Kho Ping Hoo Kini Berbahasa Mandarin

kho ping hooBagi para remaja Indonesia penggemar cerita silat di era tahun 70-80an atau awal 80an, nama Sukawati Asmaraman atau lebih dikenal sebagai Kho Ping Ho bukanlah nama yang asing di telinga mereka. Kho Ping Ho, pria keturunan Tionghoa kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926, sangat dikenal oleh mereka karena cerita-cerita silatnya yang asli, khas, imajinatif dan memuat ide-ide besar dengan latar belakang kehidupan di China yang disajikan dengan sangat memikat.

Meski pada usia senja Kho Ping Ho baru menjejakkan kakinya di daratan China, namun dalam karya-karyanya ia antara lain berhasil menceritakan pemandangan alam yang permai di pegunungan Thaysan dan sekitarnya (sekarang terletak di Provinsi Shandong) dengan cukup detail. Ia pun banyak menceritakan tokoh fiksi dunia persilatan yang hidup pada masa pergolakan antar kerajaan-kerajaan di China pada saat itu, baik tokoh golongan hitam (antagonis) maupun golongan putih (protagonist). Tokoh-tokoh yang ditampilkan ini memberikan banyak inspirasi bagi para pembaca dan penggemarnya.

Tidak mengherankan jika banyak remaja pada saat itu yang menyukai cerita silat Kho Ping Ho dan rela memburu buku-bukunya di berbagai tempat penyewaan buku. Bahkan tidak sedikit pula yang rela menyisihkan sebagian uang jajannya untuk bisa mengumpulkan koleksi buku cerita silat Kho Ping Ho. Meski tidak sefanatik teman-teman yang lain, saya juga termasuk yang menggemari cerita silat Kho Ping Ho.

Dari cerita silat Kho Ping Ho, saya dan barangkali juga sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya bisa mengenal kehidupan dan adat istiadat masyarakat Tionghoa serta kearifan yang mereka miliki seperti perlunya menjunjung integritas, memiliki semangat berusaha dan kepatuhan (loyalty) yang tinggi.

Selain mengenal nama-nama tokoh dalam cerita silat Kho Ping Ho yang biasanya panjang-panjang seperti Manusia Dewa Bu Kek Siansu, sedikit-sedikit saya juga mengenal beberapa kata bahasa Mandarin yang dipopulerkan oleh Kho Ping Ho seperti sute (adik seperguruan laki-laki) dan suheng (kakak seperguruan laki-laki). Saya juga bisa membayangkan indahnya pemandangan di pegunungan Thaysan yang dilukiskan melalui rangkaian kata yang ditulis Kho Ping Ho.

Di tengah hubungan Indonesia – China yang tidak semesra dan hangat seperti saat ini dan teknologi informasi belum berkembang pesat, kemunculan cerita-cerita silat Kho Ping Ho pada era tahun 70-80an sangat tepat karena dapat dijadikan salah satu sumber ‘informasi’ alternatif untuk mengenal China tanpa was-was dicap sebagai komunis oleh pemerintah Orde Baru.

Dicetak sederhana di atas kertas koran dengan teknik stensilan dan dibuat berukuran mirip buku saku serta berjilid-jilid, cerita silat Kho Ping Ho pun menjadi bacaan ‘wajib’ para remaja saat itu, yang seringkali membacanya secara sembunyi-sembunyi karena takut dimarahi orang tua yang khawatir anaknya kecanduan buku Kho Ping Ho dan melupakan pelajaran di sekolah. .

Kini di abad ke-21, di saat hubungan Indonesia-China sedang mesra dan teknologi informasi telah berkembang pesat, yang memungkinkan informasi mengenai China mudah didapat, cerita-cerita silat Kho Ping Ho masih tetap digemari puluhan juta masyarakat Indonesia. Meski tentu saja tidak lagi memburu buku tersebut di tempat penyewaan buku, melainkan secara online melalui internet.

Hanya sayangnya, meski digemari banyak orang Indonesia, cerita-cerita silat yang ditulis Kho Ping Ho masih belum ‘go global’, termasuk ke China sendiri, negeri leluhur Kho Ping Ho dan temopat yang menginspirasinya untuk menuliskan cerita-cerita silat berlatar belakang China.

Karena itu, atas inisiatif Duta Besar RI untuk RRT Imron Cotan, pada Sabtu (14/12) kemarin diluncurkan buku cerita Kho Ping Ho dalam bahasa Mandarin yang berjudul ‘Suling Emas’ bagian pertama. Hadir dalam peluncuran buku cerita silat ini sekitar 150 orang tamu undangan seperti Sekretaris Jenderal ASEAN-China Center Ma Mingqiang, kalangan media massa, akademisi, mahasiswa dan perwakilan anggota masyarakat China dan Indonesia di Beijing.

Seperti dikatakan Duta Besar Imron dalam sambutannya, tujuan penerbitan buku Kho Ping Ho ini untuk menjangkau pembaca yang lebih luas di China, negeri yang menginspirasi Kho Ping Ho untuk menuliskan berbagai cerita silat. Melalui penerbitan buku ini diharapkan masyarakat China akan lebih mengenal Indonesia dan menghidupkan nilai nilai kebaikan yang disampaikan Kho Ping Ho.

Ditambahkan pula oleh Duta Besar Imron bahwa penerbitan buku cerita silat ini juga dimaksudkan untuk memperkuat hubungan bilateral Indonesia-China seperti yang diamanatkan dalam perjanjian kemitraan strategis komprehensif yang baru saja ditandatangani Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden RRT Xi Jinping di Jakarta tanggal 2-3 Oktober 2013 lalu.

Sementara itu Sekretaris Jenderal ASEAN-China Center Ma Mingqiang mengemukakan bahwa penerbitan buku cerita silat Kho Ping Ho ini sangat penting karena daoat digunakan sebagai salah satu upaya untuk memperkuat hubungan bilateral RI-RRT dan menjembatani perbedaan yang ada melalui kontak antar anggota masyarakat (people-to-people contact).

Dan guna mengenalkan terlebih dahulu buku tersebut kepada masyarakat China, maka pada peluncuran buku ini telah dicetak sebanyak 200 eksemplar untuk dibagi-dibagikan kepada tamu undangan yang hadir.

‘Selanjutnya. buku ‘Suling Emas’ versi Mandarin akan dibuat digital dan dijual online oleh ikomodo.com dengan harga 1.88 yuan per copy’. demikian dikemukakan Kasim Ghozali, salah seorang pengusaha Indonesia dan pemiliki ikomodo.com yang memegang hak cipta penerbitan buku ‘Suling Emas’ versi Mandarin.

‘Penerjemahan buku ‘Suling Emas’ awalnya dilakukan oleh orang Indonesia keturunan Tionghoa dan kemudian diedit oleh orang Tionghoa yang memiliki spesialisasi dalam penulisan cerita-cerita silat di Foshan, Guangdong’, demikian ditambahkan Kasim Ghozali ketika ditanyakan mengenai proses penerjemahan perdana buku karya Kho Ping Ho.

Sebagai salah seorang penggemar cerita silat Kho Ping Ho, tentu saja saya sangat mendukung penerjemahan dan peneribitan buku ‘Suling Emas’ dalam bahasa Mandarin di China. Melalui penerbitan tersebut saya berharap nantinya masyarakat Tionghoa yang berbahasa Mandarin, baik yang tinggal di daratan China maupun di perantauan, dapat membaca dan menikmati serta terhibur dengan cerita-cerita silat karya Kho Ping Ho seperti halnya masyarakat Indonesia.

Akhirnya, mengutip harapan Duta Besar Imron dan Sekretaris Jenderal ASEAN-China Center Ma Mingqiang, yang juga tidak kalah penting adalah membuka lebih banyak pintu bagi kegiatan people-to-people contact yang lebih luas lagi dalam hubungan Indonesia-China.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *