Diplomasi Film Tiongkok di Indonesia

Jakarta – Tidak dapat disangsikan bahwa di era global dewasa ini, film telah menjadi media hiburan popular dan universal serta berperan sebagai medium kesenian yang sangat efektif dalam menjalankan fungsi diplomasi kebudayaan. Peran yang melekat sejak hasil rekaman kamera Auguste Lumiere dan Louis Lumiere diputar pada 1895 di Paris dan diakui sebagai film pertama di dunia.

Fakta ini pada gilirannya memunculkan kesadaran bahwa melalui film, suatu negara dapat lebih memperkenalkan dan mempromosikan citra dirinya di dunia internasional dan memanfaatkan hasilnya sebagai dasar untuk membina persahabatan dan memperkuat hubungan antar negara.

Sadar mengenai hal tersebut di atas, banyak negara yang kemudian secara aktif melakukan diplomasi publik dengan antara lain memanfaatkan film sebagai instrumen diplomasi kebudayaan, salah satunya adalah Tiongkok. Negeri tirai bambu yang telah menjelma sebagai kekuatan ekonomi kedua terbesar ini, dalam satu dekade terakhir ini aktif melakukan diplomasi kebudayaan menyusul Jepang dan Korea Selatan yang sudah terlebih dahulu mengekspor kesenian modern (film, musik dan sastra) mereka ke luar negeri.

Tujuannya untuk memperkenalkan kebudayaan mereka dan membangun dominasi ekonomi dan politik di luar negaranya. Sudah sejak lama Jepang dan Korea membangun dan membina kesenian modernnya dengan serius, sama seriusnya dengan upaya mereka membina primadona ekspor mereka, yaitu teknologi (mobil, alat telekomunikasi, peralatan rumah tangga dan sebagainya).

Untuk melaksanakan diplomasi kebudayaannya, khususnya dalam mempromosikan “budaya sosialis modern”-nya, Tiongkok menggelontorkan dana setidaknya US$ 10 miliar per tahun. Dana sedemikian besar tersebut tentu saja tidak digunakan untuk kegiatan perfilman semata, dana tersebut dimanfaatkan antara lain untuk membangun Institut Konfusius di berbagai perguruan tinggi dan sekolah di luar negeri, memperluas jaringan televisi internasional, menjadi tuan rumah berbagai kegiatan olah raga dan budaya serta tentu saja membuat kerja sama perfilman, antara lain bekerjasama dengan studio film Hollywood dan melakukan pemutaran film Tiongkok di berbagai negara, salah satunya ke Indonesia.

Indonesia pun menjadi target diplomasi publik Tiongkok karena secara historis terdapat keterkaitan antara masyarakat kedua negara dan Indonesia dipandang sebagai negara yang memilki peran penting di kawasan. Untuk itu, guna memberikan gambaran mendalam mengenai Tiongkok, Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta bekerjasama dengan berbagai lembaga di Indonesia secara rutin menyelenggarakan kegiatan pemutaran film dan diskusi mengenai Tiongkok. Tahun 2016 ini kegiatan tersebut baru saja dilakukan pada 21-30 Mei 2016 lalu melalui kegiatan Pekan pemutaran dan Kuliah Umum Film Tiongkok.

Kegiatan yang dilakukan Kedutaan Besar Tiongkok bekerjasama dengan Pusat Produksi Film Negara (PPFN) Indonesia dan Red White Company tersebut dilaksanakan dengan memutar 5 buah film karya sutradara kawakan Tiongkok, Xie Fei, yaitu Girl from Hunan, Black Snow, Woman Sesame Oil Maker, Mongolian Tale, dan Song of Tibet. Film-film ini mewakili gambaran tentang Tiongkok sebagai sebuah negara yang memiliki beragam etnis yang dapat hidup berdampingan dengan damai.

Kegiatan yang diselengarakan di gedung bioskop dan kampus-kampus perguruan tinggi di Jakarta seperti Universitas Indonesia dan Universitas Nasional, diawali dengan pemutaran film Mongolian Tale produksi tahun 1995 di Cinemaxx Plaza FX. Mongolian Tale merupakan salah satu film terbaik Tiongkok yang telah mendapatkan penghargaan dari Montreal World Film Festival untuk kategori Sutradara (Xie Fei) dan penata musik (Tengger).

Cerita film yang diproduksi oleh Beijing Youth Film and Media Asia Films ini diadaptasi dari novel Black Sheed karya penulis Tiongkok Zhang Chengzhi, yang juga bertindak sebagai penulis cerita di film ini. Film ini sendiri bercerita tentang kehidupan seorang pria dan wanita asal etnis Mongol yang tinggal di kawasan Mongolia Dalam, kawasan sebelah utara Beijing yang merupakan salah satu provinsi di Tiongkok. Keduanya sejak kecil hidup bersama di bawah asuhan seorang nenek. Sang wanita adalah cucu kandung sang nenek dan sang pria adalah anak angkat sang nenek yang diasuh sejak kecil. Keduanya saling menyukai dan sepertinya akan berjodoh jika perjalanan waktu ternyata tidak menyatakan sebaliknya.

Untuk menggambarkan kehidupan di kawasan Mongolia Dalam, Sutradara Xie Fie dengan cermat mengeksplorasi budaya lokal dan gaya hidup etnis Mongol di kawasan Mongolia Dalam. Dengan apiknya ia juga menggambarkan kearifan lokal etnis Mongol seperti perlakuan dan pemberian kasih sayang yang sama terhadap anak yang diasuhnya, baik anak kandung ataupun anak angkat.

Gaya hidup etnis Mongol yang kerap berpindah-pindah (nomaden) di setiap pergantian musim juga diperlihatkan lewat gambar-gambar apik yang menampilkan suasana padang rumput yang luas dan kegiatan utama etnis Mongol sebagai peternak. Bahkan untuk memperlihatkan kehidupan etnis Mongol yang sebenarnya, Xie Fei dengan berani memakai dialog dalam bahasa asli etnis Mongol di sepanjang film. Tidak terdengar sedikit pun dialog dalam bahasa Mandarin, bahasa nasional dan mayoritas di Tiongkok.

Upaya eksplorasi yang dilakukan Xie Fie melalui Mongolian Tale terlihat berhasil. Xie Fei berhasil menggabungkan aspek budaya dan hiburan sehingga penonton dapat memahami pesan yang hendak disampaikan. Xie Fei juga berhasil menanamkan pemikirannya bahwa membuat film yang baik dan sepenuh hati ibarat menyiapkan warisan. Film yang baik bisa menjadi sebuah warisan yang berisikan nilai-nilai budaya suatu masyarakat pada suatu masa, yang dapat dipahami generasi berikutnya dan diputar berulang-ulang tanpa batas.

Melalui Mongolian Tale, Tiongkok berhasil menginformasikan sisi lain negeri tirai bambu tersebut dan membangun citra positif di dunia internasional. Tiongkok sukses menginformasikan bahwa meski mayoritas penduduknya berasal dari etnis Han, namun etnis minoritas pun dapat hidup dengan damai berdampingan dengan beragam etnis lainnya. Hal ini ditegaskan oleh Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta, Weng Yu, saat membuka kegiatan dengan mengatakan bahwa, “etnis Mongol merupakan salah satu dari 56 etnis yang terdapat di Tiongkok di mana kesemuanya dapat hidup berdampingan. Bahkan penulis novel Black Sheed dan penulis skenario film, Zhang Chengzi, adalah seorang muslim etnis Uyghur”.

Weng Yu juga nenyampaikan mengenai industri perfilman di Tiongkok yang berkembang pesat sejak dilakukannya reformasi perfilman pada tahun 2003. Terjadi peningkatan jumlah produksi film Tiongkok dan film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sebagai contoh dikemukakan peningkatan jumlah produksi film nasional sejak tahun 2010 hingga saat ini di mana dalam kurun watu tersebut diproduksi sekitar 600-an film nasional dengan nilai sekitar 400-an juta yuan (67 juta dollar AS).

Untuk lebih mendorong minat penonton dan meningkatkan promosi film nasional, Pemerintah Tiongkok secara rutin pun menggelar berbagai festival film yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat internasional seperti Festival Pekan Film Jalur Sutera di Xian yang mengundang kehadiran wakil dari negara-negara yang terhubung dengan jalur sutera Tiongkok dan negara-negara undangan lainnya, termasuk Indonesia, yang melalui Badan Ekonomi Kreatif diundang untuk hadir pada acara di Xian.

Dalam hubungannya dengan Indonesia, Pemerintah Tiongkok juga mendorong dilakukannya kerja sama dengan kalangan perfilman Indonesia, misalnya kerja sama saling kunjung antar penggiat perfilman kedua negara ataupun melakukan pembuatan film dengan mengambil lokasi di Indonesia atau Tiongkok. Kerja sama semacam ini diharapkan dapat meningkatkan saling pemahaman dan saling kunjung antar masyarakat kedua negara. Sebagai contoh, sebagai dampak dari penayangan film Tiongkok berjudul Lost in Thailand yang pembuatannya dilakukan di Thailand, masyarakat Tiongkok pun berbondong-bondong memilih Thailand sebagai daerah tujuan wisatanya.

Dengan memperhatikan kesamaan budaya dan keindahan alam yang dimiliki Indonesia dan Tiongkok, kerja sama perfilman kedua negara memang sangat mungkin dilakukan, apalagi selama ini sudah ada beberapa produser film dari kedua negara yang membuat film dengan latar belakang kota-kota di Tiongkok ataupun di Indonesia.

Sebagai contoh produser film Indonesia pernah membuat film “Assalamualaikum Beijing” di Beijing, sebaliknya produser film Tiongkok pernah membuat film “Island Dream” di Bali. Untuk itu, guna menunjukkan keseriusannya dalam menjalin kerja sama perfilman, Pemerintah Tiongkok melalui Atase Kebudayaannya di Jakarta menyatakan kesiapannya untuk mendorong penandatanganan nota saling kesepahaman antara Pusat Perfilman Tiongkok dengan PPFN Indonesia.

Pemerintah dan kalangan perfilman Indonesia tentu saja layak menyambut positif tawaran kerja sama perfilman dari pemerintah Tiongkok tersebut. Kerja sama dapat dimanfaatkan antara lain untuk meningkatkan pemahaman mengenai Indonesia, masyarakat dan budayanya, baik tradisional maupun modern, yang belum diketahui secara luas oleh masyarakat Tiongkok.

Sebagai orang yang pernah tinggal beberapa tahun di negeri tirai bambu ini, saya merasakan langsung rendahnya pemahaman sebagian besar masyarakat Tiongkok terhadap Indonesia. Dalam beberapa kali survei sederhana terhadap masyarakat setempat, kerap saya mendapatkan hasil yang mengejutkan yaitu mereka mengira bahwa Indonesia adalah Malaysia dan mengira Indonesia adalah negeri terbelakang dibandingkan Tiongkok. Dan ketika tahu tentang Indonesia, yang mereka tahu pun hanya Bali dan Jakarta.

Untuk itu, Indonesia dapat memanfaatkan tawaran kerja sama Tiongkok, antara lain melalui kerja sama perfilman, untuk mendorong peningkatan pemahaman masyarakat Tiongkok mengenai Indonesia. Banyak film Indonesia yang bagus-bagus dan mendapatkan penghargaan internasional yang pantas ditampilkan di hadapan publik Tiongkok dan dapat dijadikan jembatan untuk mempererat hubungan bilateral dan kerja sama budaya Indonesia – Tiongkok di masa depan.

Film fiksi tentang kopi (Filosofi Kopi, 2015), misalnya, selain sebagai sebuah film yang bagus, film ini juga bisa digunakan untuk mempromosikan kopi Indonesia. Lewat film, hubungan bilateral Indonesia – Tiongkok dapat lebih dieratkan satu sama lain. Masyarakat kedua negara dapat saling memperkenalkan dan mempromosikan citra dirinya serta memanfaatkan hasilnya sebagai dasar untuk membina persahabatan dan memperkuat hubungan antar negara dan masyarakat.

Namun, langkah untuk lebih mengenalkan Indonesia di Tiongkok ini semestinya tidak semata dibebankan ke pundak Pemerintah Indonesia atau Perwakilan RI di Tiongkok saja, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk kalangan perfilman. Dan tawaran kerja sama perfilman dari Tiongkok pun dapat menjadi salah satu permulaan untuk meningkatkan sinergi antara pemerintah dan seniman Indonesia untuk menyusun sebuah strategi diplomasi kebudayaan bagi perfilman dan cabang kesenian lainnya.

*) Aris Heru Utomo, pemerhati hubungan internasional, pernah tinggal di Beijing

Tulisan ini juga dimuat di http://news.detik.com/kolom/3227400/diplomasi-film-tiongkok-di-indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *