Category Archives: Travel

Bubur Cianjur Nan Menggoda

Kan kuingat di dalam hatiku

Betapa indah semalam di Cianjur

Janji kasih yang t’lah kau ucapkan

Penuh kenangan yang takkan terlupakan

Begitu penggalan lirik lagu “Semalam di Cianjur” yang dinyanyikan Alfian Harahap dan terkenal di tahun 1960-an. 

Konon lagu tersebut terinspirasi dari kunjungan sang penyanyi ke Cianjur untuk manggung di Wisma Karya di Jalan Mohammad Ali pada tahun 1960-an. Pada saat itu, Alfian sempat berkenalan dan”digosipkan” jatuh cinta dengan seorang mojang Cianjur keturunan Tioghoa-Sunda,”Namanya Leni. 

Nah terinspirasi dari judul lagu “Semalam di Cianjur”, penulis menuangkan pengalaman semalam di Cianjur pada 26 Desember 2022, khususnya terkait dengan kuliner khas kota tersebut yaitu bubur ayam.

Bagi anda penggemar bubur ayam, baik yang berfaham bubur diaduk atau makan dari pinggir, pasti tahu bahwa di Jabodetabek banyak pedagang bubur ayam yang berasal dari Cianjur. 

Mereka biasanya berjualan bubur ayam dengan menggunakan gerobak dan mangkal di suatu tempat tertentu.

Serambi Soekarno dan Jejak Penggalian Pancasila

Pagi hari Jumat 11 Desember 2020, cuaca di kota Ende cukup sejuk karena semalam baru saja turun hujan. Di pagi yang sejuk itu aku menapaki perlahan demi perlahan anak-anak tangga menuju bangunan di atas bukit. Di pertengahan jalan menuju puncak telah menanti seorang pria berkemeja cerah dan senyum ramah tersungging di bibir.

“Selamat datang di Biara Santo Yosef, Ende. Perkenalkan saya Pater Henri Daros SVD, pimpinan Biara yang tergabung dalam Society Verbe Devine (SVD) atau Serikat Sabda Allah yang didirikan pada tahun 1913. Sejak didirikan pada jaman Belanda tersebut, Biara ini telah dihuni oleh para Pater dan Bruder yang bertugas melakukan pelayanan rohani umat Katholik dan pembangunan,” sapa pria yang menyambut saya dan rombongan kami dengan ramah. Ia menyambut kami tanpa didampingi siapapun.

“Sengaja saya menyambut di pertengahan anak tangga menuju bukit ini, bukan di pintu utama di depan, agar kiranya bapak-bapak dapat membayangkan jejak langkah Soekarno muda menapaki anak-anak tangga di bukit ini menuju gedung utama Biara dan melewati lorong menuju serambi gedung yang sekarang dinamakan Serambi Soekarno. Di serambi ini Soekarno kerap berinteraksi dengan para Biarawan ataupun membaca buku-buku milik perpustakaan biara ataupun buku pribadi para Pater. Anak-anak tangga yang bapak-bapak injak ini masih asli dan tidak ada perubahan berarti. Disinilah Soekarno muda atau Bung Karno berjalan setiap kali menuju gedung utama Biara,” ujar Pater Henri kemudian

Warna Warni Kota Malaikat Puebla

Tiba menjelang siang hari di Puebla de Zaragoza (Puebla) di Negara Bagian Puebla, kesan pertama saat melihat kota ini adalah serasa berada di kota masa lalu dimana banyak berdiri kokoh bangunan kuno bergaya arsitektur Barok mengelilingi taman kota seperti bangunan kantor pemerintahan, Kathederal dan bangunan lainnya.

Meski secara umum bangunan yang ada di Puebla menyerupai bangunan di kota-kota lain, namun yang membedakan adalah bangunan-bangunan kuno tersebut memiliki dinding berwarna-warni seperti pelangi, merah, kuning, hijau dan biru. Jarang sekali ditemukan bangunan yang hanya berdinding satu warna. Setidaknya ada dua warna yang menghiasi bangunan-bangunan di sana.

Bangunan gereja yang di berbagai tempat ini dikenal kusam, di Puebla justru terlihat ceria dengan dinding gereja dicat warna kuning emas. Sementara di teras bangunan tempat tinggal banyak yang meletakkan bunga bougenvil berwarna ungu tua menutupi tembok. Semua pemandangan tersebut membuat Puebla terlihat cantik dan suasana kota tidak kusam.

Surga Kupu-kupu di Negara Bagian Meksiko

Setiap bulan Nopember jutaan kupu-kupu yang dikenal sebagai kupu-kupu raja melakukan migrasi besar-besaran dari Kanada Selatan ke Meksiko. Jutaan kupu-kupu tersebut terbang ribuan mil jauhnya untuk menghindari musim dingin di Kanada.

Di Meksiko, kupu-kupu tersebut tinggal di hutan pinus di negara bagian Michoacan dan Meksiko. Kupu-kupu tersebut bertelur dan berkembangbiak disana. Setelah tumbuh menjadi kupu-kupu menjadi dewasa, mereka pun terbang kembali ke Kanada secara berombongan pada bulan Januari dan Februari untuk hidup disana hingga datang musim dingin.

Ziarah ke Makam Coco di Panteon de Dolores

Sudah pernah nonton film COCO? Kalau sudah pasti tau dong siapa yang bernama Coco? Nah konon makam si tokoh Coco yang ternyata bernama Renata Gigma berada di pemakaman umum Panteon de Dolores, Mexico City. Makam tersebut merupakan satu dari 700.000 makam yang berada di area pemakaman tersebut.

Pemakaman umum seluas sekitar 500 hektar dan merupakan pemakaman sipil terluas di Amerika Latin ini diresmikan pada tahun 1875. Pemakaman ini didirikan oleh Juan Manuel Benfield, pemilik peternakan kuda di Coscoacoaco. Sebagai seorang tuan tanah, Benfield mulai membangun kawasan pemakaman pada tahun 1870 untuk menghormati adiknya yang meninggal di Veracruz saat baru tiba dari London.

Jumatan di Mexico City

Hari kedua saya berada di Mexico City bertepatan dengan hari Jumat. Berbeda dengan di tanah air dimana saya dapat dengan mudah menemukan masjid untuk sholat Jumat berjamaah, maka di Mexico City sangatlah sulit menemukan masjid. Maklum saja, Mexico kan negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Katholik. Diperkirakan hanya 1,5% saja warga Mexico yang beragama lain, salah satunya Islam.

Meski jumlah pemeluk Islam di Mexico hanya sedikit, namun di Mexico City ternyata terdapat sebuah masjid di Centro Educativo De La Comunidad Musulmana atau Pusat Pendidikan Komunitas Muslim, biasa disebut Masjid Polanco. Tidak ada papan nama ataupun tanda khusus apapun yang memperlihatkan bangunan tersebut adalah sebuah masjid.

Mencicipi Kopi Pemalang

Apa yang anda lakukan saat mudik kemarin? Tentu saja berlebaran dan bersilahturahhmi dengan sanak saudara di kampung halaman kan? Nah disamping melakukan aktivitas tersebut, hal yang saya lakukan saat mudik kemarin adalah berkunjung ke perkebunan kopi rakyat di Kabupaten Pemalang.  Banyak orang tidak mengetahui bahwa Pemalang ternyata juga menghasilkan kopi. Padahal, percaya atau tidak, produk kopi Pemalang, memiliki citarasa yang khas dan tidak kalah dengan citarasa kopi asal daerah lain di Indonesia.

Dibandingkan produk kopi Aceh, Toraja atau Mandailing, produk kopi asal Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah memang kalah tenar. Keberadaan tanaman kopi di Kabupaten Pemalang yang dikelola intensif oleh warga memang belum dikenal luas. Tanaman kopi dibudidayakan warga di desa-desa seperti Gambuhan, Penakir, Jurangmangu, Batursari dan Gunungsari yang tinggal di lereng Gunung Slamet yang berketinggian di atas 900 mdpl. Di pedesaan tersebut jumlah areal tanaman kopi milik warga diperkirakan mendekati 1.000 hektar.

Indahnya Lukisan Alam Pantai Paga

Pantai PagaSetelah menempuh perjalanan udara Jakarta-Kupang-Maumere, rombonganGaris 85 Goes to Flores” Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 85 (FHUI 85 atau Garis 85) dan Wuamesu Indonesia, organisasi masyarakat Ende di Jakarta, tiba di Bandara Frans Seda Maumere pada sekitar pukul 8 WITA  (5 Mei 2016). Dari Maumere rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke Ende lewat jalan darat menggunakan 3 (tiga) buah bus berukuran sedang.

Mengawali perjalanan menuju Ende, Kristo, pemandu lokal dan seorang anggota panitia dari Wuamesu yang mengkoordinasikan tour bersama Garis 85, menginformasikan bahwa di tengah perjalanan nanti, rombongan akan singgah sejenak di Pantai Paga, sekitar 48 km dari Maumere.

Dimana lokasi Pantai Paga? Begitu mungkin pertanyaan yang mengemuka saat mendengar pertama kali nama pantai Paga. Ya, mungkin dibandingkan nama-nama pantai lainnya di Indonesia, sebutkannlah semisal pantai Kuta dan Senggigi di Pulau Bali, nama pantai Paga masih kalah populer.

Dari informasi yang  diperoleh, pantai Paga terletak di Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Pantai Paga merupakan salah satu pantai di Pulau Flores yang menyajikan pemandangan alam yang indah dengan hamparan laut biru dan pasir pantai putih yang masih alami.

Menatap Pesona Keindahan Dana Kelimutu

danau kelimutu tour arisIndonesia merupakan negeri yang banyak memiliki kawasan wisata alam yang sangat indah dan tersebar di seluruh provinsi, salah satunya adalah danau tiga warna di puncak Gunung Kelimutu. Danau yang juga dikenal sebagai Danau Kelimutu ini terletak di Pulau Flores, tepatnya di Desa Perno, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

Secara teknis, tempat yang disebut sebagai danau tiga warna ini merupakan tiga buah kawah yang menyerupai danau dimana pada masing-masing kawah terkandung cairan lava gunung yang berbeda-beda warnanya, seperti merah, hijau dan putih. Kombinasi tiga warna lava gunung menjadi perpaduan sempurna yang memunculkan fenomena dan keindahan luar biasa yang hanya bisa dijumpai di Indonesia, khususnya Pulau Flores. Karenanya berkunjung ke Pulau Flores, khususnya Kabupaten Ende, tanpa pernah mendaki Gunung Kelimutu dan menatap langsung keindahan danau tiga warna, sama saja belum berkunjung ke Flores. begitu dikemukakan salah seorang peserta tour.

Kelimutu sendiri merupakan gabungan kata dari “keli” yang berarti gunung dan kata “mutu” yang berarti mendidih. Menurut kepercayaan penduduk setempat, warna-warna pada Danau Kelimutu memiliki arti masing-masing dan memiliki kekuatan alam yang sangat dahsyat.

Danau atau Tiwu Kelimutu di bagi atas tiga bagian yang sesuai dengan warna- warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna biru atau “Tiwu Nuwa Muri Koo Fai” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah atau “Tiwu Ata Polo” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Sedangkan danau berwarna putih atau “Tiwu Ata Mbupu” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.

Ojek Sepeda Ontel Yang Tetap Menggoda

IMG_20150909_121557Di tengah kesuksesan Go-Jek memanfaatkan teknologi informasi yang mulai menggeser ojek motor konvensional, ternyata masih ada jasa angkutan alternatif yang masih bisa bertahan tanpa sentuhan mesin bermotor ataupun teknologi canggih  yaitu ojek sepeda ontel. Zaman yang semakin canggih sepertinya belum sepenuhnya mampu menyingkirkan kendaraan roda dua tanpa mesin ini. Keberadaan pengemudi ojek sepeda ontel ini masih bisa kita jumpai, antara lain di depan Stasiun Kota seperti yang saya saksikan pada Rabu (9/9/2015).

Siang itu, segera setelah keluar dari gerbang sebelah kanan Stasiun Kota, beberapa pengemudi ojek berjejer sambal memegang sepeda ontel menyongsong kehadiran para penumpang kereta yang baru saja keluar Stasiun. Mereka menawarkan jasa mengayuh sepeda ontel ke daerah-daerah di sekitar kawasan Kota Tua hingga Mangga Dua.

Panas terik matahari tidak menyurutkan semangat para pengemudi ojek untuk menawarkan jasanya dan kemudian mengayuh sepeda menyusuri gang dan bersaing dengan dengan angkutan kota dan sepeda motor. Wajah optimis dan penuh senyum diperlihatkan salah seorang pengemudi ojek sepeda yang saya abadikan gambarnya pada tulisan ini. Meski banyak penumpang yang memilih ojek motor, tapi pengemudi ojek berkaos biru ini tetap tersenyum dan berharap akan ada penumpang yang menaiki sepedanya.

“Masjid Indonesia” di Bangkok

masjid indonesiaSetelah melewati kemacetan jalan raya di kawasan Ruam Rudee Lumpini ,Thanon Witthayu, Bangkok, akhirnya kendaraan yang kami tumpangi berbelok ke sebuah jalan kecil yang hanya cukup untuk melintas satu kendaraan roda empat. Setelah melewati beberapa jalan yang lebih kecil atau gang, kendaraan berhenti di sebuah ujung gang bernama Soi Polo. Sebuah papan petunjuk bertuliskan “Indonesia Mosque” terpampang di atas tembok

Dari ujung gang terlihat sebuah bangunan masjid berlantai tiga yang terletak di antara kerumunan rumah warga. Kami pun segera turun dan berjalan kaki menyusuri gang tersebut menuju masjid yang jaraknya sekitar 100 meter dari ujung gang. Sepanjang gang terlihat beberapa warung kelontong dan pedagang kaki lima yang menjual pisang goreng dan panganan kecil lainnya. Beberapa warga terlihat sedang duduk-duduk santai di atas kursi kayu sambil berbincang satu sama lain.

Seorang ibu yang mengenakan baju terusan panjang kemudian keluar dari masjid dan menyambut ramah kehadiran kami dalam bahasa Inggris patah-patah bercampur sedikit bahasa Indonesia. Ia adalah salah seorang warga yang ikut mengurus masjid. Dengan penuh keramahan dan layaknya seorang pemandu wisata, ia pun mengarahkan kami ke ruang sholat di lantai dua dan tiga, setelah sebelumnya menunjukkan tempat berwudhu di lantai pertama.

Masjid (Tanpa Jejak Sejarah) Cheng Ho Pandaan

IMG-20150523-WA0008Siapakah Cheng Ho? Sosok ini bagi sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia sepertinya bukanlah sosok yang asing. Kiprahnya sebagai seorang laksamana dan pemimpin sebuah armada laut besar yang berhasil mengarungi samudera luas dan menyinggahi banyak negara telah menjadi sebuah legenda dan membuat namanya dikenal.

Dalam sejarah Tiongkok sendiri, sosok satu ini banyak diceritakan dalam catatan-catatan sejarah kuno bangsa tersebut. Sejarah resmi Dinasti Ming, terutama bagian mengenai biografi Cheng Ho (Zheng He Zhuan) menyebutkan tokoh ini dilahirkan pada tahun 1371 di Distrik Kunyang, Provinsi Yunnan, wilayah Tiongkok yang telah lama dihuni oleh bangsa China pemeluk agama Islam. Cheng Ho dilahirkan sebagai putra kedua dari Ma Hazhi (Haji Ma) yang beragama Islam. Ia bersaudara lima orang, dengan seorang saudara laki-laki dan empat perempuan. Demikian tulis A. Dahana, Guru Besar Studi Cina Universitas Indonesia dalam kata pengantarnya di buku karya Tan Ta Sen “Cheng Ho, Penyebar Islam dari China ke Nusantara” (Penerbit Kompas, 2010).