Berpulangnya penyanyi campursari Didi Kempot pada 4 Mei 2020 pagi karena henti jantung telah membuat kaget masyarakat Indonesia, khususnya para penggemarnya yang lintas generasi. Ia berpulang di bulan Ramadhan ketika sedang berada di puncak kejayaan sebagai penyanyi.
Terlahir dengan
nama Dionisius Prasetyo, Didi Kempot adalah seorang “Lord of Ambyar yang mewartakan
bahwa ambyar adalah kebenaran dan hidup ini sesungguhnya rapuh dan mudah berantakan”
(“Ambyar” berasal dari bahasa Jawa yang artinya bercerai-berai, berpisah-pisah,
atau tidak terkonsentrasi lagi. Bagi orang Jawa, ambyar bisa berarti remuk atau
hancur), tulis Sindhunata dalam artikelnya “In
Memoriam the “Lord of Ambyar”” (Kompas, 7/5/2020).
“Warta itu benar
ketika manusia, sang raksasa kesombongan dan kebenaran ini, bisa dirobohkan
oleh Covid-19 yang kecilnya melebihi seperseribu debu,” tambah Sindhunata.
Merujuk
pernyataan Sindhunata, tidak mengherankan bila kita melihat Did Kempot lebih memilih
berkisah tentang rindu dan patah hati dalam lagu-lagunya, daripada berkisah
tentang sesuatu yang tidak diketahuinya dan bisa mengesankan kesombongan. Rindu
dan patah hati adalah dua hal yang selalu ada dalam setiap diri manusia, yang apabila
tidak disikapi dengan bijak bisa memunculkan sakit hati.
Karenanya “daripada
sakit hati, lebih baik dijogedi,” lebih baik mengalah daripada sakit hati,
begitu prinsip Didi Kempot. Seperti lirik dalam lagu Rumput Teki “Aku tak sing ngalah, trimo mundur timbang
loro ati, Tak oyako wong kowe wis lali, ora bakal bali (aku saja yang mengalah,
menerima mundur daripada sakit hati. Dikejar pun kamu sudah lupa, tidak akan
kembali).”
Sikap untuk
tidak sombong inilah yang mewarnai perjalanan hidup seorang Didi Kempot. Mengawali
karirnya benar-benar dari bawah sebagai pengamen di Solo pada 1980an, ia hapal
pelosok-pelosok jalan di Solo karena sering masuk dan keluar kampung untuk
mengamen. Beberapa tahun mengamen di Solo, ia pun mengadu nasib di Jakarta. Di
ibukota ia mengamen di jalan bersama teman-temannya dan kemudian membentuk Komunitas
Pengamen Trotoar disingkat Kempot, sebuah nama yang kemudian melekat pada sosok
seorang Didi.
Saat mengamen,
Didi memegang prinsip bahwa mengamen bukan sekedar untuk mendapatkan uang, tetapi
yang lebih penting bisa menghibur pendengarnya. Sebuah prinsip yang sepertinya
jarang sekali ditemui pada pengamen saat ini. Coba saja perhatikan saat kita didatangi
pengamen, biasanya pengamen akan menghentikan nyanyiannya begitu diberi uang dan
ia akan berpindah ke tempat lain meski lagu yang dinyanyikannya belum selesai.
Prinsip menghibur
inilah yang terus dipegangnya meski sudah tenar. Ia tidak pernah perhitungan soal
pembayaran honor manggung yang sepenuhnya diserahkan pada manajemennya. Prinsip
ini saya rasakan saat mengundang Didi Kempot untuk Konser Kebangsaan Prestasi
Pancasila 2019 pada 19 Agustus 2019 yang disiarkan langsung oleh TVRI dari dari
Hall bekas pabrik gula di Tjolomadu, Surakarta.
Melalui
manajemen Didi Kempot, saya dikabari bahwa begitu tahu tujuan konser kami adalah
untuk memberikan apresiasi bagi para ikon Pancasila 2019, ia langsung setuju
untuk tampil dalam konser tersebut tanpa mempermasalah honor yang diajukan. Kapan
lagi bisa tampil untuk negara, begitu komentar Didi Kempot melalui salah
seorang staf manajemennya.
Cerita yang sama
juga saya baca dari penuturan salah seorang sahabatnya, Blontank Poer, di akun
facabooknya. Blontank menuliskan pengalamannya saat mempersiapkan konser gotong-royong
di Sunan Hotel, Solo, tahun 2019. Bermodal gagasan dan konsep bagi hasil antara
hotel Sunan sebagai penyedia ruang aula dengan Rumah Blogger Indonesia sebagai
penyelenggara dan Didi Kempot sebagai penyanyi, konser berlangsung sukses
dengan animo penonton yang luar biasa hingga 2000 tiket konser yang dijual
online ludes hanya dalam 3 jam. Menurut Blontank, salah satu kunci sukses
konser ini adalah sikap Didi Kempot yang tidak mempermasalahkan bayaran. Bahkan
ia pun tidak ikut campur soal pembagian tiket untuk relasinya (yang merupakan
haknya).
Sikap lain dari
seorang Didi Kempot yang layak diteladani adalah rendah hati dan tidak silau
dengan ketenaran. Meski sudah tenar, kerap ia menyambangi teman-teman
pengamennya di Solo dan Jakarta. Bahkan setiap kali ke Jakarta ia selalu
menginap di kamar hotel di Kawasan Slipi yang menghadap ke jalan dimana ia dulu
sering mengamen. “Biar tidak lupa.” ujar Didi pada suatu kesempatan kepada
wartawan yang mewancarainya. “Saya pun tidak lupa membayar hutang ke pemilik warung
Tegal yang dulu sering dihutangi.” tambah Didi.
Hal lain yang
juga patut diketahui bahwa ternyata meski disibukkan dengan berbagai jadwal
manggung, Didi juga rajin bersilahturahmi ke beberapa kyai dan aktif beramal
sosial.
“Popularitas dan
kesuksesan tidak melunturkan sikap dan jiwanya. Dia tetap menjadi seniman yang
njawani. Di puncak kariernya, dia justru rajin mendatangi tempat pengajian,
bersholawat dan beramal sosial untuk sesamanya. Ini berbeda dengan beberapa
artis yang mendekat pada para ulama saat kariernya sedang meredup,” tulis Al
Zatrouw Ngatawi di artikelnya “Didi Kempot Gandulan Sarunge Kyai” (islamsantun.org)
“Selain
melakukan silaturrahim ke beberapa kiai, dia juga akrab dan peduli dengan
komunitas pesantren. Dia tidak hanya menghormati kiai yang masih hidup, tetapi
juga para kiai yang sudah wafat, seperti Gus Dur, mBah Liem (Kyai Muslim
Rifa’ie Imampuro, Klaten) dan lain-lain. Mas Didi sangat ngestokke
(memerhatikan dengan sunguh-sungguh) dhawuh para kiai tersebut. Bahkan dia
selalu terlibat dan peduli pada kegiatan yang terkait dengan para kiai seperti
haul dan sejenisnya,” tulis Al Zatrouw lebih lanjut.
Catatan-catatan kebaikan
dan keteladan Didi Kempot akan semakin panjang jika diurut satu persatu. Namun apabila
dicermati dengan seksama, maka sesungguhnya Didi Kempot adalah seseorang yang
konsisten menjalankan laku Pancasila dalam kehidupan keseharian, tanpa
berkoar-koar sebagai seorang Pancasilais.
Dalam setiap
kesempatan Didi terlihat selalu bersikap santun dan tidak meledak-ledak melalui
tampilan dan retorika. Ia lebih memilih membuat laku nyata, yaitu peduli dan
membawa manfaat bagi sesama. Sebuah sikap yang sarat makna akan nilai-nilai kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Laku nyata
tersebut ditunjukkan ketika menggelar Konser Amal dari Rumah tanggal 11 April
2020 di Kompas TV. Seperti pengakuan yang diutarakan Rosiana Silalahi, Pemimpin
Redaksi Kompas TV dan host acara Konserl Amal tersebut, Didi Kempot tidak
mempersoalkan bayaran, yang terpikir bagaimana konser bisa berjalan dengan baik.
“Mas Didi
membuat konser amal, sama sekali enggak berpikir ‘nanti saya gimana’. Sama
sekali enggak, yang dia pikirkan bagaimana konser berjalan dengan baik,”
ucap Rosi seperti dikutip dari Kompas TV. Selesai konser digelar, Didi juga
menyerahkan semua dana yang berhasil dikumpulkan untuk diatur oleh pihak Kompas
TV. “Dia pribadi yang kalau beramal ya beramal aja, enggak mau hitung
untung rugi,” sambung Rosi.
Laku nyata juga
ditunjukkan Didi saat berupaya mengangkat musik campursari yang terkesan
kampungan dan lagu-lagunya yang berbahasa Jawa ke tingkat nasional, tanpa
melalui slogan dan teriak di media. Ia melakukannya dengan konsisten membuat
lagu berbahasa Jawa dengan narasi yang mudah dipahami dan mewakili suara mereka
yang mencari kerinduan dan ketidakpastian yang menyebabkan patah hati. Ia pun memainkan
musik campursari yang enak didengar dan bisa untuk berjoged.
Lewat musiknya, Didi
pun berhasil mempersatukan lintas generasi di Indonesia, termasuk masyarakat di
luar Jawa yang tidak mengerti artinya. Masyarakat di luar Jawa dan generasi
muda yang tidak paham Bahasa Jawa pun bisa ikut menikmati karya-karya Didi dan
ikut jogedan saat lagu-lagunya diperdengarkan.
Lebih dari itu,
sebagai seorang Muslim, Didi ternyata juga dekat dengan para kyai. Namun
kedekatan tersebut tidak digunakannya untuk menunukkan bahwa dirinya sangat paham
agama dan mengerti soal sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Simak saja penampilannya
saat konser amal dari rumah 11 April 2020, ketika Rosi menyebutkan jumlah
sumbangan yang masuk, Didi tidak bereaksi berlebihan dan dengan mata terlihat
sayu hanya tersenyum kecil serta berucap “Alhamdullilah”. Tidak terlihat raut
kesombongan di wajahnya.
Pada akhir
hayatnya Didi menunjukkan bahwa hidup ini ternyata indah karena ia telah mempersilahkan
sesamanya yang menderita untuk “ngademo, ngalem ing dadaku, tombonano rasa
kangen ing dadaku, tombanano rasa kangen ing atiku (bermanja, bermanja di
dadaku, sembuhkan kangen di dadaku, sembuhkan kangen di hatiku).
Akhirnya, dengan laku Pancasila yang dilakoni dalam kehidupan keseharian dan capaiannya mengangkat harkat musik campursari dari musik daerah ke tingkat nasional, maka sangat layak apabila Badan Pembinaan Ideologi Pancasila memberikan penghargaan penghargaan Ikon Prestasi Pancasila 2020 sebagai ikon bidang seni dan budaya kepada Almarhum Didi Kempot, menyusul penghargaan Lifetime Achievement Awards Billboard Indonesia Music Awards (IMA) 2020 dari Billboard Indonesia.
Keterangan foto:alm Didi Kempot saat berada di Suriname 7 Desember 1998. Foto oleh Bambang Setyobudhi
Bekasi, 8 Mei
2020
Leave a Reply