Category Archives: Sosial Budaya

Keceriaan Anak-Anak Korban Gempa Cianjur Bareng BPIP dan Rumah Garuda

Gempa berskala 5,8 Richter terjadi di Cianjur pada November 2022 dan menimbulkan korban sekitar 600 orang dan ribuan rumah rusak.

Korban yang slamat kemudian ditampung di sejumlah tempat pengungsian yang tersebar di berbagai tempat di Cianjur yang aman dari gemma susulan.

Untuk membantu korban gempa, bányák masyarakat Indonesia yang tergerak untuk ikut membantu meringankan dengan bántuan tunai dan non-tunai, termasuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang berkunjung ke Cianjur pada 27 Desember 2022.

Selain memberikan bantuan tunai dan sejumlah harang, BPIP bersama dengan Rumah Garuda memberikan kepada anak-anak letat kegiatan mendongeng bersama tentang Pancasila.

Keceriaan dan kebahagiaan terpancar dari raut wajah anak-anak korban gempa bumi di desa Suka Mekar, Kecamatan Cigeunang, Kabupaten Cianjur saat diajak belajar sambil bermain oleh BPIP dan Rumah Garuda di temopat pengungsian pada kahir ntahun 2022 lalu. 

Meneladani Semangat Membaca Sukarno

Proklamator Kemerdekaan RI dan Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno atau Bung Karno dikenal cerdas, tegas, dan berani dalam melawan bangsa luar yang menindas Indonesia. 

Sikap Bung Karno tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan tumbuh sejak masa muda. Ia antara lain memiliki kebiasaan membaca yang kuat di usia muda. Bung Karno merupakan pembaca “bebas” yang bisa berpindah topik bacaan begitu minatnya berubah atau ketertarikannya berpindah. 

Bung Karno pun memiliki kemampuan berkomunikasi yang sangat baik. Ia terampil memakai idiom atau kata-kata kunci yang tepat sasaran untuk pendengarnya, khususnya rakyat jelata.

Dalam sebuah video yang menampilkan Presiden Soekarno diwawancarai oleh 2 wartawan asing (Amerika Serikat dan Jerman) pada bulan September 1965, mulai menit 17.50 Bung Karno menceritakan bagaimana beliau bertemu dengan dengan tokoh-tokoh dunia lewat membaca sejak muda. Ia membaca pemikiran tokoh-tokoh dunia lewat buku-buku, bukan hanya sekali tetapi bahkan sebuah buku dibaca 2-3 kali. 

Melalui buku-buku, Bung Karno bertemu dengan tokoh-tokoh seperti Danton, Mazzini, Garibaldi, Marx, Engels, Gladstone, Webb. Ia juga bertemu dengan Hitler. “Ya saya membaca Mein Kamf three times. I also read other books about Hitler,” aku Sukarno.

Presiden Joko Widodo Ingatkan Pentingnya Bangun Kemitraan Setara ASEAN-UE

Kita tidak hanya harus maju bersama, namun juga harus maju setara! – Presiden Jokowi, KTT ASEAN-Uni Eropa

Brussel, ibukota Belgia pada Rabu (14/12/2022) ramai dihadiri Kepala Negara dan pemerintahan negara-negara anggota ASEAN, salah satunya adalah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), yang menghadapi KTT Peringatan 45 Tahun ASEAN – Uni Eropa.

Dalam pertemuan di Gedung Uni Europa, Rabu siang, Presiden disambut resmi oleh Presiden Dewan Eropa Charles Michel dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.

Pada kesempatan berpidato, menggunakan Bahasa Indonesia, Presiden Jokowi menyatakan bahwa kemitraan ASEAN-UE harus didasarkan pada prinsip kesetaraan. 

Mengkaji Karya Bung Karno di Ende

1 Juni 2022 merupakan hari yang istimewa bagi masyarakat Ende karena untuk pertama kalinya peringatan Hari Lahir Pancasila tidak dilakukan di ibu kota negara, melainkan dipusatkan di kota Ende, sebuah ibukota Kabupaten Ende, provinsi Nusa Tenggara Timur. Kota ini merupakan Kota Kabupaten terbesar di Pulau Flores berdasarkan jumlah penduduk dalam kota.

Tidak sedikit orang yang kemudian menanyakan alasan mengapa peringatan Hari Lahir Pancasila pada tahun 2022 ini dipusatkan di Ende. Jawabannya tidak terlepas dari fakta sejarah bahwa selama 4 tahun 9 bulan dan 4 hari (14 Januari 1934 – 18 Oktober 1938) Sukarno atau Bung Karno pernah tinggal di Ende karena diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Saat diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Kota Ende inilah Sukarno mematangkan ide tentang dasar falsafah yang dapat berfungsi untuk menyatukan bangsa Indonesia yang bersifat majemuk dan menjadi dasar perjuangan kemerdekaan Indonesia yang sekarang dikenal sebagai Pancasila. 

“Di Pulau Flores yang sepi, dimana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan Tuhan, kemudian dikenal sebagai Pancasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara indah,” begitu diceritakan Sukarno dalam autobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. 

Merawat Tradisi Melalui Buka Puasa Bersama di Masjid Gedhe Kauman

Susana buka puasa bersama di Masjid Gedhe Kauman

Sempat terhenti dua tahun karena pandemi Covid 19 di awal 2020, tradisi berbuka puasa bersama yang sudah dilakukan sejak lama di masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, kembali dilaksanakan pada tahun 2022 ini.  Tentu saja dengan tetap menerapkan protokol kesehatan atau prokes seperti menjaga jarak, memakai masker dan mencuci tangan.

Tradisi berbuka puasa bersama di masjid milik Keraton Nyayogyakarta Hadiningrat yang berlokasi di sebelah barat komplek Alun-alun Utara, Jl. Kauman, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta ini dimulai sejak awal Ramadan 1443 H atau sejak 3 April 2022.  

Tradisi berbuka puasa bersama dimulai dengan mendengarkan ceramah Ramadan menjelang Magrib yang disampaikan seorang ustad. Setelah azan Magrib berkumandang, jamaah bersama-sama menyantap takjil atau sajian makanan dan minuman berbuka puasa yang disiapkan pengurus masjid.

Bakpia Kemusuk 033

Amanat ibu negara jelas, oleh-oleh dari Yogyakarta kali ini adalah Bakpia Kemusuk yang lembut. Jangan bakpia-bakpia lain seperti biasanya. Amanat yang disampaikan begitu gamblang bahkan disertai dengan hasil  google map alamat Bakpia Kemusuk.

Selesai tugas negara, segera saya meluncur ke lokasi Bakpia Kemusuk 033 yang menurut google map beralamat di  Kemusuk Kidul, RT.02, Argomulyo, Kec. Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 5575. Dusun ini terletak sekitar 15 KM arah barat Kota Yogyakarta. Perlu waktu sekitar 30 menit dari lokasi saya menginap di sekitar Gejayan.

Mendengar nama Kemusuk maka ingatan saya langsung tertuju pada nama dusun yang tidak asing lagi yaitu Dusun Kemusuk tempat kelahiran Presiden ke-2 RI Soeharto. Ya, di Dusun Kemusuk Kidul, Kelurahan Argomulyo, Kecamatan Sedayu di wilayah Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta lah Soeharto dilahirkan pada 8 Juni 1921.

Bung Hatta Penegak Pancasila

Tuhan, terlalu cepat semua
Kau panggil satu-satunya yang tersisa
Proklamator tercinta

Jujur, lugu, dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Rakyat Indonesia

Begitu pembuka lirik lagu berjudul “Bung Hata“, yang ditulis Iwan Fals untuk mengabadikan sosok salah satu sosok Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Mohammad Hatta atau Bung Hatta. Lagu ini ditulis Iwan Fals tidak lama setelah kepergian Bung Hatta pada 14 Maret 1980 di Jakarta dalam usia 77 tahun.

Selain sebagai salah seorang kemerdekaan RI, Bung Hatta merupakan Wakil Presiden pertama RI dan sejumlah jabatan penting lain di awal kemerdekaan yang konsisten memperjuangkan, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan RI sejak muda hingga akhir hayatnya. Banyak buku-buku dan pernyataan para tokoh yang memberikan kesaksian mengenai sosok Bung Hatta sebagai pemimpin yang jujur, sederhana, tekun, dan tidak kenal kompromi. Antara apa yang diucapkan dengan yang dilakukan selaras. Bung Hatta bukan tipe pemimpin yang hanya memperkaya diri dan keluarga. Baginya, kepentingan negara lebih utama. Sosok persis seperti bunyi lirik lagu dari Iwan Fals “Jujur, lugu dan bijaksana, mengerti apa yang terlintas dalam jiwa rakyat Indonesia”.

Sebagai konsekuensi atas konsistensi perjuangannya memerdekakan bangsanya, perjalanan hidup Bung Hatta pun diwarnai dengan beragam dinamika seperti mengalami pembuangan hingga bertahun-tahun, termasuk  antara lain pembuangan ke Tanah Merah Boven Digoel di pedalaman Papua atau menunda keinginan untuk menikah sebelum Indonesia merdeka. Setelah Indonesia merdeka, barulah Hatta menikah dengan Rachmi pada 18 November 1945. Uniknya, Hatta menjadikan buku yang ditulisnya, “Alam Pikiran Yunani,” sebagai mas kawin.

Sukarno Tidak Pernah Mati

Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama,” peribahasa ini memiliki arti bahwa setiap orang yang sudah meninggal pasti akan dikenang sesuai dengan perbuatannya di dunia.

Peribahasa ini sangat tepat untuk mengenang Sukarno atau Bung Karno, Bapak Proklamator Kemerdekaan dan salah seorang pendiri bangsa Indonesia yang pada 51 tahun yang lalu pergi untuk selama-lamanya. Bung Karno wafat sesudah jatuh sakit selama waktu singkat dan tanpa perawatan yang baik pada pukul tujuh pagi, 21 Juni 1970.

“Bung Karno diketahui menderita penyakit batu ginjal, peradangan otak, jantung, dan tekanan darah tinggi sejak lama. Namun, tak selayaknya seorang proklamator bangsa, akhir hidupnya dihabiskan dengan kesendirian di Wisma Yaso karena harus menjalani pemeriksaan terkait peristiwa Gerakan 30 September 1965.  Di rumahnya itu, ia tak punya teman bicara. Anak-anaknya hanya diizinkan menjenguk dengan waktu terbatas,” tulis Kompas dalam “50 Tahun Wafatnya Bung Karno: Akhir Hidup dalam Kesepian,” 21 Juni 2020.

Seperti ditulis akun Instagram @presidensukarno “Suasana kelam menggeluti langit Kota Jakarta. Sejak ditetapkan sebagai tahanan rumah pada Januari 1968, kesehatan Bung Karno terus memburuk. Dalam pertengahan Juni 1970 ia diangkut dari Wisma Yaso ke RSPAD Jakarta. Berbondong-bondoing rakyat tumpah ruah  di sepanjang jalan selama berhari-hari yang amat menguras air mata itu. Mereka mendoa, kesehatan Bung Karno akan membaik. Namun takdir berkata lain”.

Mensyukuri Keberagaman Indonesia

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS Ibrahim : 14:7)

Pada 6-7 Mei 2021 saya menghadiri diskusi lintas iman dalam bingkai Pancasila di Bogor. Diskusi yang diselenggarakan oleh Kedeputian Pengkajian dan Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dihadiri para pejabat eselon 1 dan 2 Kementerian Agama, perwakilan organisasi keagamaan dan akademisi.

Diskusi ini sangat menarik karena salah satu tujuannya adalah untuk melakukan penguatan kebijakan moderasi beragama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata moderasi didefinisikan sebagai pengurangan kekerasan, atau penghindaran keekstreman. Maka, ketika kata moderasi disandingkan dengan kata beragama, menjadi moderasi beragama, istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keesktreman dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama.

Sebagai negara yang secara sunnatullah memiliki keberagaman suku, agama, ras dan bahasa, moderasi beragama di Indonesia menjadi penting untuk menghilangkan gesekan sosial akibat perbedaan cara pandang masalah keagamaan.

Ziarah ke Peristirahatan Terakhir Sunan Kalijaga

Halaman parkir kendaraan dan lorong menuju makam Sunan Kalijaga masih terlihat sepi ketika kami tiba di lokasi pada Jumat 30 April 2021. Beberapa pedagang di kiri kanan lorong terlihat baru saja bersiap membuka kiosnya.

Tempat peristirahatan terakhir salah seorang Wali Songo di Pulau Jawa tersebut terletak di Desa Kadilangu, Kecamatan Demak Kota, Kabupaten Demak, sekitar 1,5 km dari Masjid Agung Demak ke arah tenggara. Lingkungan makam berada disekitar pemukiman penduduk yang padat.

Komplek makam ini dikelilingi tembok dengan cungkup beratap dua lapis berbentuk joglo dengan puncak atap berbentuk piramid. Dinding cungkup dikelilingi tembok dari marmer dengan pintu dan jendela berukir.

“Di bulan Ramadan ini peziarah sangat sepi karena bangunan cungkup makam Sunan Kalijaga tertutup bagi peziarah.  Peziarah yang datang tidak bisa melihat makam Kanjeng Sunan secara langsung, kecuali makam-makam yang ada di sekitar cungkup.” ujar petugas pencatat tamu saat kami tanyakan mengapa makam sepi.

Teladan Bapak Persandian RI

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, tanggal 4 April mungkin tidak memiliki arti apapun. Namun bagi mereka yang bergelut di dunia persandian. Untuk mengamankan komunikasi rahasia negara, tanggal 4 April akan senantiasa diingat sebagai hari lahirnya persandian Indonesia karena pada tanggal 4 April 1946 untuk pertama kalinya dibentuk dinas persandian. Karena itu pula setiap tanggal 4 April diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Persandian RI.

April 1946, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang baru saja diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh Soekarno-Hatta dihadapkan pada ancaman dari Belanda yang ingin berkuasa kembali. Belanda yang sudah ratusan tahun bercokol di bumi nusantara tidak begitu saja rela melepaskan asetnya yang sangat berharga. Sebaliknya, rakyat Indonesia tentu saja tidak ingin momentum kemerdekaan yang sudah direbut dengan susah payah diambil kembali oleh Belanda.

Karenanya perang kemerdekaan untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia menjadi tidak terhindarkan lagi. Perang besar-besaran pun mulai berkobar. Belanda menyiapkan pasukannya untuk melakukan agresi. Sementara rakyat Indonesia bergerak bersama melakukan konsolidasi kekuatan seperti membentuk  Tentara Rakyat Indonesia pada 5 Oktober 1945 yang bertugas menjaga pertahanan negara. Sebelumnya, pada19 Agustus 1945 dibentuk Kementerian Luar Negeri yang tugasnya antara lain untuk melakukan diplomasi kemerdekaan di fora internasional.

Di tengah kondisi awal pasca kemerdekaan Indonesia tersebut, seorang dokter di Kementerian Pertahanan paa Bagian B (bagian intelijen), dr. Roebiono Kertopati, pada 4 April 1946 pukul 10.00 WIB menerima perintah dari Menteri Pertahanan, Mr. Amri Sjarifoeddin, untuk membentuk badan pemberitaaan rahasia yang disebut Dinas Code.

Tugu Pal Putih Yogyakarta

Belum ke Yogya kalau belum menengok Tugu Pal Putih atau Tugu Yogya yang terletak di perempatan jaklan Margo Utomo dan Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta.

Tugu yang dibangun di sisi utara Keraton oleh Sultan Hamengku Buwana I pada 1755. Pada awalnya, tugu ini berbentuk Golong-Gilig dan mempunyai tinggi mencapai 25 meter, dimana tiang dari tugu ini berbentuk Gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk Golong (bulat), sehingga pada masa itu tugu ini disebut dengan nama Tugu Golong-Gilig. Pada awal dibangunnya tugu ini mempunyai makna Manunggaling Kawula Gusti yang menggambarkan semangat persatuan antara rakyat dan penguasa dalam melawan penjajah. Namun di sisi lain juga bisa bermakna sebagai hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta.

Mengacu catatan sejarah Pada tanggal 10 Juni 1867 terjadi gempa hebat di Jogjakarta dan mengakibatkan runtuhnya bangunan tugu Golong Gilig. Pada tahun 1889, keadaan Tugu benar-benar berubah, saat pemerintah Belanda merenovasi seluruh bangunan tugu. Kala itu Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Tidak hanya itu saja, tinggi bangunan yang awalnya mencapai 25 meter pun dibuat hanya setinggi limabelas meter. Tugu ini kemudian diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada tanggal 3 Oktober 1889. Semenjak itu, tugu ini disebut dengan nama De Witt Paal atau Tugu Putih.