Jejak Islam di Nanjing

IMG_1122Minggu siang cuaca cerah dan langit biru menyelimuti Nanjing, ibukota Provinsi Jiangsu, di kawasan timur Tiongkok. Berjarak sekitar 1.100 km dari Beijing, Nanjing dicapai selama sekitar 4,5 jam menggunakan kereta cepat. Dengan jumlah penduduk sekitar 10 juta jiwa, Nanjing saat ini merupakan kota kedua terbesar di Tiongkok bagian timur setelah Shanghai. Disamping itu, dengan penduduk muslim sekitar 100 ribu jiwa, Nanjing termasuk salah kota yang memiliki penduduk muslim terbesar di Tiongkok bagian timur.

Besarnya jumlah penduduk Muslim di Nanjing tersebut tidak terlepas dari sejarah perkembangan Islam di kota tersebut yang berlangsung sejak jama Dinasti Tang (618-907). Bahkan pada tahun terakhir masa pemerintahan Dinasti Ming dan awal Dinasti Qing, Nanjing menjadi pusat kebudayaan Islam di Tiongkok dan banyak jenderal kerajaan yang menganut agama Islam.

Didirikan pertama kali di jaman kerajaan Wu pada sekitar tahun 495 SM di delta sungai Yangtze, Nanjing tercatat sebagai salah satu kota tua di Tiongkok. Dan karena letaknya yang strategis di kawasan delta sungai Yangtze, Nanjing kerap dijadikan sebagai salah satu pilihan untuk dijadikan ibukota kerajaan dari beberapa dinasti yang berkuasa di Tiongkok, diantaranya adalah dua kaisar pertama pada masa Dinasti Ming (1368–1644), salah satu era pemerintahan terbesar dalam sejarah umat manusia.

Pada tahun 1368, ketika kaisar pertama dari Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang atau yang dikenal sebagai kaisar Hongwu, menumbangkan kekuasaan pemerintahan kaisar terakhir Dinasti Yuan, ia menetapkan Nanjing sebagai ibukota kerajaan dengan membangun tembok mengelilingi kota sepanjang 48 km dan bangunan tempat ibadah bagi warganya, termasuk masjid bagi warganya yang beragama Islam. Nanjing tetap menjadi ibukota Kekaisaran Ming hingga tahun 1421 ketika pada akhirnya kaisar ketiga dari Dinasti Ming, Kaisar Yongle, memindahkan ibukota ke Beijing.

Ketika era kekaisaran di Tiongkok berakhir dengan tumbangnya Dinasti Qing pada tahun 1911 lewat Revolusi Xinhai yang dipimpin Dr. Sun Yat Sen dan berganti menjadi Republik Tiongkok, ibukota negara masih tetap di Beijing. Namun di tahun 1927-1949, Nanjing kembali menjadi ibukota Republik Tiongkok saat negara tersebut dipimpin oleh Jenderal Chiang Kai-Shek (walau sempat berpindah sejenak ke Chongqing pada tahun 1937 ketika Jepang menginvasi Nanjing).

Menyimak sejarah panjang kota Nanjing dan bangunan bersejarah yang ditinggalkannya seperti tembok kota dan masjid, banyak hal yang bisa kita pelajari dan pahami, salah satunya adalah mengenai sejarah Islam di Tiongkok pada sekitar abad ke-14. Di kota Nanjing kita dapat menjumpai masjid-masjid yang telah berusia ratusan tahun dan bisa mewakili gambaran Islam di Nanjing pada masa itu, salah satunya adalah masjid Jingjue yang pertama kali didirikan pada tahun 1388 pada masa kekaisaran Hongwu dari Dinasti Ming.

Penasaran, pada minggu pertama September 2014 saya pun lantas mengunjungi masjid Jingjue yang berlokasi di Sanshan Street, sebelah selatan kota Nanjing. Untuk mengunjungi masjid Jingjue kita bisa menggunakan transportasi umum seperti subway dan keluar di stasiun Shanshan. Berjalan sejenak ke utara kita akan melihat bangunan berarsitektur tradisional China, tanpa kubah bundar di atasnya.

Dari jalan raya masjid Jingjue tidak terlihat sama sekali keberadaannya karena dikelilingi bangunan toko dan tempat tinggal warga. Kita baru bisa mengenali keberadaan masjid setelah melewati pintu gerbang pertama dan melihat gapura setinggi sekitar 4 meter. Terlihat ukiran bunga khas China dikombinasikan dengan kaligrafi Islam. Pintu utama berbentuk melengkung ke atas dengan dua buah pintu kecil di sampingnya. Pintu-pintu itu dilengkapi dengan pagar berwarna hitam yang selalu terbuka. Sebagaimana filosofi sebuah masjid yang selalu terbuka kepada semua jamaah yang datang.

Saat memasuki komplek masjid, tidak tampak kegiatan apapun atau orang-orang yang berlalu lalang di halaman. Meski demikian, sayup-sayup terdengar seseorang tengah membaca Al Quran di sebuah ruangan. Saya kemudian menuju ke bagian tengah komplek dan menjumpai sebuah ruang aula yang terbuka dan didalamnya terlihat seperti sedang ada pameran.
Seorang wanita berkerudung kemudian segera menghampiri saya. Menyambut kedatangannya, saya pun segera menyampaikan salam yang dibalas salam dengan ramah dan sopan. Setelah berkenalan, wanita Muslim dari etnis Hui yang bernama Ma Sude pun dengan senang hati menjelaskan tentang kegiatan pameran “Islam di Nanjing” yang digelar di salah satu aula gedung di dalam komplek masjid Jingjue.

IMG_1106Sejak dibuka pada bulan Juli 2014 lalu (bertepatan dengan bulan ramadhan), pameran yang dibuka untuk umum dan tanpa dipungut biaya tersebut telah banyak didatangi pengunjung, terutama para orang tua dari etnis muslim Hui di Nanjing yang ingin kembali mempelajari dan memperdalam pengetahuan Islamnya. Selain menjelaskan mengenai pameran yang diselenggarakan di salah satu aula komplek masjid, dengan senang hati Ma Sude pun mengajak saya melakukan tour mengelilingi komplek masjid dan memperkenalkan saya kepada imam masjid dan umat Muslim yang kebetulan sedang berada di dalam komplek.

Ma Sude mengawali penjelasannya dengan menerangkan mengenai keberadaan masjid Jingjue yang mulai dibangun pertama kali pada tahun 1388 atas perintah Kaisar Zhu Yuangzhang atau Kaisar Hongwu dari Dinasti Ming. Konon penamaan masjid Jungjie (yang berarti suci dan mencerahkan) diberikan langsung oleh Kaisar Hongwu ketika meninjau masjid didampingi Jenderal Chang Yuchun, salah seorang jenderal kepercayaannya yang beragama Islam. Penamaan tersebut diberikan setelah kaisar memahami penjelasan dari Jenderal Chang bahwa ruangan masjid sebagai tempat berdoa mesti bersih dan suci dan oleh sebab itu pengunjung mesti membuka sepatunya saat hendak memasuki ruangan.

Menurut beberapa sumber, pembangunan masjid ini juga merupakan pengakuan dan penghormatan kaisar Hongwu kepada para prajurit Muslim yang telah bertempur dengan gagah berani dibawah kepemimpinannya. Bukan hanya itu, beberapa sumber lainnya bahkan memperkirakan bahwa masjid Jingjue dibangun karena kaisar sendiri adalah seorang Muslim.
Menurut penuturan Ma Sude, perkiraan bahwa Kaisar Hongwu adalah seorang Muslim tidak terlepas dari keberadaan permaisuri kaisar yang adalah seorang Muslimah yang berasal dari Etnis Hui. Selain itu kaisar Hongwu juga dikenal sangat dekat dengan para jenderalnya yang beragama Islam seperti Chang Yuchun, Lan Yu, Ding Dexing, Mu Ying, Feng Sheng dan Hu Dahai.

IMG_1128Hal lain yang menunjukkan bahwa Kaisar Hongwo beragama Islam adalah kebijakannya untuk membangun masjid di berbagai daerah selain di Nanjing, yaitu di Yunnan, Guangdong dan Fujian. Selanjutnya Kaisar Hongwu juga menuliskan pujian dan penghargaan yang sangat tinggi mengenai Islam, Allah SWT dan Rasullulah Muhammad SAW.
Pujian dan penghargaan yang ditulis secara personal oleh Kaisar Hongwo yang kemudian dikenal sebagai ‘sajak seratus kata’ berbunyi sebagai berikut (terjemahan bebas):

Sejak terbentuknya alam semesta, Tuhan telah menunjuk imam besar, ia dilahirkan di Barat dan menerima kitab suci yang terdiri dari 30 bagian (juz), untuk membimbing semua mahluk, penguasa semua aturan, pemimpin yang suci, dengan dukungan dari surga, untuk melindungi bangsanya, dengan sholat lima kali sehari, mengharapkan kedamaian, beriman kepada Allah, memberikan berkah kepada orang miskin dan menyelamatkannya dari bencana, melihat melaui hal gaib, menarik jiwa dan roh dari semua kesalahan, rahmat bagi dunia, melintas ke masa lalu, kekuatan yang maha kuasa mengalahkan semua kekuatan setan, agama-Nya murni dan benar, Muhammad bangsawan yang tertinggi.

Dari pilihan kata-kata yang dituangkan dalam ‘sajak seratus kata’ tersebut terlihat adanya pengetahuan dan penguasaannya yang mendalam dari Kaisar Hongwo mengenai Islam dan keyakinannya bahwa Islam merupakan rahmat bagi dunia dan agama yang murni dan benar.

Hingga kini sajak seratus kata dari Kaisar Hongwu masih dapat dijumpai di beberapa masjid, salah satunya dituliskan dalam sebuah prasasti yang terdapat di masjid Jingjue. dan ditempatkan di bawah sebuah pendopo cantik yang terletak di depan gedung untuk belajar. Adapun replikanya, bersama dengan beberapa prasasti lainnya, ditempatkan di halaman kiri masjid.

Mengenai masjid Jingjue sendiri, masjid tertua di Nanjing ini didirikan di atas tanah seluas 4.000 m2 dan dibangun dengan gaya arsitektur Tiongkok dengan beberapa bangunan terpisah seperti bangunan utama untuk sholat yang dapat memuat sekitar 200 jamaah, ruang imam, ruang kelas untuk belajar agama dan tempat menerima tamu. Interior disainnya terlihat elegan dengan pilar-pilar bangunan yang didominasi warna coklat tua dan tulisan kaligrafi Arab berwarna kuning di beberapa tempat.

Di depan bangunan masjid berdiri bangunan lain yang digunakan sebagai ruang tamu atau ruang tunggu bagi para petinggi kerajaan sebelum mereka memasuki aula masjid. Dengan adanya bangunan untuk ruang tunggu maka halaman di depan masjid utama pun menjadi terbatas.

Selanjutnya dikemukakan pula oleh Ma Sude bahwa bangunan-bangunan yang ada saat ini bukanlah bangunan asli seperti waktu pertama kali didirikan pada tahun 1388 karena pada tahun 1430 bangunan masjid pernah terbakar habis sehingga mesti dibangun kembali atas permintaan Laksamana Zheng He, pelaut besar Tiongkok dan utusan khusus kaisar yang beragama Islam, kepada kaisar pengganti Kaisar Hongwo yaitu Kaisar Xuan De. Kemudian pada masa Dinasti Qing, masjid Jingjue juga pernah direnovasi besar-besaran sebanyak dua kali.

Kini, setelah selama lebih dari 600 tahun dan mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, kita masih bisa menyaksikan masjid Jingjue berdiri kokoh dan menjadi masjid terbesar di Nanjing. Dan Muslim di Nanjing pun terus tumbuh dan berkembang dan semangat mempelajari ajaran agama Islam.

IMG_1125Berfoto bersama dengan Muslim Nanjing

 

One Response to Jejak Islam di Nanjing

  1. Rini palar says:

    Kalo anak mau kuliah d xiaozhuang nanjing jauh kah tempat sholat jumat?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *