Category Archives: Diplomasi

Meneladani Semangat Membaca Sukarno

Proklamator Kemerdekaan RI dan Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno atau Bung Karno dikenal cerdas, tegas, dan berani dalam melawan bangsa luar yang menindas Indonesia. 

Sikap Bung Karno tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan tumbuh sejak masa muda. Ia antara lain memiliki kebiasaan membaca yang kuat di usia muda. Bung Karno merupakan pembaca “bebas” yang bisa berpindah topik bacaan begitu minatnya berubah atau ketertarikannya berpindah. 

Bung Karno pun memiliki kemampuan berkomunikasi yang sangat baik. Ia terampil memakai idiom atau kata-kata kunci yang tepat sasaran untuk pendengarnya, khususnya rakyat jelata.

Dalam sebuah video yang menampilkan Presiden Soekarno diwawancarai oleh 2 wartawan asing (Amerika Serikat dan Jerman) pada bulan September 1965, mulai menit 17.50 Bung Karno menceritakan bagaimana beliau bertemu dengan dengan tokoh-tokoh dunia lewat membaca sejak muda. Ia membaca pemikiran tokoh-tokoh dunia lewat buku-buku, bukan hanya sekali tetapi bahkan sebuah buku dibaca 2-3 kali. 

Melalui buku-buku, Bung Karno bertemu dengan tokoh-tokoh seperti Danton, Mazzini, Garibaldi, Marx, Engels, Gladstone, Webb. Ia juga bertemu dengan Hitler. “Ya saya membaca Mein Kamf three times. I also read other books about Hitler,” aku Sukarno.

Presiden Joko Widodo Ingatkan Pentingnya Bangun Kemitraan Setara ASEAN-UE

Kita tidak hanya harus maju bersama, namun juga harus maju setara! – Presiden Jokowi, KTT ASEAN-Uni Eropa

Brussel, ibukota Belgia pada Rabu (14/12/2022) ramai dihadiri Kepala Negara dan pemerintahan negara-negara anggota ASEAN, salah satunya adalah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), yang menghadapi KTT Peringatan 45 Tahun ASEAN – Uni Eropa.

Dalam pertemuan di Gedung Uni Europa, Rabu siang, Presiden disambut resmi oleh Presiden Dewan Eropa Charles Michel dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.

Pada kesempatan berpidato, menggunakan Bahasa Indonesia, Presiden Jokowi menyatakan bahwa kemitraan ASEAN-UE harus didasarkan pada prinsip kesetaraan. 

Ketika Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir Memburu Kupu-kupu

Kita mungkin tidak pernah membayangkan dua tokoh pergerakan nasional, Mohammad Hatta atau Sutan Sjahrir, berlari-lari memburu kupu-kupu saat berada di pembuangan di Boven Digul pada tahun 1935?  Mereka dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Boven Digul karena dianggap musuh yang membangkang.

Namun setelah mendengarkan presentasi Dr. Alicia Schrikker “Butterfly from the Boven Digoel” dalam konferensi sejarah lingkungan di Universitas Gajah Mada (UGM), kita akan mengetahui bahwa kedua tokoh pergerakan nasional Indonesia tersebut juga ikut berlari-lari memburu kupu-kupu.

Informasi mengenai presentasi Dr. Schrikker disampaikan sejarawan dari UGM, S. Margana melalui akun twitternya @margana_s pada Rabu (23/11/2022).

Margana menyampaikan bahwa melalui papernya yang dipresentasikan di UGM, Dr. Alicia Schrikker menyampaikan bahwa dengan dalih penelitian tentang lingkungan, para nasionalis Indonesia yang dipenjarakan di Boven Digoel dipaksa Belanda untuk menangkap kupu-kupu view.

Ketika di Roma, Bersikaplah Seperti orang Roma

“Ketika di Roma, lakukan seperti yang dilakukan orang-orang Roma,” sebuah pepatah dari abad ke-4 yang ditujukan kepada para pendatang untuk bersikap dan mengikuti kebiasaan dan tradisi lokal ketika berada  di suatu tempat. 

Konon pepatah ini merujuk pada kisah Santo Agustinus, seorang suci Kristen awal, yang pindah dari Roma ke Milan dan menemukan bahwa para pastur tidak puasa pada hari Sabtu sepertti halnya di Roma.

Santo Ambrose yang lebih tua dan lebih bijaksana, pada waktu itu uskup Milan, menyampaikan pandangannya, “ketika saya pergi ke Roma, saya berpuasa pada hari Sabtu, tetapi di sini saya tidak”. 

Di Indonesia sendiri terdapat pepatah serupa yang berbunyi “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, yang berarti dimanapun seseorang berada, ia mesti beradaptasi dengan masyarakat atau situasi setempat dengan menghargai adat dan budaya tempatan tanpa harus kehilangan jati-dirinya 

Gedung Merdeka dan Jejak Awal Karir Iwan Fals

Hujan deras siang hari tidak menghalangi pertemuan saya dengan dua orang hebat, yaitu tokoh tari kontemporer dan pembikin film dokumenter ragam budaya Indonesia Prof. Sardono Waluyo Kusumo, dan sosok di balik Teater Payung Hitam, Rachman Sabur. Kami bertemu di Gedung Merdeka,  Bandung, Kamis (03/11/2022). 

Kami berbincang-bincang ringan mengenai Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 yang berlangsung di Gedung Merdeka dan jejak kepemimpinan Presiden pertama Indonesia Sukarno atau Bung Karno dalam KAA. 

Di usia Republik Indonesia yang masih sangat muda, 10 tahun, Indonesia mampu menyelenggarakan konferensi yang memiliki dampak besar bagi perjuangan bangsa-bangsa Asia Afrika untuk memperoleh kemerdekaan. Konferensi yang mendorong munculnya kerja sama dan hubungan yang baik antar negara Asia Afrika di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Menyusuri Jejak Masjid Kuno Kaujon di Kota Serang

Banten dikenal sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di provinsi yang paling barat di Pulau Jawa. Provinsi ini pernah menjadi bagian dari provinsi Jawa Barat, tetapi provinsi ini menjadi wilayah pemekaran sejak tahun 2000, dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Ibukota dan pusat pemerintahannya berada di Kota Serang. 

Di Banten ini terdapat sejumlah tempat yang menggambarkan sejarah masa silam Banten, salah satu di antaranya, yaitu Masjid Kuno Kaujon. Meski berukuran kecil yang terletak di Kampung Kaujon Pasar Sore, RT003 RW01 Kelurahan Serang, Kecamatan Serang, Kota Serang, Banten, ini menyimpan keunikan dan saksi sejarah masa lampau. 

Dari luar bentuk masjid Kaujon Kota Serang ini terlihat memiliki kemiripan dengan bentuk masjid Demak di daerah Jawa. Kemiripan itu dicirikan dengan adanya atap tajuk dan atap cengkuk tiga. 

Baca Juga: Ini Dia Masjid dan Langgar Legendaris di Kawasan Kauman Kota Solo

Menurut Mushab Abdu Asy Syahid, salah seorang nara sumber dalam diskusi tanggal 10 Agustus 2020, yang diselenggarakan  Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Banten,  berdasarkan peta pada tahun 1897-an, masjid Kaujon merupakan salah satu masjid yang terdapat di Kota Serang, masjid lainnya adalah Masjid Pegantungan (At Tsauroh).

Menikmati Kopi di Kedai Tak Kie Menyusuri Jejak Masa Lalu

Berkunjung ke kawasan Pecinan Jakarta kurang lengkap bila tidak mengunjungi kedai kopi legendaris di kawasan tersebut yaitu Kedai Kopi Tak Kie. 

Kedai kopi yang diambil dsri asal kata ‘tak’ yang artinya orang yang bijaksana, sederhana, dan apa adanya, dan kata ‘kie’ sendiri memiliki arti mudah diingat banyak orang. 

Kedai kopi Tak Kie ini sudah berdiri sejak  tahun 1927. Awalnya kedai kopi yang didirikan oleh seorang perantau dari Tiongkok bernama Liong Kwie Tjong ini hanyalah sebuah tempat warung kopi yang berada di kawasan petak 9.

Sukarno Tidak Pernah Mati

Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama,” peribahasa ini memiliki arti bahwa setiap orang yang sudah meninggal pasti akan dikenang sesuai dengan perbuatannya di dunia.

Peribahasa ini sangat tepat untuk mengenang Sukarno atau Bung Karno, Bapak Proklamator Kemerdekaan dan salah seorang pendiri bangsa Indonesia yang pada 51 tahun yang lalu pergi untuk selama-lamanya. Bung Karno wafat sesudah jatuh sakit selama waktu singkat dan tanpa perawatan yang baik pada pukul tujuh pagi, 21 Juni 1970.

“Bung Karno diketahui menderita penyakit batu ginjal, peradangan otak, jantung, dan tekanan darah tinggi sejak lama. Namun, tak selayaknya seorang proklamator bangsa, akhir hidupnya dihabiskan dengan kesendirian di Wisma Yaso karena harus menjalani pemeriksaan terkait peristiwa Gerakan 30 September 1965.  Di rumahnya itu, ia tak punya teman bicara. Anak-anaknya hanya diizinkan menjenguk dengan waktu terbatas,” tulis Kompas dalam “50 Tahun Wafatnya Bung Karno: Akhir Hidup dalam Kesepian,” 21 Juni 2020.

Seperti ditulis akun Instagram @presidensukarno “Suasana kelam menggeluti langit Kota Jakarta. Sejak ditetapkan sebagai tahanan rumah pada Januari 1968, kesehatan Bung Karno terus memburuk. Dalam pertengahan Juni 1970 ia diangkut dari Wisma Yaso ke RSPAD Jakarta. Berbondong-bondoing rakyat tumpah ruah  di sepanjang jalan selama berhari-hari yang amat menguras air mata itu. Mereka mendoa, kesehatan Bung Karno akan membaik. Namun takdir berkata lain”.

Ngapurancang

Dalam budaya Jawa. ngapurancang adalah posisi tangan yang menunjukkan hormat terhadap lawan bicara, rendah hati, mau mendengarkan aspirasi pihak lain.

Ngapurancang atau memegang tangan di depan badan terbagi dua macam, yakni ngapurancang inggil yakni tangan kanan memegang tangan kiri di bawah pusar dan ngapurancang andhap yakni sebaliknya, tangan kiri memegang tangan kanan di bawah pusar.

Ngapurancang inggil menunjukkan sikap kewibawaan. Sedangkan ngapurancang andhap menunjukkan sikap tahu diri.

Tugu Pal Putih Yogyakarta

Belum ke Yogya kalau belum menengok Tugu Pal Putih atau Tugu Yogya yang terletak di perempatan jaklan Margo Utomo dan Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta.

Tugu yang dibangun di sisi utara Keraton oleh Sultan Hamengku Buwana I pada 1755. Pada awalnya, tugu ini berbentuk Golong-Gilig dan mempunyai tinggi mencapai 25 meter, dimana tiang dari tugu ini berbentuk Gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk Golong (bulat), sehingga pada masa itu tugu ini disebut dengan nama Tugu Golong-Gilig. Pada awal dibangunnya tugu ini mempunyai makna Manunggaling Kawula Gusti yang menggambarkan semangat persatuan antara rakyat dan penguasa dalam melawan penjajah. Namun di sisi lain juga bisa bermakna sebagai hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta.

Mengacu catatan sejarah Pada tanggal 10 Juni 1867 terjadi gempa hebat di Jogjakarta dan mengakibatkan runtuhnya bangunan tugu Golong Gilig. Pada tahun 1889, keadaan Tugu benar-benar berubah, saat pemerintah Belanda merenovasi seluruh bangunan tugu. Kala itu Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Tidak hanya itu saja, tinggi bangunan yang awalnya mencapai 25 meter pun dibuat hanya setinggi limabelas meter. Tugu ini kemudian diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada tanggal 3 Oktober 1889. Semenjak itu, tugu ini disebut dengan nama De Witt Paal atau Tugu Putih.

Serambi Soekarno dan Jejak Penggalian Pancasila

Pagi hari Jumat 11 Desember 2020, cuaca di kota Ende cukup sejuk karena semalam baru saja turun hujan. Di pagi yang sejuk itu aku menapaki perlahan demi perlahan anak-anak tangga menuju bangunan di atas bukit. Di pertengahan jalan menuju puncak telah menanti seorang pria berkemeja cerah dan senyum ramah tersungging di bibir.

“Selamat datang di Biara Santo Yosef, Ende. Perkenalkan saya Pater Henri Daros SVD, pimpinan Biara yang tergabung dalam Society Verbe Devine (SVD) atau Serikat Sabda Allah yang didirikan pada tahun 1913. Sejak didirikan pada jaman Belanda tersebut, Biara ini telah dihuni oleh para Pater dan Bruder yang bertugas melakukan pelayanan rohani umat Katholik dan pembangunan,” sapa pria yang menyambut saya dan rombongan kami dengan ramah. Ia menyambut kami tanpa didampingi siapapun.

“Sengaja saya menyambut di pertengahan anak tangga menuju bukit ini, bukan di pintu utama di depan, agar kiranya bapak-bapak dapat membayangkan jejak langkah Soekarno muda menapaki anak-anak tangga di bukit ini menuju gedung utama Biara dan melewati lorong menuju serambi gedung yang sekarang dinamakan Serambi Soekarno. Di serambi ini Soekarno kerap berinteraksi dengan para Biarawan ataupun membaca buku-buku milik perpustakaan biara ataupun buku pribadi para Pater. Anak-anak tangga yang bapak-bapak injak ini masih asli dan tidak ada perubahan berarti. Disinilah Soekarno muda atau Bung Karno berjalan setiap kali menuju gedung utama Biara,” ujar Pater Henri kemudian

Meneladani Nasionalisme KH Hasyim Asyari

Mengikuti himbauan pemerintah untuk menghindari perjalanan di libur panjang dan memelihara kedisiplinan terhadap protokol kesehatan Covid-19, saya pun menghabiskan sebagian besar waktu libur panjang Maulid Nabi Muhammad SAW 1442 H pada 23 Oktober – 1 November 2020 di rumah saja dengan antara lain berkumpul bersama keluarga, membaca buku dan menonton film di saluran televisi digital, salah satunya adalah film “Hadratussyaikh Sang Kiai”.

Hadratussyaikh Sang Kiai atau Sang Kiai adalah film drama Indonesia produksi Rapi Films dengan sutradara Rako Prijanto dan dirilis pada tahun 2013. Film Sang Kiai merupakan Film Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2013 dan mendapatkan penghargaan untuk kategori Pemeran Pendukung Terbaik bagi Adipati Dolken yang berperan sebagai Harun.

Meski dirilis tahun 2013 atau tujuh tahun lalu, harus diakui bahwa baru kali ini saya menontonnya. Dua alasan saya memilih film ini untuk ditonton adalah statusnya sebagai film terbaik dalam FFI 2013 dan temanya yang sejalan dengan semangat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 29 Oktober 2020 dan masih berdekatan dengan Hari Santri 22 Oktober 2020. Bukankah memperingati Maulid Nabi berarti mempraktekkan segala ajaran Islam dan mengikuti tauladan Nabi Muhammad SAW melalui ulama. Ulama adalah rujukan bagi umat Islam sebagai tempat belajar dan bertanya tentang kehidupan di dunia, khususnya persoalan agama. Ulama dinilai sebagai orang yang mumpuni untuk menjawab persoalan-persoalan menyangkut agama.