Jejak Kekejaman Jepang di Nanjing

IMG_1044Waktu menunjukkan pukul 15.15 ketika saya tiba di Nanjing Massacre Memorial Hall atau museum pembantaian Nanjing di kawasan Jiangdongmen atau tepatnya yang beralamat di 18 Shuiximen Street, Jianye, Nanjing, Provinsi Jiangsu. Kurang dari satu setengah jam lagi museum tersebut akan ditutup untuk kunjungan publik hari ini. Namun demikian, antrian di pintu masuk museum terlihat masih panjang meski tidak sampai mengular. Terlihat antusiasme yang sangat besar dari mereka untuk mengetahui isu museum yang berisikan benda-benda dokumentasi sejarah kekejaman tentara Jepang di Nanjing.

Berdasarkan data warga yang hilang, jumlah jenazah yang diketemukan dan laporan para saksi di Peradilan Militer Perang Nanjing, Pemerintah Tiongkok (China), para ahli sejarah dan organisasi internasional memperkirakan bahwa dalam rangkaian aksi kekejaman tentara Jepang yang berlangsung pada Desember 1937 – Maret 1938 dan dikenal sebagai “Nanjing Massacre (pembantaian Nanjing)” tersebut terdapat lebih dari 300.000 warga Nanjing yang tewas, sekitar sepertiga bangunan dan benda-benda bersejarah di Nanjing hancur atau rusak berat dan terjadi sekitar 20.000 kasus kekerasan dan perkosaaan dengan korban sekitar 80.000 wanita.

Agar tidak terlambat, saya pun segera mengikuti antrian pengunjung tanpa harus membeli tiket masuk terlebih dahulu karena museum memang disediakan gratis untuk masyarakat. Mereka dapat masuk ke museum sepanjang memenuhi jadwal museum yaitu jam 09.00-16.30.

Museum dibangun oleh Pemerintah Kota Nanjing pada tahun 1985 untuk mengenang masyarakat Tiongkok, khususnya warga Nanjing, yang menjadi korban pendudukan tentara Jepang dan agar masyarakat Tiongkok, terutama generasi muda, tidak lupa akan sejarah kelam yang menimpa mereka serta agar menjadi bahan pembelajaran bagi generasi mendatang agar peristiwa serupa tidak terulang di masa mendatang. Untuk maksud tersebut, Pemerintah Kota Nanjing sengaja membangun museum di Jiangdongmen karena daerah tersebut merupakan salah satu lokasi pembantaian dan dikuburkannya ribuan jenazah korban secara massal.

Dibangun di atas tanah seluas 28.000 m2, bangunan museum seluas 3.000 m2 secara garus besar dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu ruang pamer outdoor, ruang pamer kerangka jenazah korban dan ruang pamer dokumen sejarah seperti surat-surat, buku, majalah, foto, lukisan, video dan patung yang menggambarkan suasana tragedi Nanjing di tahun 1937. Benda-benda dokumentasi tersebut dikumpulkan oleh Pemerintah Kota Nanjing dan tidak sedikit yang berasal dari sumbangan warga Jepang yang menjadi anggota Kelompok Persahabatan Tiongkok-Jepang.

Dari berbagai foto yang ditampilkan beberapa gambar sadis seperti tentara Jepang tengah menembak mati warga Tiongkok dengan senapan api dan gas, mayat-mayat berserakan di sepanjang sungai, wanita-wanita korban perkosaan dan warga yang akan dipenggal. Nanjing Massacre thomb

Menyaksikan foto-foto dokumentasi dan kerangka jenazah di ruang pamer, pikiran kita seolah dibawa ke tahun 1937 ketika tentara Jepang dibawah pimpinan Jenderal Matsui Iwane akhirnya berhasil menduduki Nanjing (atau Nanking), ibu kota Republik Tiongkok, pada 13 Desember 1937. Pengunjung diajak melihat bagaimana tentara Jepang melucuti tentara Republik Tiongkok pimpinan Presiden Chiang Kai Sek dan menangkapi warga sipil untuk dibunuh dan wanitanya diperkosa, sedangkan rumah penduduk dan gedung dijarah.Nanjing Massacre

Pengunjung juga diperlihatkan bagaimana sejumlah warga asing dan organisasi internasil yang pada saat itu berada di Nanjing ikut membantu melindungi warga setempat agar tidak menjadi korban pembantaian. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh John Rabe, seorang warga Jerman yang menjadi pegawai AG Siemens di Nanjing. Rabe melindungi warga Nanjing dengan membuat “Nanking Safety Zone”. Selain itu, Rabe juga aktif memintakan bantuan internasional, khususnya dari Pemerintah Nazi Jerman, dan melakukan kontak dengan para komandan tentara Jepang untuk mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak lagi. Lewat aksinya ini, Rabe setidaknya diperkirakan berhasil menyelamatkan sekitar 250.000 ribu warga Nanjing dari tindakan brutal tentara Jepang.

Kini, meskipun tragedi Nanjing telah 77 tahun berlalu, namun seperti dikatakan oleh Presiden RRT Xi Jinping pada tanggal 28 Maret 2014 di Berlin, kenangan akan kekejaman yang dilakukan tentara Jepang di Nanjing masih segar dalam ingatan warga Tiongkok. Karenanya Tiongkok secara terus menerus mengingatkan warganya mengenai peristiwa brutal tahun 1937 di bekas ibu kota Republik Tiongkok yang menewaskan 300.00 orang

Pernyataan ini kemudian dipertegas kembali oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri RRT Hong Lei pada tanggal 31 Maret 2014 bahwa tindakan kriminal yang dilakukan tentara Jepang saat menduduki Tiongkok, termasuk pembantaian di Nanjing merupakan fakta sejarah yang tidak dapat disangkal.

Pernyataan tegas dari Pemerintah Tiongkok semacam ini muncul guna menanggapi sanggahan-sanggahan yang dilakukan beberapa pihak di Jepang yang menyatakan tidak ada kekejaman yang dilakukan tentara pendudukan Jepang di Nanjing dan jumlah 300.000 korban yang jatuh juga terlalu dilebih-lebihkan.

Berbagai silang pendapat mengenai apa yang terjadi saat berlangsungnya pendudukan Jepang di Tiongkok memang terus mencuat. Tiongkok dan Jepang masih terus menjadikan tragedi pembantaian di Nanjing sebagai bahan propaganda. Setiap tahun Tiongkok memperingati tragedi tersebut untuk mengenang para korban dan tidak melupakan sejarah, sementara Jepang memperingatinya untuk mengenang jasa tentaranya yang berperang di Tiongkok.

Akhirnya, seperti dikatakan John Rabe dalam salah satu display di ruang pamer museum, mungkin Pemerintah Tiongkok dan masyarakat Nanjing bisa memaafkan kekejaman tentara Jepang pada masa pendudukan di tahun 1937, namun mereka tetap tidak bisa melupakan dan menghapuskannya dari catatan sejarah.

Merawat ingatan akan sejarah pendudukan Jepang di Nanjing yang bertentangan dengan hukum internasional dan hak asasi manusia, sangat penting bagi pendidikan berbangsa dan bernegara, khususnya generasi muda, dan sebagai upaya untuk terus menjalin komunikasi mengenai pentingnya perdamaian dan pembangun masyarakat modern yang lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *