Dari sebuah group BBM (Blackberry Messenger bukan bahan bakar minyak), saya menerima joke sebagai berikut:
Inem: Eh, emangnya Presiden SBY itu PERNAH pacaran sama MEGAWATI ya?
Parti: Masa sih, kok bisa? Gimana ceritanya Nem?
Inem: Habisnya banyak banget sih yang bilang kalo MEGAWATI itu MANTAN PRESIDEN …!!!
Oleh saya joke tersebut saya teruskan ke group BBM Komunitas Blogger Bekasi dalam kategori chattingan “General Discussion” bukan kategori “Khusus Broadcast Humor”.
Tidak lama berselang, seorang anggota group berkomentar “mas, gak salah nich masukin joke tersebut ke kategori “General Discussion” bukan “Humor” ?
Belum lagi saya menjawab tanggapan tersebut, seorang anggota group yang dikenal sebagai “provokator joke” langsung saja menulis “#hajaar”
Respon si provokator joke tersebut kemudian disambut oleh anggota lainnya yang merupakan aktivis gerakan pemuda sebuah partai “kok hajar??? *nyambungkemana?
Sebelum obrolan jadi semakin ngawur dengan kata-kata hajar menghajar, dengan santai saya pun menjelaskan bahwa saya sengaja menempatkan joke tersebut dalam kategori diskusi umum karena joke tersebut bisa sebagai bahan diskusi bukan sekedar joke atau humor belaka.
“Lalu apa yang mau didiskusikan mas?” tanya teman saya yang anggota partai politik tersebut.
Sebenarnya banyak hal yang bisa didiskusikan, tapi saya hanya ingin melontarkan satu isu saja yaitu masalah kesenjangan pemahaman politik di masyarakat. Cerita tersebut memperlihatkan bahwa ternyata tidak semua masyarakat di Indonesia paham dengan hiruk pikuk perpolitikan di tingkat nasional ataupun daerah. Berita-berita di media massa mengenai politik di Indonesia, bukannya mencerahkan pemahaman masyarakat, justru membuat masyarakat itu sendiri bingung. Terlebih tidak sedikit media massa yang justru menjadi alat propaganda elit politik.
Saya salut dengan kecerdasan dan kejelian pembuat joke yang melihat ketidakharmonisan hubungan antara mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sikap Megawati dan SBY yang tidak saling bersalaman setiap kali bertemu tentu saja membuat bingung sebagian besar anggota masyarakat, salah satunya adalah Inem (bukan nama sebenarnya).
Berbeda dengan para mahasiswa yang terpelajar atau anggota masyarakat kelas menengah yang rajin membuka internet, Inem adalah cerminan sebagian masyarakat Indonesia yang tidak cukup leluasa mengakses informasi dan memiliki bekal pengetahuan yang cukup untuk mencerna dunia politik yang gaduh.
Maka apa yang dilihat Inem pun lebih mudah jika dikaitkan dengan keseharian dan pengalamannya, salah satunya adalah sikap untuk tidak saling bertegur sapa dari orang-orang yang baru saja putus berpacaran. Terlepas dari siapa yang diputuskan atau memutuskan, selalu saja ada salah satu pihak yang merasa tersakiti dan karenanya lebih baik untuk menjauh dan enggan bertegur sapa jika terpaksa bertemu.
Dan cara pandang si pembuat joke juga memperlihatkan cara pandang masyarakat dalam melihat persoalan. Dari pada terus menggerutu, kesal, kecewa, dan bersedih, lebih baik menikmati peristiwa politik sebagai humor. Bukankah menurut banyak hasil penelitian, tertawa itu sehat. Orang yang banyak tertawa memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih baik sehingga lebih imun terhadap infeksi. Hal ini karena saat tertawa, otak melepaskan hormon endorfin (hormon kebahagiaan) yang memiliki efek mengurangi sakit dan menenangkan. Tertawa juga dapat menurunkan tekanan darah, mengurangi hormon stres, memperbaiki kerja otak dan meningkatkan fleksibilitas otot.
Dan untuk membuat joke alias humor politik, banyak hal yang bisa dijadikan joke, bisa dengan mencermati kejadian seperti antara Megawati dan SBY, komentar para pejabat negara dan politisi ataupun perilaku mereka. Pengamatan tidak terbatas pada tingkat nasional, tetapi juga lokal seperti yang tampak pada gambar dibawah ini:
Coba perhatikan kata-kata yang tertulis di spanduk tersebut. Kalau anda jeli pasti anda akan tersenyum dan memasukkan hal ini dalam humor politik. Bagaimana tidak lucu, suami sedang terkena kasus dan ditahan karena korupsi, sang istri mencoba maju sebagai walikota. Meski sah-sah saja secara hukum, dan ini tampaknya cuma bisa terjadi di Indonesia. tapi rasanya kok kurang etis.
Belum lagi pilihan kata yang tidak tepat. Maksud hati ingin berbahasa Inggris, dengan menggunakan kata “The Next Major”, apa daya salah arti. Major dalam bahasa Inggris bukan berarti “walikota” tapi “utama”. Kalau maksudnya adalah “Walikota Berikutnya”, maka semestinya menggunakan kata “the Next Mayor”. Jadi alih-alih terlihat gagah dengan bahasa asing, malah lucu dan terlihat ketidakcermatannya dalam memilih kata.
Sebagai penutup, menyimak komentar dan perilaku anggota DPR yang semakin aneh dari waktu ke waktu misalnya, muncul joke sebagai berikut:
Seorang Guru matematika bertanya kepada murid-muridnya: Guru : “Seandainya pesawat Boeing 747 Lion Air dipiloti oleh penyabu, dan mengangkut 560 orang anggota DPR RI, meledak di ketinggian 1000 feet dan jatuh di pegunungan berbatu tajam dengan kemiringan 45 derajat, berapa kemungkinan yang selamat ?” Murid-murid menjawab serempak dan tegas : “Yang selamat 230 Juta rakyat Indonesia, Bu!”
itulah Indonesia pak AHU…sementara ini kita mencemooh keluarga Soeharto , karena mendirikan semacam “imperium” dan itu di kritik habis-habisan…lha koq yg ngritik sekarang turuannnya melakukan hal yg serupa tapi tak sama…hanya satu kata ….KASIHAN DEH LOE….Selamat bertugas pak AHU..
wkwkwkwkw Mantapp,, mantannya presiden :)
Menyisakan misteri, siapakah pembuat joke yg keren itu?