“Wah enak sekali nih daging satenya, rempah-rempah dan bumbunya terasa menyerap di daging. Dagingnya juga empuk,” ujar Dobravko Zirovcic, diplomat asal Kroasia yang sedang mengikuti pelatihan diplomat senior di Indonesia.
“Di Kroasia juga ada sate daging seperti ini, bahkan daging satenya dipotong besar-besar, tidak seperti daging sate ini yang dipotong kecil-kecil. Tapi di negeri saya, daging yang dibakar tidak diberi rempah-rempah dan bumbu. Daging dibakar langsung dan saat makan barulah diberi saus tomat,” komentar Dobravko terus mencicipi potongan daging sate.
“Iya, daging sate seperti ini enak sekali. Rempah-rempah dan kecapnya terasa sekali,” ujar Nguyen Thai Hai Yen, diplomat asal Vietnam yang juga mengiktui program yang sama dengan Dobravko.
“Di Vietnam, sate hanya dibakar saja, paling-paling ditaburi cabe kering”, tambah Nguyen
Saya yang dari tadi berada di sebelah keduanya hanya tersenyum, sambil ikut serta mencicipi beberapa sate yang disajikan di atas meja. Sate-sate tersebut adalah sate buatan para peserta kelas masak yang diselenggarakan Sekolah Staf dan Pimpinan Kementerian Luar Negeri (Sesparlu) bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Trisakti dan diikuti para diplomat senior Indonesia dan internasional yang mengikuti Sesparlu angkatan 58.
Pagi itu sebanyak 10 orang diplomat senior Indonesia dan 8 orang diplomat senior manca negara asal Australia, Kroasia, Vietnam, Kamboja, Myanmar, Laos, Mexico dan Timor Leste belajar memasak beberapa makanan khas Indonesia seperti sate maranggi, nasi kuning, asinan Jakarta, dadar gulung dan minuman jahe.
Sebelum mencapai bagian icip-icip seperti yang sedikit saya ceritakan di atas, sebelumnya terjadi aneka keseruan dalam acara masak memasak di dapur STP Trisakti. Delapan belas orang peserta masak memasak dibagi kedalam tujuh kelompok sesuai dengan perangkat masak yang tersedia di dapur tersebut. Masing-masing kelompok disediakan bahan-bahan makanan seperti daging, tepung, gula, kecap, santan, bumbu dan aneka rempah-rempah yang siap diolah dan dimasak. Agar tidak kebingungan, setiap kelompok juga didampingi oleh seorang mahasiswa tahun pertama yang ikut membantu memasak.
Keseruan dimulai ketika sebagian diplomat yang selama ini jarang ke dapur harus mulai menyiapkan dan meramu bahan-bahan yang tersedia dan mengolahnya menjadi menu makanan yang diinginkan yaitu nasi kuning plus sate maranggi, asinan Jakarta, dadar gulung dan minuman jahe hangat. Seru karena misalnya ada sebagian yang kesulitan membedakan antara gula pasir dan garam karena sama-sama putih. Memasukkan semua bumbu yang tersedia dan menghaluskannya sekaligus juga bukan hal yang mudah misalnya ketika membuat bumbu untuk sate maranggi.
Berbeda dengan sate di Indonesia pada umumnya, yang setelah dagingnya ditusuk ke dalam sebilah bambu langsung dibakar tanpa diberi bumbu, maka sate maranggi mesti dilumuri bumbu terlebih dahulu.
Sambil membaca instruksi mengenai cara pembuatan bumbu sate maranggi dalam bahasa Indonesia, saya juga menjelaskan cara pembuatannya kepada kawan-kawan diplomat internasional saya. Saya jelaskan bahwa untuk membuat sate maranggi, kita mesti menyiapkan menggiling semua bumbu seperti bawang merah dan bawang putih, lada, ketumbar, gula merah, asam jawa, dan minyak sayur.
Sambil melamuri daging dengan bumbu dan rempah-rempah yang baru selesai saya buat, saya menjelasan bahwa bumbu yang sudah dihaluskan kemudian dilumuri ke daging sapi yang sudah dipotong berbentuk segi empat dan kemudian didiamkan selama sekitar 30 menit agar bumbunya meresap ke daging.
“Penggunaan bumbu dan rempah-rempah dimaksudkan agar daging sate terasa lebih nikmat dan empuk karena bumbu dan rempahnya meresap ke daging. Bukan hanya itu, agar daging lebih empuk dan tahan lama, setelah dilumuri bumbu dan rempah-rempat maka daging dibungkus dengan daun pepaya dan disimpan selama beberapa jam,” jelas saya lebih lanjut sambil menusuk potongan-potongan daging ke tusukan sate yang terbuat dari lidi
“Kalau di tempat saya, daging sate ditusuk pakai kawat besi. Soalnya tidak ada pohon bambu di Kroasia … ha ha ha ,” canda Dobravko
“ha ha ha ..” kali ini saya dan Nguyen yang tertawa bersamaan
“Sate yang diberi bumbu dan rempah-rempah sebelum dibakar ini dari daerah mana?”, tanya Dobravko kemudian.
“Sate yang kita makan kali ini berasal dari daerah Purwakarta, Jawa Barat. Namanya sate maranggi,” jawab saya
“Lalu kenapa diberi nama sate maranggi?” tanya Dobravko
“Saya tidak tahu persis sejarahnya kenapa diberi nama sate maranggi. Tapi setahu saya, diberikan nama demikian karena dulu sate ini pertama kali dipopulerkan oleh pedagang sate yang bernama Mak Ranggi di Purwakarta. Ia melumuri daging satenya dengan bumbu dari rempah-rempah agar daging terasa enak dan tidak cepat busuk. Maklum, saat itu teknik penyimpanan daging belum begitu baik, daging yang dibiarkan terbuka agak lama bisa cepat busuk. Kalau busuk tentu saja satenya tidak akan laku, apalagi daging kan harganya mahal,” jelas saya.
Dobravka dan Nguyen terlihat mengangguk-angguk mendengar penjelasan saya. Saya tentu saja senang, setidaknya saya bisa ikut membantu diplomasi kuliner yang dilakukan Pemerintah Indonesia melalui kursus memasak singkat ini.
Saya melihat bahwa Diplomasi dari dapur ini bisa jadi merupakan pendekatan yang cukup jitu dengan menggunakan bahasa yang sama yaitu makanan. Makanan adalah bahasa universal yang dapat menghubungkan setiap orang karena setiap orang harus makan.
Melalui makanan. kita bukan hanya belajar membuat makanan tetapi juga belajar tentang kehidupan masyarakat dan tradisinya, termasuk belanja bahan makanan di pasar, mengunjungi petani dan makan bersama. Semua hal ini tentu saja bisa menjadi pengalaman yang sangat berharga dan dapat meningkatkan hubungan emosional dari peserta untuk lebih mengenal Indonesia.
Leave a Reply