Sebuah gambar karikatur yang
menggambarkan seorang kepala keluarga gemetaran memimpin anggota keluarganya sholat
berjamaah beredar di media sosial, judulnya “SELAMAT BERJIHAD PARA IMAM BARU.”
Karikatur tersebut tentu saja sangat menggelitik karena sang kartunis dengan
cerdas berhasil memotret momen sosial kekinian yaitu kegagapan atau
ketidaksiapan umat Muslim dalam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan di tengah pandemi
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Dalam kondisi normal, kita kerap
menyaksikan tradisi umat Muslim di beberapa daerah Indonesia dalam menyambut
Ramadhan seperti melaksanakan ziarah kubur dan padusan (mandi besar). Malam
menjelang puasa pertama, masjid-masjid pun sudah dipenuhi jamaah yang melaksanakan
sholat tarawih dipimpin oleh imam masjid.
Namun berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya, Ramadhan tahun ini justru membuat suasana campur aduk, antara
senang menyambut kehadiran bulan penuh ampunan dan pertolongan dengan perasaan
was-was menghadapi keganasan Covid-19. Virus Corona tidak memandang suku, agama
dan ras seseorang, langsung hajar siapa saja yang kondisi kesehatannya rentan.
Banyak warga yang berduka karena ditinggal
wafat oleh orang-orang tercinta. Lebih banyak yang terinfeksi dan diawasi. Sementara
kehidupan sosial ekonomi mulai terdampak karena banyak usaha yang tutup dan
karyawan yang tidak bisa berusaha sebagaimana biasanya.
Para pedagang yang biasanya panen di bulan
Ramadhan, karena konsumsi masyarakat meningkat untuk membeli panganan khas
Ramadhan ataupun pakaian baru untuk hari raya, untuk kali ini banyak yang terpaksa
menutup lapaknya karena pembeli lebih banyak di rumah bersama keluarga inti.
Tradisi puluhan bahkan ratusan tahun
menyambut dan melaksanakan ibadah Ramadhan terpaksa terhenti karena pandemi Covid-19.
Masjid-masjid sepi karena jamaah tidak terlihat menjalankan ibadah berjamaah.
Masyarakat dianjurkan melaksanakan tarawih, sholat lima waktu, sholat Jumat, tilawah,
itikaf ataupun sahur di rumah saja.
Hari raya Idul Fitri sudah dapat
dipastikan tidak semeriah tahun sebelumnya. Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) di sejumlah daerah sudah membatasi kerumunan dan mengedepankan
jaga jarak (physical distancing).
Beralihnya sebagian besar pelaksanaan ibadah
selama Ramadhan ke rumah, terutama terkait dengan sholat berjamaah saat subuh,
magrib, isya dan tarawih, tentu saja menimbulkan problematika tersendiri bagi
sebagian orang yang tidak memiliki banyak hapalan surat dalam Al Quran, seperti
tampak pada gambar karikatur di atas.
Mereka yang hanya hapal bacaan wajib
surat Al Fatihah ditambah 1-2 surat-surat pendek seperti Al Ikhlas atau Al Kautsar,
tentu akan canggung ketika diminta menjadi imam sholat berjamaah seperti sholat
tarawih yang jumlahnya paling tidak 11 rakaat. Kecanggungan akan semakin terasa
ketika sebagai seorang kepala keluarga yang tidak terbiasa menjadi imam
mendadak mesti menjadi imam sholat baru, pemimpin sholat berjamaah di keluarga.
Perlu perjuangan keras untuk bisa
membacakan hapalan surat Al Quran yang sudah ada dan disaat bersamaan mesti
menambah hapalan baru apabila ingin menjadi contoh Muslim yang baik bagi
anggota keluarganya. Tidak jarang karena jarang menjadi imam sholat maka seseorang
kerap demam panggung, hapalan surat Al Quran yang sudah ada pun bisa mendadak lupa.
Disinilah kemudian makna jihad, yang sering
dipahami dengan maksud berjuang dan berjuang, tepat disematkan kepada imam baru
yang berkeinginan memperbaiki diri. Jihad dalam pengertian bahasa berasal dari
akar kata jahd yang bermakna “berusaha sungguh-sungguh dengan mengerahkan
segenap kemampuan.” Seorang imam baru yang
ingin memperbaiki diri perlu kerja keras untuk bisa menjadi imam yang layak
memimpin sholat berjamaah dan menjadi teladan bagi anggota keluarga.
Merujuk firman Allah SWT pada Surat
Al-Hajj ayat 78 yang berarti “Berjuanglah kalian di jalan Allah dengan
perjuangan yang sebenar-benarnya,” maka jihad seorang imam baru memiliki makna
luas yakni bersungguh-sungguh dan bekerja keras melakukan kebaikan yang dapat
dilakukan dengan berbagai cara, bukan hanya dengan mengangkat senjata. Salah
satu jihad yang dapat dilakukan imam baru adalah memperbaiki bacaan sholat.
Dalam kaitan tersebut di atas maka pandemi
Covid-19 sesungguhnya merupakan ujian dari kesungguhan melaksanakan ibadah
puasa dan salah satu upaya untuk mengedepankan kesadaran spiritual dan
transedental yang sangat fundamental dalam pembentukan masyarakat etis.
Masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai religiusitas berlandaskan al-Quran dan
sunnah.
Puasa adalah satu-satunya ibadah puasa
yang sarat dengan nilai Ihsan yaitu beribadah kepada Allah seolah kita melihat
dzat Allah. Jika tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat kita. Seorang
yang beriman tidak berani membatalkan puasa karena sadar Allah menyaksikannya.
Karenanya, apabila ibadah puasa kita
disertai nilai ihsan, maka nilai tersebut akan melekat dalam jiwa kesadaran
etis. Pelanggaran hukum di masyarakat, praktik KKN dan konflik sosial bisa
ditekan. Bahkan kesenjangan sosial menurun karena sifat kedermawanan naik.
Karena itu pula, ibadah puasa di tengah pandemi
Covid-19 saat ini menjadi awal yang baik untuk melakukan jihad, berjuang sungguh-sunggih
menerapkan nilai ihsan dalam menjalankan ibadah puasa. Dan bagi seorang imam
baru, jihad tidak harus dengan berjuang dengan mengangkat senjata, cukup dengan
mulai berjuang menghapalkan surat-surat Al Quran dan menerapkannya dalam praktik
kehidupan keseharian.
Leave a Reply