Keamanan Cyber dan Diplomasi

Seiring inovasi yang terjadi di bidang teknologi informasi dan komunikasi serta berkembangnya pola komunikasi melalui internet, muncul medan perang baru yang tidak lagi terbatas pada matra darat, laut, udara dan ruang angkasa tetapi juga melingkupi ranah cyber (cyber space) sebagai matra kelima (Al Jazeera, Fighting in Fifth Dimension, 19 February 2012).

Munculnya ranah cyber sebagai medan perang kelima yang juga diikuti kemunculan tindak kejahatan (cyber crime) dan terorisme (cyber terrorism) menjadikan isu keamanan cyber (cyber security) menjadi isu global yang melewati batas-batas negara. Dan jika isu keamanan cyber dalam hubungan internasional tidak dikelola dengan baik, maka selain dapat mengancam kepentingan nasional suatu negara, juga memunculkan potensi konflik antar negara yang berujung pada terjadinya perang cyber (cyber war).

Menyadari besarnya kepentingan terhadap keamanan cyber dan keinginan untuk meningkatkan kemampuan mengamankan diri dari serangan musuh, banyak negara yang kemudian berinisiatif membentuk badan-badan khusus yang menangani masalah keamanan cyber dalam pertahanan dan keamanan negaranya guna menghimpun segala usaha pertahanan dan serangan balik terhadap keamanan di dunia maya beserta sistem jaringannya.

Pembentukan badan-badan khusus tersebut di atas memperlihatkan bahwa banyak negara yang telah menjadikan perang cyber bukan lagi sekedar game virtual di komputer, tetapi sudah menjadi perang nyata.

Perang antar negara dan antar warga di ranah cyber pun berlangsung cepat dari keyboards ke keyboards. Sebagai contoh saat terjadinya perang cyber antara Indonesia-Malaysia menyusul memanasnya konflik politik perbatasan, para hacker dari kedua negara bergerak cepat di atas keyboards untuk kemudian saling susup dan serang di ranah cyber dengan target fasilitas cyber di kedua negara.

Perang nyata di ranah cyber juga terjadi saat berlangsungnya perang dagang Amerika Serikat- Tiongkok dimana pemerintah negeri Paman Sam menuduh hacker negeri Panda telah mencuri data-data perdagangannya yang mengakibatkan kerugian cukup besar.

Dalam perang cyber tersebut di atas, tampak adanya perluasan aktor yang terlibat yang tidak lagi sebatas kekuatan militer negara tetapi sudah melibatkan individu warganya. Sehingga dapat dikatakan bahwa perang cyber pada hakekatnya merupakan perang rakyat semesta (Permesta).

Dalam Permesta di era cyber setiap individu memiliki kesempatan dan kemungkinan yang sama untuk memanfaatkan tekonologi informasi dan komunikasi ataupun mengobrak abrik sistem yang ada hingga mampu membobol dan menguasai aset serta pertahanan individu dan negara. Karenanya, keamanan nasional pun tidak hanya terkait dengan keamanan negara namun juga mencakup keamanan terhadap individu warganya.

Kewajiban pokok negara juga berkembang dari mulai melindungi keamanan kepentingan nasional hingga memberikan keamanan individu warganya termasuk keamanan dari berbagai kejahatan cyber.

Pada gilirannya, perlindungan keamanan cyber yang dilakukan tidak hanya bersifat domestik tetapi juga global yang memerlukan pengembangan kerja sama internasional menyangkut aturan keamanan cyber (cyber law). Melalui jalur diplomasi bilateral dan multilateral dilakukan negosiasi berkesinambungan untuk menghasilkan suatu cyber law yang tegas di dunia internasional, sehingga dampak dari kerentanan keamanan cyber dapat dikurangi.

Dan memandang bahwa setiap negara memiliki potensi kekuatan masing-masing dan memiliki kepentingan besar terhadap keamanan cybernya, maka langkah-langkah kerja sama strategis dengan negara kunci di kawasan menjadi krusial, dalam upaya menjamin keamanan kepentingan ekonomi dan politik. Hal ini patut digarisbawahi mengingat setiap negara memiliki kepentingan besar terhadap keamanan cybernya. Setiap negara memiliki potensi kekuatan sendiri-sendiri yang dapat digunakan untuk mendorong kelancaran negosiasi.

TANTANGAN KEAMANAN CYBER

Keamanan cyber pada hakekatnya mencakup keamanan informasi, operasi dan sistem komputer. Luasnya cakupan keamanan cyber memperlihatkan besarnya  tantangan keamanan cyber yang dihadapi pemerintah dan individu dalam melindungi aset, sistem dan jaringan internetnya.

Untuk menghadapi tantangan keamanan cyber, beberapa negara, terutama negara-negara besar sudah membangun kekuatan angkatan perang khusus di ranah cyber guna mendukung pertahanan dan keamanan negaranya. Badan-badan khusus tersebut memiliki tugas menghimpun segala usaha pertahanan an serangan balik terhadap keamanan di ranah cyber beserta sistem jaringannya.

Amerika Serikat memiliki United States Cyber Command (US CYBERCOM) di bawah United States Strategic Command (US STRATCOM) yang mulai diaktifkan pada tahun 2009. Badan ini dibangun menangkal serangan cyber terhadap jaringan komputer, internet, maupun infrastruktur di negara tersebut. Di Eropa, negara-negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) membentuk NATO Cooperative Cyber Defense Centre of Excellence (NATO CCD COE) pada 14 Mei 2008 dalam rangka meningkatkan kemampuan pertahahanan cyber NATO. NATO CCD COE  bermarkas di kota Tallinn, Estonia. Pusat keamanan cyber ini merupakan hasil kerjasama berbagai Negara anggota NATO untuk meningkatkan keamanan terhadap sistem jaringan komputer Negara-negara anggota NATO.

Sementara negara terdekat Indonesia yaitu Australia telah membuat Cyber Operations Center (CSOC) di bawah Direktorat Pertahanan Sinyal Departemen Pertahanan. Badan ini bertanggung jawab untuk mendeteksi dan menangkal ancaman kejahatan cyber terhadap kepentingan dan pemerintah Australia Adapun Tiongkok membangun pasukan di ranah cyber yang disebut “Blue Army” dengan tugas melindungi negara dari serangan cyber. Pasukan biru ini berkedudukan di kawasan militer Guangzhou, sebelah selatan Tiongkok.

Dari hal-hal tersebut di atas, tampak bahwa setiap negara telah berinisiatif menyiapkan strategi nasional keamanan cyber, baik dengan membangun badan khusus atau menjalin kemitraan strategis dengan negara lain sebagai upaya melindungi informasi penting yang dimilikinya.

Norma-norma atau aturan-aturan pun disiapkan untuk meningkatkan keamanan cyber, melindungi konektivitas masyarakat global, mengurangi resiko, mendorong prediksi yang lebih baik, dan membatasi potensi-potensi problematik, termasuk bersiap menghadapi perang.

Menurut konsep paper dari Microsoft (International Security Norms, Reducing Confl ict in Internet Dependent World, 2015), setidaknya terdapat dua norma yang harus dibangun yaitu pertama, membuat aturan untuk memperbaiki pertahanan cyber yang dapat mengurangi resiko ancaman melalui penyiapan dasar-dasar kapasitas keamanan cyber nasional dan pendekatan untuk meningkatkan pemahaman antar bangsa. Kedua, membuat aturan yang bertujuan untuk membatasi atau mengurangi konfl ik dan mencegah atau membatasi peningkatan potensi bencana di ranah cyber.

Upaya membuat aturan-aturan tersebut memerlukan kolaborasi dan dialog antar pemerintah dengan dukungan sektor swasta, masyarakat madani dan akademisi. Proses ini tengah berlangsung dan dialog terus dilakukan, namun kemajuannya masih sedikit. Karena itu diperlukan langkah  terobosan untuk memperkuat pembahasan dan mengetahui perilaku para pihak terkait di ranah cyber dan mengusulkan pengembangan norma-norma keamanan cyber melalui pendekatan multi pihak, termasuk melibatkan industri dan akademisi.

Berbagai konsep dan aturan yang diusulkan dan beredar seperti yang disampaikan Microsoft memerlukan proses negosiasi panjang karena perlu diuji dan dibahas di meja perundingan dengan seksama oleh para pengambil keputusan dan diplomat. Karena itu upaya memasukkan pasal-pasal mengenai tanggung jawab negara terkait keamanan cyber dalam agenda pembahasan di  perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan hal positif dalam mendorong langkah politik menjadi ketentuan hukum yang mengikat.

Perubahan dari aturan-aturan politik menjadi norma-norma hukum yang mengikat memerlukan waktu dan komitmen. Namun melalui dialog dan praktik keseharian, norma-norma keamanan cyber dapat menjadi hukum internasional seiring dengan berjalannya waktu. Disini diperlukan komitmen dari para pengambil keputusan, diplomat, akademisi, dan industri untuk melindungi fungsi paling penting dari keamanan cyber sehingga masyarakat dapat senantiasa menikmati keuntungan ekonomi dan sosial.

DIPLOMASI

Sejalan dengan peningkatan aktivitas di ranah cyber, resiko adu kekuatan pun tidak dapat dihindari. Merupakan hal yang naif untuk mengharapkan bahwa setiap negara akan menarik kekuatan operasi militernya dari internet. Yang diperlukan adalah upaya membangun norma keamanan cyber yang dapat melindungi kebebasan konektivitas masyarakat global dan dapat diterima para pihak yang bertikai.

Beberapa pihak menilai bahwa langkah penyusunan norma-norma agak menyulitkan, bahkan beberapa negara cenderung mengabaikan dan menganggapnya sebagai pemanis bibir semata.

Norma dipandang tidak menjamin bahwa suatu negara tidak akan pernah melanggar prinsip-prinsip yang keamanan cyber yang telah disepakati. Kenyataan bahwa untuk mendapatkan pengakuan global dari norma-norma internasional yang baru merupakan suatu hal yang sulit diakui oleh mantan Menlu Jerman Willy Brandt, “Kita tidak akan dapat mendiskusikan jaminan keamanan, perlucutan senjata dan penggunaan nuklir untuk kepentingan perdamaian dengan harapan perdamaian dapat tercapai kecuali keinginan dan usulan bersama memasukkan aturan yang tepat sesuai kebutuhan negara-negara di dunia.”

Meski sulit bukan berarti tidak mungkin. Sebagai contoh AS dan Tiongkok memperlihatkan bahwa diplomasi keamanan cyber dapat dilakukan dan berhasil mencapai kesepakatan kerja sama keamanan cyber. Para petinggi AS dan Tiongkok berhasil duduk bersama membahas kesepakatan kerja sama keamanan cyber berbekal modalitas kepentingan nasional masing-masing. AS yang memiliki kekuatan penekan berupa sanksi ekonomi kepada Tiongkok, mau mengendurkan tekanannya. Sementara Tiongkok yang ditenggarai memiliki pasukan cyber kuat, bersedia mengurangi aktivitasnya.

Hasilnya, pada kunjungan Presiden Tiongkok Xi Jinping ke AS pada September 2015 ditandatangani kesepakatan kerja sama keamanan cyber. Dalam kaitannya dengan Indonesia, kerja sama intensif keamanan cyber juga dilakukan dengan berbagai negara, salah satunya penjajagan kerjasama dengan Cyberspace Administration of China (CAC), sebuah badan koordinator umum Pemerintah RRT di bidang politik, umum dan militer, dengan fungsi utama merumuskan regulasi dan kebijakan di bidang sistem informasi dan keamanan dunia maya, memonitor pelaksanaan hukum dan peraturan di bidang dunia maya, menjaga keamanan internet dan merumuskan standar instansi di bidang cyber. Dalam kerja sama internasional, Tiongkok menawarkan Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara untuk membentuk Data Center RRT-Asia Tenggara sebagai platform kerja sama bilateral.

Sebagai penutup, menarik untuk dicermati bahwa penyelesaian konfl ik lewat operasi militer tidak menjamin keberhasilan menguasai keadaan atau kontrol situasi secara keseluruhan (absolut).

Teknologi militer modern yang diimplementasikan dalam konsep perang cyber tidak dapat  diandalkan untuk memenangkan suatu perang. Untuk itu dibutuhkan suatu langkah diplomasi terpadu yang dikoordinasikan Kemlu dengan melibatkan pihak-pihak terkait seperti diplomat, akademisi dan industri, guna keberhasilan pencapaian misi perlindungan keamanan cyber.

Aris Heru Utomo, Diplomat Madya, Kementerian Luar Negeri RI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *