Bagi para pemudik yang melintas jalur Utara, Kabupaten Pemalang tentulah bukan suatu daerah yang asing. Terletak di antara Tegal dan Pekalongan, Kabupaten Pemalang menjadi daerah yang wajib dilewati pemudik ke Semarang dan sekitarnya. Dan melewati Pemalang sepertinya terasa kurang pas jika tidak merasakan sensasi goyangan khas Pemalang lewat sajian kuliner bernama Grombyang.
Dari namanya, kuliner Grombyang terdengar unik. Nama tersebut diambil dari bahasa Jawa “grombyang-grombyang” yang berarti bergoyang-goyang, hal ini merujuk pada penyajian kuliner tersebut dimana kuahnya yang melimpah terlihat bergoyang-goyang saat disajikan. Sama seperti namanya, komposisi kuliner Grombyang juga unik karena menggunakan bahan baku utama berupa daging kerbau tulang muda yang dipotong tipis-tipis.
Grombyang disajikan dalam mangkuk kecil yang berisikan nasi putih yang dicampur dengan kuah dan daging kerbau dan dimasak menggunakan kluwek serta serundeng, daun bawang dan seledri. Rasa gurih dan sedikit manis dari Grombyang mencuat ketika nasi dan kuah daging memasuki rongga mulut. Dagingnya yang empuk membuat lidah bergoyang-goyang hingga potongan daging terakhir di mangkuk habis. Jika daging di mangkuk masih terasa kurang, kita bisa melengkapinya dengan sate tulang muda atau sate babat yang sudah disiram kuah Grombyang. Dengan kombinasi semacam ini, tidak heran jika Grombyang memiliki sensasi khas Pemalang yang berbeda dengan makanan khas daerah lainnya.
Di Pemalang, Grombyang dapat dijumpai di sekitar alun-alun, khususnya di jalan R.E. Martadinata, dengan salah satu pedagang yang terkenal adalah H. Warso. Di kedai H. Warso yang khusus menyajikan nasi Grombyang ini pengunjung dapat menikmati semangkuk Grombyang dengan harga Rp. 9.000 dan sate daging/babat seharga Rp. 2.500 per tusuk.
Di hari-hari biasa, kedai Grombyang seperti di tempat Pak H. Warso keramaiannya biasa-biasa saja. Namun di hari libur atau di saat hari raya, kedai Pak H. Warso disesaki pengunjung, bukan saja warga Pemalang yang sedang mudik tetapi juga pendatang, yang ingin menikmati sensasi Grombyang. Khusus pemudik warga Pemalang, menikmati sajian Grombyang di sekitar alun-alun menjadi menu wajib. Sepertinya tidak pulang mudik jika belum menyantap Grombyang di sekitar alun-alun. Karena itu tidak mengherankan pula jika perlu kesabaran untuk mendapatkan tempat duduk atau tempat parkir di jalan-jalan di sekitar alun-alun.
Lalu sejak kapan kuliner Grombyang diciptakan? Jika hal tersebut ditanyakan, tidak ada yang tahu secara persis. Namun menurut penuturan para orang tua di Pemalang, kuliner Grombyang sudah muncul sejak tahun 1960-an dan pada saat itu Grombyang dijual dengan cara berkeliling kampung. Seiring perkembangan jaman, para pedagang Grombyang kemudian mangkal di sekitar alun-alun dengan mendirikan warung-warung sederhana ataupun warung tenda. Kesederhanaan warung Grombyang hingga kini masih dapat terlihat dan dirasakan jika kita berkunjung ke Pemalang. Kesederhanaan yang membuat Grombyang tetap bertahan sebagai pilihan makanan khas warga Pemalang.
sering lewat tapi belum pernah nih merasakan ‘pating grombyang’…
besuk kalo lewat lagi, langsung sikaaat…
ayo sikat jangan ragu2 …
Salam kenal mas Aris. Kemarin sempet lewat Pemalang saat ke Semarang, sayang baru tahu infonya sekarang. Next trip bisa dicoba. Terima kasih.
Salam kenal juga. Lain kali bisa dicoba ya
Wah belum pernah coba.
Wajib dikunjungi nih kalau lewat Pemalang