Lailatul Qadar di bulan Ramadhan merupakan
malam yang ditunggu-tunggu oleh seluruh ummat Muslim yang beriman karena karena
kebaikannya melebihi 1.000 bulan. Lailatul Qadar atau Lailat Al-Qadar (malam kemuliaan)
adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadhan, yang dalam Al
Qur’an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan, juga
diperingati sebagai malam diturunkannya Al Qur’an secara keseluruhan dari
lauhul Mahfudz ke Baitul Izzah.
Kapan turunnya malam Lailatul Qadar sesungguhnya
dirahasiakan oleh Allah dari umat manusia. Tidak ada yang tahu persis kapan
turunnya malam Lailatu Qadar. Bahkan Rasullulkah Muhammad SAW sendiri hanya
menganjurkan agar kita mencari malam tersebut terutama pada malam 10 hari
terakhir bulan Ramadan.
Malam tersebut memiliki tanda-tanda khusus.
Rasulullah Muhammad menyebutkan, lailatulqadar ada pada setiap Ramadan (H.R.
Abu Dawud) dan lebih rinci lagi melalui riwayat lain dari jalur Aisyah,
menyatakan “Carilah Lailatulqadar itu pada tanggal ganjil dari 10 hari
terakhir bulan Ramadan” (H.R. Bukhari).
Salah satu hikmah dari tidak
dijelaskannya secara rinci tentang kapan Lailatul Qadar ini, adalah, umat Islam
akan senantiasa tekun beribadah sepanjang Ramadan, tidak hanya terpaku pada
malam atau hari tertentu saja. Jika waktu Lailatul Qadar sudah diberitahukan
sejak awal, maka konsentrasi umat hanya pada malam yang dimaksudkan.
Karena sangat dirindukan oleh umat
beriman, dalam beberapa tahun terakhir kita kerap melihat dalam sepuluh hari
terakhir masjid dipenuhi jamaah yang melaksanakan I’tikaf, berdiam diri di
dalam masjid untuk beribadah dalam rangka untuk mencari keridhaan Allah SWT dan
bermuhasabah (introspeksi) atas perbuatan-perbuatannya serta berharap
memperoleh malam Lailatul Qadar, yang pada 2020 ini tidak bisa dilakukan karena
pandemik Covid-19.
Namun sebelum kebiasaan I’tikaf mulai ramai
dilakukan umat Muslim yang beriman, sesungguhnya di berbagai daerah sudah
terdapat banyak tradisi masyarakat yang didasarkan pada kearifan lokal untuk
menyambut “malam agung,” yang tumbuh berkembang menjadi budaya keagamaan yang
khas ke-Indonesia-an.
Misalnya saja di Jawa Timur terdapat
tradisi selamatan “maleman” pada setiap malam ganjil di sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan. Selamatan ini dibarengi dengan tradisi “ronda obor”, di mana
anak-anak remaja mengelilingi desanya dengan masing-masing membawa obor
keliling kampung, yang filosofinya adalah seakan-akan kampung mendapat cahaya
kebenaran di malam Lailatul Qadar itu.
Di Maluku terdapat tradisi “malam tujuh
likur” yang dirayakan bersama dengan tradisi “tupat jiwa” dimana setiap
keluarga membawa ketupat sejumlah anggota keluarga ke Masjid pada malam yang
ditentukan (27 Ramadhan). Di masjid, sebelum dibagikan kepada para fakir
miskin, jumlah ketupat yang diserahkan dihitung sehingga dapat diketahui totalnya
dan dapat dijadikan data untuk mengetahui pertumbuhan jumlah penduduk desa pada
tahun itu. Jadi selain menanti malam Lailatu Qadar, tradisi “tupat jiwa” ini juga
berfungsi sebagai sensus tradisional penduduk tahunan di desa.
Di Kota Solo, ada satu tradisi unik
dalam rangka menyambut malam kemuliaan yang disebut sebagai Malam Selikuran yang
bisa dijumpai di Keraton Surakarta Hadiningrat pada malam ke-21 bulan Ramadhan
setiap tahunnya. Malam Selikuran dilakukan dengan kirab mengarak tumpeng dengan
diiringi lampu ting atau pelita dimulai dari Keraton Surakarta sampai ke Masjid
Agung Surakarta. Acara kirab Malam Selikuran diikuti oleh ratusan peserta yang terdiri
dari para abdi dalem, pejabat dan keluarga keraton, masyarakat, hingga petugas
keamanan dari berbagai elemen seperti kepolisian, Brimob, serta Banser
Memperhatikan maraknya tradisi budaya
keagamaan menyambut malam Lailatu Qadar di berbagai daerah, menyiratkan adanya
upaya siar keagamaan sejak lama dengan tujuan memberikan pemahaman mendalam dan
luas mengenai Lailatul Qadar kepada masyarakat. Namun, seiring berjalannya
waktu, kerap kali tradisi keagamaan tersebut akhirnya berhenti sebagai kegiatan
kebiasaan lahiriah dan formalistik semata, kosong dari pemaknaan.
Padahal secara antropologis terkandung simbol-simbol
dari budaya keagamaan yang sangat sarat dengan pesan moralnya. Proses
akulturasi dan asimilasi antara budaya dengan agama selalu terjadi di tengah-tengah masyarakat,
mengingat agama tidak hadir pada ruang hampa. Agama hadir pada manusia yang
berbudaya.
Nah
bicara pemaknaan dan pesan moral melalui tradisi dan kearifan lokal, cerita
yang sedang viral di group WA (saya tidak tahu siapa penulisnya) yang kiranya
bisa menjadi contoh bagaimana pencapaian Lailatur Qadar tidak hanya didapat melalui
kegiatan bersifat lahiriah dan formalistik semata. Lailatu Qadar justru bisa
diperoleh lewat laku dan perbuatan keseharian seperti yang dilakukan nenek
penjual pisang
Berikut ceritanya:
“Wah…pisangnya
bagus-bagus Mbah…” kataku sembari berjongkok di depan perempuan sepuh yang
berjualan di pinggir jalan depan pasar…
“Lha
monggo _dipundut (dibeli)…” kata perempuan itu riang.
Sungguh sudah
sangat sepuh, rautnya penuh kerut. Kulitnya hitam. Kurus badannya. Tapi
suaranya cemengkling masih nyaring),
riang. Giginya terlihat masih utuh.
“Ini kepok
kuning… bagus dikolak.
Ini kepok
putih… kalau digoreng sangat manis..
Lha kalau itu…
pisang pista, kulit tipis… harum manis.
Tapi jangan
dibeli karena belum mateng…
Aku hanya diam memperhatikan gerak
tangannya yang cekatan, meskipun telah ndredheg (gemetar)
“Sudah lama jualan, Mbah…?”
“Belum,
ini ngejar rejeki buat lebaran.”
“Putranya berapa
Mbah?”
“Kathah
(banyak) ..… pada glidik (kerja)…”
“Kok nggak
istirahat saja to Mbah… siyam-siyam kok jualan”
“Lha
nggih, ini karena siyam niku to , nggak boleh istirahat…Mumpung Gusti Allah paring
(beri) sehat …”
Aku tercenung dengan jawaban perempuan
sepuh itu…. Kulihat tangannya mengelap
kening dan dahinya yang dlèwèran (bercucuran) keringat dengan selendang
lusuhnya….
Diantara para penjual ‘liar’ dipinggir
jalan depan pasar itu, perempuan sepuh ini satu diantaranya yang menggelar
dagangan tanpa iyup iyup (peneduh). Padahal hari itu panas luar biasa.
“Kalau pulang jam berapa
Mbah?”
“Jam tiga sudah pulang ..…, lha ada
kewajiban nyiapkan _wedang (minum) buat anak-anak TPA.”
“Kok kewajiban, yang mewajibkan
siapa Mbah ?”
“Nggih kula, (ya saya sendiri)
…”
“Ooo…begitu…. Setiap hari, selama
puasa?”
“Inggih… wong cuma anak limapuluhan…”
“Wah _panjenengan (anda) hebat nggih Mbah…”
“Halah cuma wedang sama pegangan
kecil-kecil…
Yang penting bocah-bocah rajin ngaji…,
mbah sudah seneng. Jangan bodoh kaya Mbah ini yang cuma bisa Fatihah…”
Aku makin tercekat. Kumasukkan semua
pisang yang ditawarkan ke dalam tas kresek.
“Kok banyak banget… mau buat apa,
mas? tanya si mbah heran.
Aku hanya tersenyum.
“Semua berapa Mbah?”
Perempuan sepuh itu menyebutkan nominal
yang membuatku tercengang….
“Kok murah banget Mbah…”
“Mboten (ah enggak)… itu sudah pas,
ini bukan pisang kulakan (dari beli), panen kebun sendiri…”
“Nggih…matur nuwun…” kataku
sembari mengulurkan uang.
“Aduh… nggak ada kembalian , belum
_kepayon (laku)…”
“Saya tukar dulu Mbah…”
Aku sengaja meninggalkan perempuan sepuh
itu. Pisang telah kuletakkan di mobil.
Mesin mobil pun kunyalakan…. Agak
menjauh dari perempuan sepuh itu..
Kumasukkan beberapa lembar uang sepuluh
ribuan yang masih baru, ke dalam amplop, cukup dibagi satu satu untuk anak TPA yang
katanya berjumlah limapuluhan tadi. Penutup lem amplop kubuka lalu kurapatkan.
“Ini mbah, sudah saya tukar, sudah pas
_nggih…”
Perempuan sepuh itu menerima amplop
masih dengan tangan dredheg gemetar. Tanpa menunggu jawaban, aku segera pergi.
Esoknya aku mampir lagi…tapi kosong. Berikutnya
aku mampir lagi…kosong juga.
Penasaran kutanyakan pada ibu pedangang
sebelahnya.
“Mbahe kok nggak jualan Mbak?”
“Oh nggak, beliau … jualan kalau
panen pisang aja…
Sampeyan
to yang kemarin ngasih amplop. Walah Mbahe nangis _ngguguk (tersedu2) ..… _jare
bejo, (katanya beruntung) & dapet qodaran.”
Barangkali yang dimaksudkan adalah
lailatul qodar. Malam yang konon lebih baik dari 1000 bulan. Para malaikat
turun dari langit. Ke langit hati kita. Menyelesaikan segala urusan. Allah
melapangkan rejeki dan kemuliannya bagi yang dikehendaki, Pun mempersempit bagi
yang dikehendaki pula… Rejeki sesuai kapasitas kita.
Lantas siapakah yang mendapatkannya ?? ………………..
Barangkali perempuan sepuh inilah yang
mendapatkannya. Bukan karena ia ahli ibadah… Bukan pula karena I’tikafnya
yang kuat di masjid.
Tapi dialah pelaksana dari yang katanya
‘hanya’ bisa fatihah itu. Kesungguhan I’tikaf yang luar biasa. Bertindak, berlaku, dan berpasrah dalam
keriangan rasa.
I’tikaf di masjid yang digelar dalam
keluasan yang maha. Bukan masjid yang sekedar bangunan ibadah. Kecintaannya
yang sederhana dengan penyiapan wedang dan penganan bagi limapuluhan bocah
selama puasa, sungguh bukan perkara mudah. Hanya cinta tuluslah yang bisa. ……………..
Aku jadi teringat pertanyaan teman, tentang pencapaian Lailatul
Qadar. Benarkah memang ia turun di 10 hari terakhir malam ganjil?
Maka …malam terbaik dari 1000 bulan
bukanlah instan… Tak bisa dijujug dengan akhiran… semua butuh proses…. karena karunia terindah
butuh wadah. Yang dibangun dengan mengais kebaikan, sebelum, selama dan sesudah
Ramadhan. Itulah sesungguhnya QODARAN
Selamat menjemput laillatul qodar,
saudara/iku tercinta.
Leave a Reply