Setelah sekian lama tidak pernah menerima kiriman kartu pos bergambar, pagi ini (16 September 2014) saya kembali menerima kiriman sebuah kartu pos. Kartu pos tersebut dikirim dari Nanjing pada tanggal 7 September 2014 dan saya terima tanggal 16 September 2014 atau 9 hari setelah pengiriman (dengan cap kantor pos Beijing tanggal 11 September 2014). Pengirim kartu pos adalah saya sendiri dan benda tersebut dikirim usai mengunjungi museum istana kepresidenan Republik Tiongkok di Nanjing. Kartu pos tersebut sebenarnya adalah bekas tiket masuk ke museum istana presiden Republik Tiongkok, namun karena sudah dilengkapi perangko senilai 80 sen, maka bekas tiket masuk yang bergambar gerbang istana Kepresidenan Republik Tiongkok di Nanjing tersebut bisa menjadi kartu pos yang siap dikirimkan kemana pun di Tiongkok.
Di era teknologi informasi dewasa ini, pengiriman kartu pos yang mewakan waktu 5-9 hari tersebut jelas terlalu lama. Karenanya tidak mengherankan jika saat ini tidak banyak orang yang menggunakan kartu pos untuk bertukar kabar singkat. Orang lebih suka berkirim kabar menggunakan elektronik mail, pesan singkat (SMS), BBM, Whatsapp, Wechat, atau melalui media sosial seperti facebook dan twitter. Alasan kecepatan dan kepraktisan menjadi pertimbangan utama penggunaan perangkat tersebut.
Tapi pada jaman ketika teknologi informasi belum berkembang, pengiriman berita melalui kartu pos dapat menjadi sarana komunikasi yang efektif, apalagi jika dikirim menggunakan kartu pos bergambar. Gambar-gambar kota, pemandangan, gedung-gedung, kesenian, potret dan aspek kehidupan lainnya bisa menjadi bagian dari pesan yang ditunggu-tunggu. Gambar pada kartu pos bisa menjadi alat untuk mengetahui keadaan di suatu tempat, yang mungkin belum pernah dikunjungi.
Seiring perkembangan waktu, kartu pos memang bukan lagi sebagai sarana utama bertukar pesan yang efektif. Namun demikian kartu pos bergambar masih dicari banyak orang, khususnya kartu pos lama yang dapat digunakan sebagai salah satu bahan untuk mengetahui situasi masa lalu, misalnya tentang Indonesia tempo dulu.
Ketika bertugas di Brussel, Belgia, saya pernah mendapat kartu pos bergambar istana Gubernur Jenderal Belanda di Bogor yang diterbitkan pada masa pra kemerdekaan RI. Pada kartu pos tersebut terlihat gambar salah satu sisi istana Presiden di Bogor (Buitenzorg), yang saat itu merupakan tempat kediaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan seorang tua yang sedang jongkok.
Penjual kartu pos sendiri tidak tahu persis tahun pencetakan kartu pos tersebut. Namun melihat gambar di kartu pos tersebut, diperkirakan fotonya sendiri dibuat tahun 1900-an atau bahkan sebelum tahun 1900. Kartu pos berjudul ”Voyage aux Indes – Buitenzorg. Le Parc du Gouverneur” (Perjalanan ke Hindia – Bogor. Taman Gubernur) ini memuat foto pohon raksasa di depan sebuah rumah kediaman. Di depan pohon tersebut, tampak seseorang sedang berjongkok.
Saya perkirakan kartu pos ini dibuat antara tahun 1900-1940 dan pengirimnya bukan orang Belanda, yang pemerintahnya saat itu tengah menjajah Indonesia, tetapi oleh seseorang yang menguasai bahasa Perancis dan ditujukan untuk komunitas yang berbahasa Perancis pula. Untuk itu, siapa lagi kalau bukan orang Perancis sendiri atau justru orang Belgia?.
Dugaan bahwa kartu pos tersebut dibuat oleh orang Perancis cukup masuk akal mengingat bahwa Perancis juga merupakan salah satu negara yang saat itu memiliki wilayah jajahan di Asia Tenggara, terutama Indochina. Orang Belgia? Dugaan bahwa orang Belgia yang membuat kartu pos tersebut juga beralasan, mengingat Belgia merupakan salah satu negara yang juga mempergunakan bahasa Perancis sebagai bahasa sehari-hari, selain bahasa Belanda. Saya sendiri lalu cenderung menduga bahwa kartu pos ini memang di buat oleh orang Belgia. Alasannya sederhana, secara tradisional dan berdasarkan hubungan sejarah dan kekerabatan, orang Belgia yang berbahasa Belanda lebih dekat dengan orang Belanda. Jadi terdapat kemungkinan bahwa pada saat itu terdapat orang Belgia yang melancong ke Hindia Belanda dan memotret Buitenzorg, lalu beberapa tahun kemudian dicetak dalam bentuk kartu pos.
Keberadaan kartu pos tersebut sangat menarik karena sedikit banyak memberikan gambaran tambahan mengenai bangunan istana di Buitenzorg atau yang sekarang dikenal sebagai istana Bogor. Kalau melihat rumah dibelakang pohon, tampaknya bangunan tersebut merupakan sisi lain dari istana Bogor yang dikenal saat ini. Untuk membuktikan dugaan tersebut, saya mencoba melakukan penelusuran informasi di internet. Ternyata tidak mudah, apalagi mencoba mendapatkan gambar seperti di kartu pos tersebut. Namun demikian saya berhasil mendapatkan keterangan mengenai Buitenzorg, suatu tempat yang pada saat itu dipergunakan sebagai pesanggrahan dari Gubernur Jenderal G.W Baron Van Imhoff. Keterangan tersebut tampaknya sejalan dengan keterangan pada kartu pos tersebut ”Le Parc du Gouverneur”.
Dengan luas halaman mencapai 28.4 hektar, Buitenzorg atau istana Bogor dibangun bertingkat tiga pada tahun 1744. Namun beberapa bagian dari gedung tersebut kemudian roboh dan hancur akibat gempa yang disebabkan meletusnya Gunung Salak. Kemudian gedung tersebut dibangun kembali pada tahun 1850, namun kali ini tidak bertingkat karena disesuaikan dengan situasi daerah yang sering gempa. Selanjutnya pada 1870, istana Bogor dijadikan tempat kediaman resmi dari Gubernur Jenderal Belanda seperti Daendels van der Cappelen dan Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles. Dari rangkaian informasi tersebut, dugaan saya bahwa foto pada kartu pos dibuat sebelum tahun 1900 ada benarnya. Namun beberapa tahun kemudian barulah foto tersebut dicetak dalam bentuk kartu pos seperti tampak pada gambar di atas.
Lalu bagaimana dengan cerita kartu pos dari Nanjing yang saya terima? Gambar pada kartu pos yang saya kirim dari Nanjing tersebut memperlihatkan pintu gerbang bagian depan bekas istana presiden Republik Tiongkok yang pada bagian atasnya bertuliskan “Kantor Presiden” (sebelum tahun 1947 bertuliskan “Pemerintahan Nasional”).
Lokasi dimana bekas kantor presiden berdiri saat ini merupakan istana pertama kaisar dari Dinasti Ming dan pada masa Dinasti Qing dijadikan kantor Gubernur Jenderal. Ketika Kekaisaran Dinasti Qing tumbang pada tahun 1911 dan diganti dengan Republik Tiongkok, tempat ini dijadikan sebagai tempat pengambilan sumpah Dr. Sun Yat Sen sebagai presiden sementara Republik Tiongkok sekaligus tempat tinggalnya untuk sementara.
Pada tahun 1980 bekas istana presiden ini oleh Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok kemudian dijadikan Museum Sejarah Modern Tiongkok. Di museum ini kita bisa melihat sejarah modern Tiongkok di abad ke-20, mulai dari sejarah Republik Tiongkok (1912-1949) hingga Republik Rakyat Tiongkok. Dan di tempat ini pula kita masih bisa melihat bendera Republik Tiongkok dipamerkan kepada masyarakat umum.
Akhirnya, seperti komentar rekan saya Benyamin Carnadi di Facebook “berkirim kartu pos can be valuable nowadays… apalagi dgn perangko yg melekat dgn stempel pos kota yg dikunjungi..membuktikan kunjungan dilakukan ke tempat aslinya…teknologi canggih sering memanipulasi keaslian..”.
Leave a Reply