Kerjasama Ekonomi Perbatasan ASEAN di Kalimantan Timur

Sejak dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967, Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN), yang saat ini beranggotakan 10 negara di Asia Tenggara, telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu agenda utamanya. ASEAN memandang bahwa setiap hubungan konstruktif dengan negara-negara tetangga dan daerah lainnya dapat memperkuat jaringan kerjasama ekonomi ASEAN dan menjadikannya lebih efektif dalam menghadapi berbagai kesempatan dan tantangan masa depan.

Dalam mengupayakan kerjasama ekonomi yang proaktif, berbagai inisiatif kerjasama telah digulirkan antara lain melalui kerjasama ekonomi sub regional antara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Filipina (Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-The Phillipines East ASEAN Growth Area atau BIMP-EAGA). Kerjasama BIMP-EAGA yang melibatkan daerah-daerah yang berbatasan diperlukan guna meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat di daerah perbatasan. Melalui kerjasama semacam ini dapat dilakukan peningkatan peran pelaku usaha pada kegiatan-kegiatan ekonomi yang menjadi minat para pelaku usaha.

Bahwa pengembangan kerjasama daerah perbatasan perlu mendapatkan perhatian berlebih pada dasarnya tidak terlepas dari peran strategis daerah perbatasan sebagai halaman depan suatu negara. Dan layaknya halaman depan, maka wilayah perbatasan mesti terurus dan tertata rapih sehingga dapat memberikan kesan baik bagi siapapun yang datang, termasuk investor.

Dalam kaitan ini, setiap daerah perbatasan akan dihadapkan pada berbagai tantangan, baik eksternal maupun internal, yang merefleksikan dimensi politik, hankam, ekonomi, dan sosial budaya.

Secara eksternal, masalah yang dihadapi antara lain terkait dengan kerjasama penegakan hukum di perbatasan dan upaya menumbuhkan kerjasama sektor perekonomian guna menarik investasi dan meningkatkan nilai perdagangan.

Sementara itu, secara internal tantangan yang mengemuka lebih terkait pada masalah politik dan pelaksanaan otonomi yang memberikan kewenangan lebih luas kepada daerah, dimana dengan keterbatasan sumber daya manusia yang terdapat di daerah, seringkali perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan dan evaluasi program-program pembangunan menjadi kurang tepat sasaran.

Di sinilah arti strategis Pemerinah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) berperan. Sebagai provinsi yang berada di kawasan kerjasama sub regional BIMP-EAGA, Kaltim menjadi ujung tombak dalam peningkatan hubungan kerjasama ekonomi perbatasan. Pemerintah provinsi Kaltim tidak sekadar menjadi pelaksana kegiatan pemerintahan di daerah dengan struktur birokrasi yang tambun, tetapi mesti mampu menjadi lembaga yang efisien dan inovatif dalam mencari terobosan pelaksanaan kerjasama ekonomi perbatasan.

Sebagai provinsi terluas kedua di Indonesia yang mencakup 12% dari keseluruhan luas wilayah nasional dan memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar dan potensi wisata yang indah serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Provinsi Kaltim merupakan salah satu provinsi yang beruntung. Ditopang komoditas batu bara sebagai produk unggulan ekspor, perekonomian Kaltim tumbuh secara stabil. (Menurut Data Bank Indonesia Samarinda, perekonomian Kalimantan Timur tumbuh rata-rata 4,95 persen pada tahun 2010).

Namun demikian, tingginya pertumbuhan ekonomi tersebut belum seluruhnya dirasakan oleh masyarakat Kaltim sehingga tidak mengherankan jika angka kemiskinan masih tinggi (dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), angka pengangguran di Kaltim pada 2010 mencapai 10,10 persen. Lebih tinggi dibanding rata-rata nasional yakni 8,24 persen).

Dengan kondisi ini, Pemerintah Provinsi Kaltim didukung seluruh elemen masyarakat seperti Akademisi dan Masyarakat sipil diharapkan dapat berinovasi membuat kebijakan dan program kegiatan yang dapat meningkatkan pelaksanaan kerjasama ekonomi, termasuk kerjasama ekonomi perbatasan yang dapat menyerap tenaga kerja dengan tetap didukung sektor industri pengolahan dan sektor lainnya.

Sejalan dengan upaya tersebut, Pemerintah provinsi Kaltim dapat memanfaatkan berbagai program kerjasama ASEAN bagi kepentingan nasional, khususnya untuk mengembangkan kerjasama ekonomi di daerah-daerah perbatasan. Salah satu kegiatan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ini adalah program konektivitas ASEAN.

Konektivitas ASEAN merupakan suatu inisiatif yang digagas untuk meningkatkan konektivitas di antara negara-negara anggota ASEAN melalui konektivitas fisik (meliputi transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, serta energi), konektivitas kelembagaan (meliputi fasilitasi dan liberalisasi perdagangan, perjanjian perdagangan ASEAN, standar dan kesesuaian, ASEAN single window, integrasi cukai, fasilitasi dan liberalisasi investasi, perjanjian komprehensif investasi ASEAN, liberalisasi jasa dan pengaturan pengenalan bersama (mutual recognition arrangements), dan konektivitas orang ke orang (melalui pendidikan, budaya, dan pariwisata).

Proyek-proyek yang masuk dalam program konektivitas ASEAN ini dibiayai dana bersama ASEAN, yang saat ini besarnya 647 juta dollar AS (setara Rp 6 triliun). Memanfaatkan Keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun 2011 ini, Pemerintah provinsi Kaltim bisa mendorong upaya peningkatan kerjasama perbatasan dengan antara lain mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk mengembangkan sistem angkutan darat dan laut serta udara (penerbangan perintis) yang bisa menghubungkan daerah-daerah di Kaltim dengan daerah di negara anggota ASEAN lainnya.

Melalui program konektivitas ASEAN, diharapkan dapat dilakukan pengentasan masalah klasik berupa ketertinggalan, keterbelakangan dan keterisolasian daerah perbatasan. Berbagai kajian yang selama ini pernah dilakukan seperti pembentukan “kawasan berikat” (Tarakan-Nunukan-Sebatik) untuk menyamai kemajuan pembangunan di Tawao, Sabah, Malaysia Timur, kiranya dapat segera diimplementasikan.

Akhirnya, melalui pemanfaatan program kerjasama dalam kerangka ASEAN, baik melalui BIMP-EAGA ataupun konektivitas ASEAN, Pemerintah provinsi Kaltim dapat lebih leluasa melaksanakan pembangunan di kawasan perbatasan dan tidak terfokus pada pembangunan kawasan perkotaan semata. Mengabaikan daerah perbatasan, sama saja mengabaikan halaman depan negara sendiri. Kita tentunya tidak ingin halaman depan negara anggota ASEAN lain saja yang maju dan tertata rapih, sementara halaman depan negara kita tak terawat.

Jakarta, 14 Maret 2011

*Penulis bekerja pada Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

++++

Tulisan ini juga dimuat di TribunNews.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *