang dieksploitasi. Hal ni sejalan dengan
ide koperasi untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang kolektif, berakar pada
adat istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang
lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern.
Selain pemikiran mengenai
politik luar negeri serta ekonomi, pandangan Bung Hatta lainnya yang dikenal
adalah tentang kejujuran. Terdapat sebuah kutipan Bung Hatta yang patut dicatat
dan digarisbawahi mengenai kejujuran yaitu “Kurang cerdas dapat diperbaiki
dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak
jujur itu sulit diperbaiki.”
Pandangan Bung Hatta
tentang kejujuran hingga saat ini masih tetap relevan dan sejalan dengan nilai-nilai
Pancasila sebagai pandangan hidup bernegara khususnya sila kedua “Kemanusiaan
yang adil dan beradab”. Sifat jujur adalah salah satu fondasi kehidupan dan
keadabam. Tanpa kejujuran, kekayaan atau pangkat setinggi apapun tidak akan
memiliki arti apa-apa. Banyak orang cerdas, kaya raya, berpangkat tinggi, dan
memiliki kelebihan lainnya, akan tetapi manakala tidak jujur, maka sama halnya
tidak memiliki apa-apa. Prilaku jujur adalah dasar dari segala
prilaku terpuji lainnya.
Masih terkait dengan
Pancasila, dalam pidato memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni 1977 di Gedung
Kebangkitan Nasional Jakarta, pidato yang kemudian diterbitkan oleh Yayasan
Idayu menjadi buku berjudul Pengertian Pancasila (1981),
Bung Hatta menyampaikan hal sebagai berikut; “Adakah cukup rasa
tanggungjawab untuk menyelenggarakan cita-cita bangsa dan tujuan negara
sebagaimana mestinya menurut Pancasila? Soal inilah yang sangat
disangsikan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila itu hanya
diamalkan di bibir saja. Apabila kita perhatikan kejadian-kejadian dalam masyarakat sejak
beberapa tahun yang akhir ini, ternyata benar bahwa Pancasila itu belum meresap
ke dalam jiwa rakyat. Lihatlah, mudah saja orang
membunuh sesama manusia.”
Bung Hatta pun
kemudian mengingatkan “Kadang-kadang dalam lingkungan petugas negara
Pancasila itu tidak diamalkan. Camkanlah, negara Republik Indonesia belum lagi
berdasarkan Pancasila, apabila Pemerintah dan masyarakat belum sanggup mentaati
Undang-Undang Dasar 1945, terutama belum dapat melaksanakan Pasal 27 ayat 2,
pasal 31, pasal 33 dan pasal 34.”
Apa saja bunyi
pasal-pasal yang disebutkan Hatta?
Pasal 27 ayat 2 UUD
1945 berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak.”
Pasal 33 ayat (1)
UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan.
Adapun Pasal
34 ayat (1) UUD 1945” berbunyi: Fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipelihara oleh negara.
Setelah mengetahui isi
pasal-pasal yang disebutkan Bung Hatta seperti tersebut di atas, pertanyaannya
kemudian adalah apakah saat ini Pemerintah dan masyarakat sudah sanggup
mentaati Undang-Undang Dasar 1945?
Beragam jawaban bisa
dihadirkan. namun satu hal yang harus digarisbawahi adalah Pancasila tidak bisa
mengubah kondisi bangsa, tetapi manusia Indonesia yang konsisten melaksanakan
Pancasila yang akan mengubah kondisi bangsa menjadi lebih baik.
Kita tidak bisa
mengingkari kenyataan bahwa selama ini masih ada rakyat yang tidak bernasib mujur,
miskin, tidak mendapatkan lapangan kerja, merasakan ketidakadilan dan
terpinggirkan. Selama hal ini masih terjadi maka akan selalu muncul ideologi
perlawanan, radikalisme dan gesekan dalam masyarakat yang meruntuhkan
kekeluargaan bangsa.
“Pancasila harus
tertanam dalam hati yang suci dan diamalkan dengan perbuatan nyata. Pancasila
tidak boleh dijadikan hiasan bibir saja, itu berarti pengkhianatan pada diri
sendiri.” demikian pesan Bung Hatta. Pesan yang terasa sangat relevan
untuk dicamkan di tengah realitas kondisi bangsa dewasa ini.
Bekasi, 12 Agustus 2021
[1] Webinar
“Bung Hatta Inspirasi Kemandirian Bangsa” yang diselenggarakan Badan Kebudayaan
Nasional Pusat PDI Perjuang tanggal 12 Agustus 2021 https://www.youtube.com/watch?v=tXmP3z48nhQ
[2] ibid
Leave a Reply