Matahari mulai tergelincir meninggalkan
batas median, bergeser dari tengah-tengah langit, menuju arah tenggelamnya di barat.
“Telah tiba waktu sholat dzuhur,” ujarku
dalam hati, sambil mengayunkan langkah menaiki anak tangga menuju lantai empat
gedung kantorku yang letaknya masih di dslam komplek kantor kepresidenan. Lantai
empat yang kumaksud bukanlah lantai bangunan yang sesungguhnya, tetapi atap
bangunan yang terbuka. Di atap ini terdapat sebuah mushola minimalis khusus
pegawai yang baru saja dibangun pada awal tahun 2020.
Seorang pegawai pria terlihat tengah
duduk di kursi besi yang disediakan sambil membuka sepatunya. Sementara seorang
pegawai lainnya tengah mensucikan diri dengan wudhu. Aku pun bersegera melepas
sepatu yang kupakai, menggantinya dengan sandal jepit dan ikut berwudhu.
Setelah itu melaksanakan sholat dzuhur berjamaah.
Usai sholat, aku memilih untuk tetap di atap
gedung di lantai empat dan sejenak memandangi kawasan istana kepresidenan yang
terletak di sebelah barat. Dari tempatku berdiri tampak kulihat atap-atap bangunan
di kawasan istana yang mirip satu sama lain.
Dari beberapa atap bangunan yang tampak
tersebut, terlihat barisan bendera merah putih berkibar di atas sebuah bangunan.
“ehmm … itu pasti bendera yang ada di Istana Negara,” pikirku. Aku hanya bisa
mengira-ngira karena tidak tahu persis tata letak bangunan-bangunan yang ada di
kawasan istana.
Di sebelah kanan barisan bendera,
kulihat sebuah menara masjid menjulang. “Nah kalau menara itu pasti dari masjid
Baiturahim yang digunakan para pegawai di lingkungan istana untuk melaksanakan
sholat, termasuk sholat Jumat yang sudah beberapa waktu terakhir tidak
dilaksanakan.” pikirku lagi.
“Benar, menara yang terlihat dari sini
adalah menara masjid Baiturahim yang terletak di sebelah barat Istana Merdeka.
Aku yang berinisiatif membangun masjid tersebut pada 1959. Aku pula yang
menunjuk R.M Soedarsono sebagai arsitek pembangunan masjid itu. Ia adalah
arsitek yang antara lain pernah membangun Monumen Nasional dan Museum Sejarah,” ujar seseorang yang
tiba-tiba sudah berada di sampingku.
Aku pun menoleh ke sumber suara dan
melihat sosok gagah dan berwibawa dengan senyum khas di wajah. Ia mengenakan
stelan baju safari senada dan mengenakan peci hitam. Rasanya aku kenal dengan
sosok orang ini. Gambar wajahnya mudah dijumpai di banyak tempat. Bahkan saat
kampanye pemilihan presiden ataupun anggota legislatif, gambar wajahnya selalu
tampil di berbagai spanduk dan poster meski
ia tidak ikut dalam pemilihan.
“Aku ikut langsung mengawasi pembangunan
masjid tersebut dan menyusun nuansa struktur bangunan yang lekat dengan nuansa
Jawa-Bali. Masjid tersebut selesai pada tahun 1961,” ujar sosok tersebut lebih
lanjut.
Ketika aku masing terbengong-bengong mendengar
penjelasannya dan melihat kehadirannya, sosok gagah tersebut kemudian
menyapaku. Sambil tersenyum dia memperkenalkan dirinya.
Sebenarnya aku bukan tidak mengenal
sosok yang ada di hadapanku, kualat rasanya bila tidak mengenal sosok yang memainkan
peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan
Jepang. Sosok yang pertama kali mencetuskan Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia di depan sidang Badan Perintis Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945.
Namun aku masih tidak percaya bagaimana sosok
hebat kelahiran Surabaya 6 Juni 1901 dan wafat pada 21 Juni 1970 di Jakarta
bisa tiba-tiba hadir di sampingku. Benar, sosok tersebut adalah Sukarno atau
Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan RI dan Presiden pertama RI yang menjabat pada
1945-1967.
Bung Karno adalah sosok yang hebat. Banyak
sekali tulisan dalam dan luar negeri yang menceritakan sosok dan kiprahnya. Dari
sekian banyak tulisan mengenai sosok Bung Karno, salah satu tulisan yang
menarik adalah tulisan “Soekarno Head to
A Nation” yang menjadi artikel utama majalah Newsweek terbitan 15 Februari
1965. Sebuah tulisan faktual yang mengisahkan kebijakan Bung Karno di
tahun-tahun yang dikenal sebagai “A Year
of Living Dangerously”, masa dimana terjadi pertarungan politik
memperebutkan kekuasaan yang dipimpin Partai Komunis Indonesia.
Dalam majalah bersampul coklat yang
menampilkan foto Bung Karno dalam pakaian kebesaran, lengkap dengan atribut dan
tanda jasa serta peci hitam, diceritakan mengenai sikap Bung Karno sebagai
pemimpin tertinggi di Indonesia yang flamboyan, penuh kharisma, dan memiliki
personalitas yang kompleks.
Newsweek menyebutkan bahwa Bung Karno merupakan
seorang pemimpin yang telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang
disegani, tidak saja di Asia Tenggara, namun juga dunia. Di bawah kepemimpinan
Bung Karno, Indonesia sangat percaya diri dengan potensi yang dimiliki dan
mempergunakan potensinya tersebut untuk melaksanakan kebijakan politik luar
negeri yang bebas dan aktif dengan tegas dan penuh percaya diri.
Masih menurut Newsweek, salah satu bentuk kepercayaan diri Bung Karno
diperlihatkan ketika ia mengumumkan bahwa Indonesia akan memiliki bom atom
sendiri pada akhir tahun 1965. Sebuah pengumuman yang sontak saja memunculkan
kekhawatiran di dunia Barat. Di tengah meluasnya pengaruh dan ancaman komunisme
di Asia Tenggara, dunia Barat khawatir Indonesia
akan menjadi salah satu ancaman terhadap stabilitas keamanan dan perdamaian di
Asia Tenggara, selain ancaman komunisme dari Tiongkok.
Newsweek
juga menuliskan fakta
bahwa Bung Karno kemudian tergusur dari puncak kekuasaan pasca pemberontakan
Partai Komunis Indonesia pada 30 September 1965. Namun demikian, tergusurnya
Bung Karno dari puncak kekuasaan tidak mengurangi pengakuan dan penghargaan
masyarakat Indonesia terhadap kontribusinya yang sangat besar dalam mewujudkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Jangan takut, ragaku memang sudah
meninggalkan dunia fana. Tapi sejatinya aku masih bersama bangsaku. Pemikiran-pemikiranku
masih terus hadir dan didiskusikan hingga kini, meski ada yang berupaya
menghambat,” ujar sosok tersebut memecah lamunan dan mencoba menenangkan
kekagetanku.
“Oh … Siap Pak … ,” ujar saya sambil
segera menyambut uluran tangannya dan segera menyalami
“Boleh saya ngobrol-ngobrol dengan
bapak, apa bapak ada waktu,” tiba-tiba muncul keberanianku untuk membuka
percakapan secara spontan.
“Cukup panggil aku Bung Karno seperti
judul buku autobiografiku yang ditulis Cindy Adams. Lagi pula, orang juga sudah
tahu kalau saya adalah Bapak Bangsa ini,” jawab sosok yang memperkenalkan diri
sebagai Bung Karno tersebut.
“Oh iya, aku juga tahu kalau kamu
beberapa kali berfoto di samping lukisan potret diriku yang dipajang di Gedung
Pancasila. Terakhir kamu berfoto tanggal 1 Juni 2020, usai pelaksanaan upacara peringatan
Hari Lahir Pancasila,” ujar Bung Karno dengan suara bariton dan senyumnya yang
khas.
“iya, siap Pak, eh Bung …. eh Bung
Karno,” jawabku masih dalam keadaan gugup dan sedikit malu karena ketahuan
beberapa kali berfoto bersama lukisan potret diri Bung Karno di Gedung
Pancasila, Kementerian Luar Negeri.
“Ayo kita ngobrol-ngobrolnya sambil
duduk di kursi itu,” ajak Bung Karno sambil menunjuk jejeran kursi di belakang
mushola.
“Bagaimana, apa yang ingin bro tanyakan?
Sepertinya ada keingintahuan yang mendalam,” ujar Bung Karno dengan gaya
bertutur kata seperti anak muda jaman now, namun tetap dengan tutur kata yang
rapih dan teratur.
“ehmm … begini Bung, pertama, kenapa
Bung kerap disebut sebagai Putra Sang Fajar? Apakah benar Bung dilahirkan saat
fajar merekah? Kedua, aku ingin tanya tentang Pancasila. Bagaimana Bung melihat
penerimaan masyarakat terhadap Pancasila sekarang ini? Bagaimana menyikapi
pandangan sebagian anggota masyarakat yang ingin mengganti ideologi Pancasila
atau mempersoalkan kembali penghapusan tujuh kata dalam sila pertama yang
tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945,” tanyaku.
Dengan tersenyum penuh arti, Bung Karno
mengangguk-angguk mendengar pertanyaanku itu.
“Oke bro … aku jawab satu persatu
pertanyaannya,” jawab Bung Karno sambil menyandarkan punggungnya di kursi. Ia memulai
jawabannya tetap dengan gaya kekinian dan santai. Tidak terlihat sikap yang
berpura-pura hanya untuk menjaga wibawa.
“Mengenai pertanyaan mengapa aku disebut
sebagai Putra Sang Fajar, aku teringat akan perkataan ibuku di suatu pagi. Ia
mengatakan “Anakku, engkau sedang memandang matahari terbit. Dan engkau,
anakku, kelak akan menjadi orang yang mulia, pemimpin besar dari rakyatmu,
karena ibu melahirkanmu di saat fajar menyingsing. Kita orang Jawa memiliki suatu kepercayaan,
bahwa seseorang yang dilahirkan saat matahari terbit, nasibnya telah digariskan
sebelumnya. Jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra sang
fajar,” ujar Bung Karno ketika menceritakan penuturan ibunya.
“Ketika aku lahir, saat itu bukan hanya
awal dari hari yang baru, tetapi juga awal dari dari abad yang baru. Aku
dilahirkan pada tahun 1901. Bagi bangsa Indonesia abad ke-19 merupakan zaman
yang gelap. Sebaliknya zaman sekarang bagi mereka adalah zaman penuh semangat
di dalam pasang naiknya revolusi kemanusiaan,” tutur Bung Karno.
“Oh ternyata sebutan Putra Sang Fajar berasal
dari ibunda tercinta Bung Karno sendiri. Dan sebutan tersebut merupakan doa seorang
ibu untuk kemuliaan hidup anaknya,” simpulku dalam hati.
“Mengenai pandanganku terkait penerimaan
masyarakat terhadap Pancasila, aku melihat bahwa dibandingkan waktu-waktu
sebelumnya, sekarang ini ada kegairahan baru untuk kembali mempelajari dan
memahami nilai-nilai Pancasila serta mendorong upaya untuk mempraktekkannya
dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun
bernegara,” jelas Bung Karno
“Maaf, bisa dijelaskan lebih lanjut
Bung?,” tanyaku menyela penjelasan si Bung.
“Begini bro, sejak Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP) dibentuk pada tahun 2018, aku senang bahwa obrolan
mengenai Pancasila kembali bergairah di ruang-ruang publik. Karena setelah Suharto
yang menggantikanku tidak lagi berkuasa di tahun 1998, sejak itu terjadi
kekosongan pembelajaran Pancasila di ruang publik. Seperti ada ketakutan ketika
mesti membicarakan Pancasila yang dipandang sebagai warisan Suharto,” jelas Bung
Karno.
“Meningkatnya kegairahan untuk membincangkan
kembali Pancasila tampak dari banyaknya kegiatan dan diskusi menyambut Hari
Lahir Pancasila 1 Juni 2020. Media cetak dan elektronik ramai memperbincangan
Pancasila di halaman mereka. Percakapan mengenai Pancasila di media sosial juga
ramai. Webinar-webinar Pancasila berlangsung hampir setiap hari dengan isu yang
beragam, mulai dari Pancasila menghadapi Covid-19 hingga Pancasila menghadapi
ideologi-ideologi lain, termasuk menghadapi ideologi yang sudah jelas dilarang
dan tidak diperkenankan untuk bangkit kembali,” lanjut Bung Karno.
“Aku senang bila obrolan tentang
Pancasila bisa tetap dilakukan terbuka tanpa ada yang berkeinginan memonopoli
suatu kebenaran. Aku memandang bahwa sekarang saatnya kita tidak lagi bicara
tentang pentingnya Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup berbangsa
dan bernegara, karena hal tersebut sudah jelas, tapi bagaimana kita
mengoperasionalkan nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan pembangunan yang solid
dan bagaimana mempraktekkan nilai-nilai yang telah disepakati,” tambah Bung
Karno
Aku mendengarkan dengan takzim
penjelasan Bung Karno sambil sesekali mencatat ucapannya.
“Aku paham bahwa tidak mudah mempraktekkan
nilai-nilai Pancasila tanpa niat yang sungguh-sungguh. Penyelenggara negara
harus bisa memberikan contoh dan teladan yang benar mengenai pelaksanaan
Pancasila. Sayangnya, negeri ini sedang mengalami masa transisi yang sangat
besar. Karakter anak bangsa, satu per satu terlihat. Dan Allah menunjukan jati
diri mereka dan masyarakat ini mengetahui siapa mereka sebenarnya. Penampakan
karakter anak bangsa ini nantinya akan memilih satu mutiara. Kapan mutiara itu
akan bersinar, waktu yang akan menentukannya nantinya,” papar si Bung.
“Para mutiara yang terpilih itu, tidak
berasal dari gen tertentu, tidak ditentukan mereka anak siapa atau cucu siapa
bahkan dari belahan wilayah nusantara yang mana. Mutiara itu akan matang pada waktunya,
dan membawa negeri ini akan lebih maju di masa yang akan datang. Mutiara
terpilih itu adalah patriot Indonesia sejati, yang bisa mengeluarkan negeri ini
dari prahara dan kegaduhan politik yang menyengsarakan anak bangsa ini,” tambah
si Bung.
Mendengar kata mutiara, akupun lantas
teringat akan program menggali mutiara Pancasila yang kerap dibicarakan para
petinggi BPIP. Program menggali mutiara Pancasila dilakukan dengan menyusuri
kehidupan di berbagai tempat di Indonesia yang tanpa gembar gembor sejatinya
telah mempraktekkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari seperti
melakukan tindakan saling tolong menolong dan gotong royong, serta hormat
menghormati antar pemeluk agama atau antar suku bangsa. Perilaku berpancasila
yang sudah baik ini kemudian diduplikasi ke tempat-tempat lain. Melalui langkah
ini diharapkan pada suatu saat nanti akan semakin banyak bermunculan benteng
Pancasila di seluruh Indonesia.
“Bro, saya pernah katakan “Perjuanganku
lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena
melawan bangsamu sendiri”. Perkataan ini sekarang terbukti. Musuh atau negara
yang dihadapi tidak bisa disederhanakan menjadi hitam atau putih, Barat atau
Timur, tapi bisa siapa saja, bahkan bangsa kita sendiri. Coba bro perhatikan, kita
kerap saling berdebat dan saling menyalahkan dalam berbagai hal. Bahkan ketika
wabah Covid-19 mengancam keselamatan kita semua, masih ada saja individu atau sekelompok
orang yang berkeinginan untuk menarik penanggulangan wabah corona ke ranah
politik dan lakukan dukung mendukung, besar-besaran pengikut atau jamaah,” jelas
Bung Karno.
“Kalau kita terus memelihara konflik,
maka sebenarnya tanpa kita sadari, musuh yang nyata justru sudah berada di
tengah-tengah kita. Bisa jadi musuh sudah mengadaptasi kebiasaan baru di
sekeliling kita. Lebih dahulu dari adaptasi kebiasaan baru menghadapi pandemik Covid-19,”
tutur si Bung dengan senyum penuh arti.
Wah Bung Karno update juga nih mengenai
berita-berita pandemik Covid-19, kataku dalam hati sambil terus menyimak
mengenai apa yang disampaikan Bung Karno dan sesekali mencatat poin-poin yang
kuanggap penting.
“Maaf Bung, ijin untuk kembali ke soal
sila-sila Pancasila. Seperti yang aku baca dari berbagai tulisan sejarah
perumusan pembukaan UUD 1945, menjelang penetapannya terjadi pembahasan yang
alot terkait rumusan sila pertama yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945. Benarkah
terdapat penolakan dari kelompok Kristen dan Katholik di Indonesia Timur terhadap
kalimat di dalam rumusan Piagam Jakarta yang berbunyi “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya?,” tanyaku.
Bung Karno kulihat terdiam sejenak dan
tidak langsung menjawab pertanyaanku. Sepertinya ia mencoba menahan perasaannya
saat harus mengingat-ingat kembali momen-momen penting dimulainya persidangan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk mengesahkan UUD 1945 pada
18 Agustus 1945.
“Pada saat menjelang sidang PPKI yang dijadwalkan
dimulai pukul 09.00 WIB, memang terdapat tuntutan untuk menghapus tujuh
kata pada sila pertama Pancasila yang
terdapat dalam Piagam Jakarta yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tuntutan tersebut datang dari para
pemuka agama Kristen dan Katolik di Indonesia Timur pada sore 17 Agustus 1945
melalui seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang disampaikan kepada Wakil
Ketua PPKI Mohammad Hatta, sehari sebelum siding PPKI,” tutur Bung Karno
mengawali penjelasannya.
“Pada awalnya, Bung Hatta yang menjabat sebagai
Wakil Ketua PPKI menjelaskan bahwa kalimat yang mewajibkan penerapan syariat
Islam bukan diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang
beragama Islam. Apalagi, kalimat itu juga telah disetujui AA Maramis yang
merepresentasikan kelompok non-Muslim di Panitia Sembilan. Namun penjelasan
Bung Hatta tak berbuah hasil. Opsir Kaigun memastikan para pemuka agama Kristen
dan Katolik akan tetap bersikukuh meminta tujuh kata dalam Piagam Jakarta
dihapus. Jika kalimat itu tetap dipertahankan, mereka mengancam Indonesia Timur
tidak akan bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru saja
diproklamasikan,” cerita Bung Karno lebih lanjut.
“Setelah berusaha maksimal untuk
meyakinkan, namun tidak berhasil, kulihat Bung Hatta akhirnya mengalah dan
berjanji akan membahas persoalan ini dalam sidang PPKI. Bung Hatta sadar jika
republik yang baru diproklamasikan pecah, maka Belanda akan mudah kembali
menjajah. “Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatra akan
dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik devide et impera,
politik memecah dan menguasai,” begitu cerita Bung Karno.
“Esok paginya sebelum rapat PPKI
dimulai, kulihat Bung Hatta mendiskusikan tuntutan para pemuka agama Kristen dan
Katolik dari Indonesia Timur bersama sejumlah tokoh Islam. Mereka yang terlibat
ialah Ki Bagus Hadikusumo, K.H Wachid Hasjim, Teuku M. Hasan, dan juga Kasman
Singodimedjo. Perundingan berlangsung sengit dan tegang. Semula tokoh-tokoh
Islam sukar menerima tuntuntan para pemuka agama Katolik dan Kristen dari
Indonesia Timur. Namun akhirnya mereka mengalah karena saat itu republik
membutuhkan persatuan untuk mendapat dukungan dan simpati dunia,” cerita Bung
Karno lebih lanjut.
”Salah satu tokoh Islam yang saat itu
paling bersikeras menolak penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ialah
Ketua Umum Muhammadiyah sekaligus anggota Panitia Sembilan Ki Bagus Hadikusumo,”
cerita Bung Karno kemudian.
“Sebagai Ketua PPKI, aku kemudian
meminta Kasman Singodimedjo sebagai anggota tambahan PPKI. Selain Kasman, aku
juga meminta Wiranata Kusumah, Ki Hadjar Dewantara, Sayuti Melik, Mr Iwa
Kusumasumantri, dan Mr. Ahmad Subarjo sebagai anggota tambahan PPKI,” tutur
Bung Karno.
“Namun untuk Kasman aku memberikan tugas
khusus untuk membujuk Ki Bagus Hadikusomo agar berkenan menghapus tujuh kata
dalam Piagam Jakarta. Aku percaya Kasman yang juga warga Muhammadiyah dapat
melunakkan pendirian Ki Bagus. Sebab lobi sejumlah tokoh Islam seperti K.H
Wachid Hasjim, Teuku M.Hasan, hingga Bung Hatta tidak mampu melunakan pendirian
Ki Bagus mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Jakarta,” tuture Bung Karno.
“Kenapa bukan Bung sendiri yang
membujujk Ki Bagus Hadikusumo?” tanyaku
“Aku tidak ingin terlibat dalam proses
lobi menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta karena aku sebagai Ketua PPKI
dan terutama sebagai peserta dari Panitia Sembilan mengenai pembuatan Piagam
Jakarta, aku merasa agak kagok untuk menghadapi Ki Bagus Hadikusumo dan
kawan-kawannya,” jawab si Bung dengan nada berat
“Dengan berat hati, Ki Bagus Hadikusumo
akhirnya menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Namun dengan
syarat mengganti bunyinya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa,” tutur Bung Karno
kemudian.
“Kalau kemudian sekarang ini ada yang
mempersoalkan kembali masalah penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, ada
baiknya mengingat jas merah, jangan sesekali melupakan sejarah. Para tokoh
agama Islam pada saat itu dengan penuh kesadaran rela berkorban untuk menghapuskan
ketujuh kata tersebut karena ingin mempertahankan keutuhan NKRI. Tidak ingin
terjadi konflik internal yang berkepanjangan dan bisa menyebabkan disintegrasi
bangsa dan negara,” ujar Bung Karno.
“Karena itu, kita harus bergotong royong
untuk terus membumikan Pancasila. Ada tiga cara yang dapat dilakukan yaitu: pertama,
menggunakan politik untuk menjadikan masyarakat Indonesia yang berdaulat dalam
berbangsa dan bernegara. Sebab, jika tidak, bangsa Indonesia akan terbawa arus
globalisasi. Kedua, harus mampu menjadikan bangsa Indonesia mampu berdiri di
atas kaki sendiri. Dan ketiga, menjadikan bangsa Indonesia berkepribadian di
bidang budaya,” begitu pesan Bung Karno.
Mendengar pesan yang disampaikan Bung
Karno, saya lantas teringat arahan Presiden Joko Widodo baru-baru ini untuk
membumikan Pancasila kepada seluruh penyelenggara negara melalui pemasukan
nilai-nilai Pancasila dalam setiap kegiatan Kementerian/Lembaga. Dalam
membumikan Pancasila, Presiden Joko Widodo juga menekankan mengeni perlunya
membanjiri ruang-ruang publik dengan narasi-narasi ideologi Pancasila menggunakan
media komunikasi yang tepat dan melalui hal-hal yang disukai generasi muda
seperti musik, film, olahraga dan kuliner. Presiden mewanti-wanti agar kita jangan
sampai kalah dengan upaya penyebarluasan ideologi lain yang narasi-narasi telah
membanjiri ruang-ruang publik, khususnya di media sosial dan aplikasi-aplikasi
percakapan online.
Belum sempat saya menanggapi penjelasan
Bung Karno yang terakhir, tiba-tiba suara azan terdengar dari aplikasi Muslim Pro
di telepon genggamku yang mengingatkan waktu Ashar sudah tiba. Astagfirullahaladzim
… rupa-rupanya seusai sholat dzuhur tadi dan kembali ke ruangan kerja, saya justru
tertidur di kursi kerja.
Saat tertidur tersebut rupanya aku bermimpi
berjumpa dan berbincang-bincang dengan Bapak Bangsa dan Proklamator Kemerdekaan
RI Sukarno atau Bung Karno. Aku tentu
saja sangat senang bisa berjumpa dengan Bung Karno dan berdialog meski dalam
mimpi.
Bung Karno adalah sosok inspiratif. Ibarat
sumur, Bung Karno adalah sebuah sumur yang dalam dengan air di dalamnya yang tidak
pernah ada habisnya. Meski Bung Karno telah tiada, namun pemikiran-pemikirannya
tidak akan pernah kering untuk dikaji, dibahas dan dituliskan.
Bekasi, 6 Juni 2020
Leave a Reply