Filosofi Sambal

FILOSOFI SAMBAL

Sambal bagi orang Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu menu wajib. Tidak lengkap rasanya menyantap makanan tanpa sambal. Apapun makanannya, sambal tetap ada.

Uniknya, meski pedas dan seolah membakar lidah bahkan sampai megap-megap, namun orang yang menyantapnya tidak pernah merasa kapok. Kalaupun kapok hanya sebentar saja atau yang disebut kapok lombok atau kapok sesaat.

Berbagai kreativitas hadir tiada akhir dalam pembuatan sambal. Biasanya penyuka sambal akan terus berkreasi dalam membuat sambal. Sambal bisa dibuat mentah, goreng, rebus, kukus, dan bakar, tergantung pada bahan sambal yang akan diolah menjadi sambal.

Bahan dasar sambal adalah cabe yang jenisnya beragam seperti cabe merah, cabe hijau, cabe merah kriting, cabe rawit kecil, cabe setan, cabe lombok, dan lain sebagainya. Untuk tingkat kepedasannya akan sangat tergantung pada jenis dan jumlah cabai yang diolah sesuai selera. Setelah cabe, bahan lainnya yaitu bawang merah dan bawah putih (jika suka), jika tidak cabe plus tomat saja sudah cukup. Jika rasa asin tinggal menambahkan garam secukupnya.

Saya sendiri termasuk salah seorang penyuka sambal dan kerap membuat sambal sendiri. Sambal favorit saya adalah sambal mentah terdiri dari cabai merah, bawang putih dan garam. Semua bahan membuat sambal tersebut diuleg halus di atas cobek batu. Agak sedikit pegal tapi menyenangkan dan sensasi pedasnya langsung terasa saat menguleg cabai dan kawan-kawan.

Sambal mentah / foto Aris Heru Utomo

Kebiasaan makan sambal di Indonesia sendiri, konon sudah berlangsung sejak lama. Bahkan sejarah mencatat kalau kehadiran cabai di dapur orang Indonesia sudah sejak tahun 1814 seperti tercantum pada Serat Centhini yang merupakan kumpulan pengetahuan agama, seni, dan ramalan. Di dalamnya, tercatat beberapa jenis sambal, seperti sambal trancam, dan sambal gocek.

Dalam sejarahnya, ternyata sambal sendiri juga memiliki sebuah filosofi yang banyak dan dalam yang menggambarkan berbagai macam simbol. Sejak dulu, sambal bisa dikatakan sebagai simbol kedewasaan, karena di zaman dulu saat kita kecil, kita akan dianggap dewasa kalau sudah bisa menyantap makanan dengan sambal. Selain itu, sambal juga ternyata identic dengan simbol keberanian, karena hanya orang-orang pemberani yang mau menyiksa lidahnya dengan rasa pedas.

Selanjutnya, sambal dianggap sebagai simbol kehidupan, karena komposisinya yang beragam dan tidak bisa hanya terdiri dari cabai saja, namun juga harus ditambahkan garam, bawang, dan sebagainya agar bercita rasa lezat. Layaknya hidup, sambal terasa nikmat bila memiliki banyak rasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *