Seiring meningkatnya perekonomian China, banyak anggota masyarakatnya yang kemudian melancong ke manca negara, baik untuk urusan bisnis ataupun jalan-jalan. Salah satunya negara yang dijadikan sebagai daerah kunjungan adalah Indonesia. Wajar saja jika Indonesia menjadi daerah tujuan kunjungan, sebab Indonesia adalah negara terbesar dan terpenting di Asia Tenggara.
Dari sekian banyak warga masyarakat China yang berkunjung ke Indonesia (menurut data statistik 2011, ada sekitar 700 ribu kunjungan WN China ke Indonesia), tidak sedikit yang baru pertama kali ke Indonesia, salah satunya Luo Yingqing, Vice Chairman sebuah perusahaan China yang datang ke Indonesia dalam rangka mengikuti ‘road show bisnis ke Indonesia’ yang diadakan Kedutaan Besar RI di Beijing baru-baru ini.
‘Saya sudah sering melancong ke banyak negara, bahkan pernah tinggal 3 tahun di Eropa, namun baru kali ini saya berkesempatan ke Indonesia. Saya tahu, Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara dengan mayoritas penduduknya adalah muslim, demikian ujar Luo yang berasal dari kota Chengdu, Provinsi Sichuan, sebuah kota di bagian Barat China.
‘Dalam benak saya selama ini, masyarakat Muslim Indonesia tidak berbeda dengan masyarakat Muslim di Arab, baik dalam cara berpakaian maupun dalam pergaulan sehari-hari. Dalam berpakaian misalnya, saya mengira wanitanya mengenakan pakaian muslim konservatif dan banyak yang mengenakan penutup muka (maksudnya cadar) dan kaku dalam pergaulan’, demikian ditambahkan Luo.
‘Tapi selama lebih dari seminggu di Indonesia, justru saya melihat pemandangan yang berbeda, Mayoritas masyarakat Muslimnya tidak terlihat mengenakan busana ala Arab. Wanitanya pun cantik-cantik saat mengenakan pakaian Muslim dan modis. Dalam pergaulan, masyarakat Indonesia pun sangat hangat dan ramah tamah, selalu tersenyum’
‘Saya bicara tidak melebih-lebihkan agar kamu senang. Saya bicara apa adanya’, begitu ditambahkan Luo melihat saya hanya diam dan sedikit tersenyum. ‘Selama beberapa hari di Jakarta dan Palembang, saya melihat gambaran kehidupan masyarakat Indonesia yang yang berbeda dengan gambaran masyarakat muslim yang ada di benak saya selama ini’, Luo terus nyerocos.
‘Benar apa yang dikatakan Mr. Luo. Saya merasakan sendiri keramahtamahan masyarakat Indonesia dan sikapnya yang sangat membantu’, sela Liu Yingjung, salah seorang anggota rombongan lainnya dari kota Hangzhou, yang sedari tadi hanya diam mendengarkan pembicaraan kami.
‘Saat di Palembang, ketika akan menghadiri acara makan malam bersama Gubernur Sumatera Selatan, saya sempat tertinggal bis rombongan. Tidak ingin ketinggalan acara makan malam, saya putuskan untuk menyusul dengan berjalan kaki. Saya mengira jarak dari tempat saya menginap (hotel Novotel) ke kediaman gubernur (Griya Agung) tidak terlalu jauh’, begitu Liu memulai ceritanya.
‘Setelah berjalan sekitar 200 meter, saya mulai bingung menentukan arah jalan yang mesti ditempuh. Saya pun kemudian bertanya kepada setidaknya 3 orang yang berada di sekitar kawasan tersebut. Sayangnya tidak ada satu pun dari mereka yang bisa berbahasa Inggris dan saya tidak bisa berbahasa Indonesia karena seperti halnya Mr. Luo, saya pun baru pertama kali ke Indonesia’ begitu ditambahkan Liu.
‘Mereka berusaha menjawab pertanyaan saya dalam bahasa Indonesia, tapi saya tidak mengerti. Saya pun berjalan kembali. Beruntung sekitar 100 meter kemudian ada seorang pemuda yang bisa menjawab pertanyaan saya dan menunjukkan tempat tinggal gubernur. Saya pun kemudian berjalan kembali mengikuti arah yang ditunjukkan si pemuda tadi. Baru beberapa puluh langkah, si pemuda tersebut menyusul saya dan mengatakan bahwa jarak ke rumah gubernur masih sangat jauh dan kalau jalan kaki akan perlu waktu lama’
‘Tanpa saya minta, si pemuda tersebut kemudian menghentikan sebuah kendaraan yang lewat dan meminta saya untuk naik. Saya kemudian diantar sampai ke rumah gubernur. Lagi-lagi, tanpa diminta dia langsung membayar ongkos kepada si sopir dan tidak meminta ganti kepada saya. Tentu saja saya sangat berterima kasih, karena saya bukan saja tidak memiliki rupiah, tetapi saya pun tidak membawa dompet karena tertinggal di hotel’
‘Coba bayangkan, kalau saja tidak dibantu pemuda yang menolong tanpa pamrih, mungkin saat saya sampai ke rumah gubernur, acara sudah selesai. Saya sengaja berjalan kaki karena saya menyadari tidak membawa dompet dan uang sepeserpun ketika sudah meninggalkan hotel’ .
‘Di negeri saya, rasanya sulit menemukan pemuda seperti yang saya ceritakan. Untuk sekedar menjawab pertanyaan saja, banyak yang berusaha menghindar. Jadi pengalaman ini sangat berkesan bagi saya dan akan saya ceritakan ke teman-teman dan keluarga saat kembali ke China. Saya akan ajak mereka untuk berkunjung ke Indonesia’, ujar Liu yang pensiunan kolonel dan pernah bertugas di Arab Saudi dan ikut dalam beberapa misi perdamaian PBB di Kamboja dan Lebanon.
Komentar dua rekan perjalanan saya tersebut di atas mengenai sikap ramah dan sangat membantu dari masyarakat Indonesia, bisa jadi tidak menggambarkan sikap masyarakat China secara keseluruhan. Tapi pandangan mereka merupakan bentuk pengakuan tulus terhadap sikap masyarakat Indonesia yang ramah dan baik hati. banyak hal yang tidak diketahui masyarakat China dan masyarakat dunia pada umumnya mengenai Indonesia, Salah satunya adalah mengenai sikap ramah tamah dan senang membantu yang masih tetap hidup. Suatu budaya yang patut dilestarikan. Yuuk maree …
Leave a Reply