Ada kata-kata bijak di Cina yang berbunyi ‘Jika kamu ingin kaya raya, kamu mesti membangun jalan raya’. Menuruti kata-kata bijak tersebut, sejak jaman Cina kuno hingga modern para penguasa di Cina selalu membangun jalan raya dan infrastruktur lainnya. Yang teranyar adalah pembangunan jalur kereta cepat Beijing-Guangzhou sepanjang 2.298 km dan mulai dioperasikan sejak 26 Desember 2012.
Dengan kecepatan rata-rata 300 km per jam (dari maksimum 380 km per jam) dan meluncur di jalur khusus, Beijing – Guanzhou yang awalnya ditempuh selama lebih dari 20 jam, kini dapat ditempuh hanya dalam waktu sekitar 8 jam. Bandingkan dengan perjalanan kereta Jakarta-Surabaya sepanjang 727 km yang ditempuh selama 10-12 jam atau rata-rata 70 km per jam. Selain memangkas waktu perjalanan, pembangunan jalur kereta cepat tersebut juga menghubungkan 28 kota dan 5 ibu kota provinsi.
Pengoperasian jalur kereta cepat Beijing-Guangzhou tersebut menjadi tonggak sejarah baru dalam perkeretaan Cina dan semakin mengukuhkan Cina sebagai negara yang memiliki jalur kereta cepat terpanjang di dunia sepanjang 13.539 km, mengungguli Spanyol (5,525 km), Perancis (4.722 km) dan gabungan Eropa (5.189 km).
Banyak orang kemudian bertanya-tanya, sejak kapan Cina mulai membangun industri kereta cepat dan bagaimana mereka membangun dan mengembangkannya? Dari berbagai referensi dan ngobrol-ngobrol dengan pejabat perkeretaan Cina yang sempat saya temui beberapa waktu lalu, diketahui bahwa pengembangan kereta cepat di Cina dimulai pada tahun 2007 atau baru 5 tahun yang lalu.
Program pembangunan kereta cepat dilakukan guna memodernisasi angkutan kereta konvensional yang dirasakan sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat Cina. Targetnya adalah tersedianya jalur kereta cepat sepanjang 18.000 km pada tahun 2015, selain jalur kereta lainnya sepanjang 120.000 km pada tahun 2020, dapat mengangkut sekitar 500 juta orang per tahun, dan menghubungkan semua provinsi dan kota di CIna. Modernisasi juga dilakukan guna mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang dilewati jalur kereta melalui perpindahan orang, barang, jasa, informasi dan investasi.
Untuk mencapai target yang telah ditetapkan, sejak program kereta cepat diluncurkan, Pemerintah Cina dibawah koordinasi Kementerian Perkeretaan menjalin kerjasama pembuatan dan alih teknologi dengan sejumlah perusahaan pembuat kereta di berbagai negara seperti Siemens, Bombardier dan Kawasaki Heavy Industry. Sempat melambat pada tahun 2010 karena kasus korupsi di kementerian perkeretaan Cina , kini industri kereta Cina kembali bergairah. Hasilnya, selain diperolehnya produk kereta modern, juga lahir tenaga-tenaga ahli kereta Cina yang mampu mendisain dan membangun kereta sendiri yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat mencapai kecepatan hingga 380 km per jam.
Penasaran dengan kehebatan kereta cepat yang dibangun Cina, saya pernah beberapa kali menaiki kereta cepat tersebut, salah satunya adalah kereta cepat Beijing-Hangzhou yang berjarak 1.637 km. Berangkat dari Beijing South Railway Station sekitar pukul 16.50, terlambat 10 menit dari jadwal semestinya yaitu 16.40, kereta langsung melesat begitu meninggalkan stasiun. Tidak sampai 15 menit, kereta sudah meluncur dengan kecepatan di atas 300 km per jam. Kecepatan tersebut terus bertahan sepanjang perjalanan dan hanya berkurang ketika memasuki beberapa stasiun di kota yang dilewati. Dan dengan kecepatan rata-rata sekitar 300 km per jam, tidak mengherankan jika jarak Beijing-Hangzhou sepanjang 1.637 km dapat ditempuh tidak sampai 6 jam.
Bergerak di atas re khusus, saya tidak merasakan guncangan-guncangan atau gerbong kereta yang naik-turun atau bergerak ke kanan-kiri seperti lazimnya kereta konvensional. Saking halusnya, saya merasa seperti sedang terbang menggunakan jet darat.
Pengalaman perjalanan menjadi lebih menyenangkan karena saya dapat menyalakan laptop dan bermain game tanpa perlu khawatir kehabisan baterai karena di setiap kursi yang diduduki terdapat sambungan listrik. Selain fasilitas sambungan listrik, di setiap gerbong juga tersedia dispenser berisi air dingin dan panas yang dapat diperoleh secara gratis.
Dan yang juga menyenangkan, di setiap gerbong terdapat toilet yang cukup bersih, tidak kalah dengan toilet di pesawat terbang. Terlihat petugas cleaning service bolak balik memeriksa kebersihan toilet. Dengan kondisi toilet yang bersih, saya tidak perlu khawatir jika ingin buang air kecil atau besar.
Dengan interior kereta yang didisain seperti kabin pesawat, duduk di kelas ekonomi pun cukup nyaman. Tentu saja kalau mau lebih nyaman bisa memilih gerbong eksekutif dimana kursinya lebih lebar dan bisa dijadikan tempat tidur seperti layaknya kelas bisnis di pesawat terbang.
Bosan berdiam di tempat duduk, bersama beberapa teman, saya pun berjalan ke ruang restorasi untuk sekedar minum teh atau ngobrol di ruangan yang didisain mirip restoran.
Sambil ngobrol di restorasi, saya dan teman-teman kadang bercerita dan membayangkan seandainya perkeretaan di Indonesia bisa seperti Cina. Jalur kereta dibangun dan diperbanyak sehingga bisa menghubungkan sebagian besar kota-kota di Indonesia. Bukan hanya membayangkan jarak Jakarta-Surabaya sepanjang 727 km yang bisa ditempuh dalam waktu 3-4 jam saja, tetapi juga kemungkinan jalur kereta dari Surabaya hingga Banda Aceh di Pulau Sumatera (tentunya kalau pembangunan Jembatan Selat Sunda jadi terlaksana). Selain jalur kereta di Pulau jawa dan Sumatera, kami juga membayangkan jalur kereta dari Makassar hingga Menado di Pulau Sulawesi ataupun koneksi antar kota di Kalimantan.
Dengan pembangunan jalur kereta, disertai jalan tol dan pelabuhan laut yang menghubungkan satu kota dengan kota lain, akan memudahkan pergerakan barang, orang, jasa dan informasi dari satu tempat ke tempat lain seperti halnya di Cina. Otomatis, perekonomian di berbagai kota di Indonesia pun akan terdorong dan ikut bergerak maju, serta meningkatkan daya saing.
‘Saya optimis Indonesia bisa mempercepat pembangunan infrastruktur, termasuk jalur kereta api, jika program Master Plan Pembangunan dan Percepatan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 bisa diimplementasikan dengan baik. Asal jangan nanti ganti presiden, program MP3EI dihentikan dan dibikin lagi program baru dan pelaksanaannya dimulai lagi dari awal. Akhirnya rencana pembangunan tetap jalan di tempat alias mangkrak seperti rencana pembangunan MRT di Jakarta’, komentar teman saya yang rajin mengikuti berita pembangunan di tanah air.
‘Iya, menurut saya program MP3EI sudah cukup baik, siapaun presiden kita nanti, program tersebut bisa dilaksanakan. jangan dihentikan kalau ganti presiden. Kalau memang ada kekurangan dari program tersebut, sebaiknya diperbaiki saja dan ditambah jika masih dirasakan kurang’, timpal teman saya yang lain.
‘Sip deh, kalau gitu sekarang menjadi tugas bersama semua pemangku kepentingan, termasuk kita-kita yang lagi di Cina nich, untuk meyakinkan calon investor Cina agar mau ikutan program MP3EI dan tanamkan modalnya, serta yang tidak kalah pentingnya adalah mengajak mereka untuk ikut memberikan alih teknologi. Jangan memberikan teknologi usang, yang di Cina sudah tidak terpakai kemudian dialhkan ke Indonesia’, ujar saya.
‘Dan yang tidak kalah penting, kita mesti ingatkan para pemimpin kita mengenai kata-kata bijak orang Cina ‘Jika ingin kaya raya, bangun jalan raya’. Kalau perlu tambahkan ‘Jangan foya-foya, cari bini muda dan kawin siri’, tambah teman yang tadi ngomongin MP3EI.
‘Ha ha ha bisa aja loe, udah ach, yuk kembali ke kursi masing-masing, kereta sudah hampir tiba di Hangzhou tuch’
Leave a Reply