Seorang nenek yang memiliki seorang cucu wanita bernama Somiya mulai gelisah saat menyadari bahwa akan tiba masanya Somiya meninggalkannya sendirian. Jika telah menikah, Somiya akan pergi mengikuti suaminya yang tinggal di tempat lain.
Menyadari hal tersebut, sang nenek kemudian memiliki ide agar saat dewasa nanti Somiya dapat menikah dengan anak angkat laki-laki si nenek yang bernama Bayinbulag. Bayinbluga adalah anak angkat si nenek yang dipelihara sejak kanak-kanak, bersama-sama dengan Somiya, setelah ibunya meninggal dan ayahnya pindah ke kota besar untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Harapan sang nenek untuk menikahkan Somiya dengan Bayinbulag sepertinya akan mudah terlaksana dan tinggal menunggu waktu karena Bayinbulag dan Somiya ternyata juga saling menyukai. Namun kenyataan justu menyatakan lain. Berawal dari permintaan ayah kandungnya , yang telah berhasil hidup di kota besar, Bayinbulag kemudian pergi ke kota untuk belajar peternakan. Bayinbulag berjanji akan kembali delapan bulan kemudian.
Tanpa kabar, ternyata baru tiga tahun kemudian Bayinbulag kembali ke tempat dia dibesarkan untuk bertemu sang nenek dan Somiya. Ia kembali bukan sebagai seorang ahli peternakan seperti tujuan awal tetapi sebagai seorang musisi yang baru menyelesaikan pendidikan di sekolah musik. Dengan penuh kegembiraan Bayinbulag menyampaikan niatnya untuk menikahi Somiya dan mengemukakan pula bahwa niatnya telah mendaptakan restu dari ayah kandungnya.
Permasalahan kemudian muncul ketika Bayinbulag mengetahui ternyata Somiya sedang mengandung beberapa bulan akibat disetubuhi oleh seorang preman di kawasan padang rumput tempat tinggal si nenek dan Somiya. Kecewa dan marah dengan kenyataan yang dihadapi, Bayinbulag pun kembali ke kota dan melanjutkan pendidikan musiknya.
Setelah lebih dari 12 tahun di kota besar dan menyelesaikan pendidikan musik serta sukses menjadi musisi terkenal, Bayinbulag ternyata merasa belum menemukan kebahagiaan yang sejati. Bayinbulag belum bisa melupakan Somiya yang dicintainya dan karenanya berkeinginan untuk kembali ke padang rumput untuk menjumpai Somiya.
Setelah mencari beberapa waktu, Bayinbulag berhasil menjumpai Somiya yang telah memiliki 5 orang anak, hasil pernikahannya dengan seorang peternak setempat, yang juga teman main Bayinbulag semasa kanak-kanak. Sempat mempertanyakan kenapa Somiya justru memilih orang lain sebagai suaminya, Bayinbulag pada akhirnya dapat menerima kenyataan bahwa Somiya bukan jodohnya dan semua hal tersebut terjadi karena kesalahannya juga. Selama 12 tahun Bayinbulag tidak pernah mengirimkan kabar apapun, sementara Somiya yang tidak mengetahui keberadaan Bayinbulag tidak dapat hidup sendirian di padang rumput luas yang keras setelah sang nenek meninggal dunia, dua tahun setelah kepergian Bayinbulag. Apalagi saat itu Somiya juga harus membesarkan anak pertamanya, hasil persetubuhan paksa dengan preman setempat, yang masih balita.
Bayinbulag akhirnya juga dapat menerima kenyataan bahwa anak pertama Somiya ternyata kehilangan figur seorang ayah dan mendapatkannya dalam sosok Bayinbulag. Somiya menceritakan bahwa suaminya tidak menyukai si anak pertma karena bukan anak kandungnya dan karenanya kerap diperlakukan kasar. Untuk itu Somiya terpaksa berbohong kepada anak sulungnya bahwa ayah kandungnya adalah seorang musisi yang suatu saat akan datang menjemputnya dengan menunggang kuda hitam.
Seolah ingin menebus kekeliruannya meninggalkan Somiya selama lebih dari 12 tahun tanpa kabar, Bayinbulag tidak berkeberatan dirinya dijadikan figur seorang ayah bagi anak pertama Somiya. Ia pun bahkan menawarkan kepada anak pertama Somiya untuk sekolah di kota dan tinggal bersamanya.
Demikian cerita singkat dari film Mongolian Tale produksi Beijing Youth Film and Media Asia Films yang diputar di Cinema XXX Plaza FX Senayan tanggal 21 Mei 2016 guna mengawali rangkaian pemutaran film Tiongkok di Jakarta yang diselenggarakan atas kerja sama Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta, Pusat Film Negara (PFN) dan Red White Company.
Film ini diisutradara langsung oleh Prof. Xie Fei, seorang sineas kawakan dan professor perfilman asal Tiongkok yang telah menyutradarai berbagai film apik yang memenangi berbagai penghargaan internasional. Film Mongolian Tale sendiri adalah film produksi tahun 1995 yang meraih penghargaan dalam Motreal World Fim Festival berupa penghargaan sutradara terbaik untuk Xie Fei dan musik terbaik untuk Tengger (musisi asal Mongolia yang membuat soundtrack film ini dan berperan sebagai Bayinbulag dewasa). Cerita film ini sendiri diadopsi dari novel karya Zhang Chengzhi yang berjudul Black Seed (Zhang Chengzhi dalam film ini juga terlibat langsung sebagai penulis cerita).
Mengambil kawasan padang rumput di Mongolia Dalam (Tiongkok) dan Ulan Batoor (Mongolia) dan kehidupan nomaden masyarakat Mongolia sebagai latar belakang cerita, secara apik film ini berhasil menampilkan keaslian suasana kehidupan masyarakat Mongolia di tahun 1990-an. Gambar-gambar indah berupa suasana padang rumput yang luas muncul bergantian. Film ini juga berhasil menggambarkan suasana kehidupan masyarakat Mongolia yang sederhana dan damai, jauh dari bayang-bayang etnis Mongol jaman Jengis Khan. Digambarkan bagaimana masyarakat Mongol menghabiskan waktunya mengembala ternak dan mengelolanya menjadi makanan sehari-hari. Kehidupan nomaden digambarkan apik dengan latar belakang pergantian musim untuk menjelaskan alasan kenapa masyarakat Mongoia hidup nomaden.
Meski film ini bertemakan cinta, namun di film ini juga digambarkan suasana kehidupan sosial masyarakar Mongolia pada masa itu, dimana antara lain diceritakan bahwa anak perempuan tidak boleh sekolah seperti yang dialami Somiya kecil yang tidak bersekolah sehingga tidak bisa membaca dan menulis. Hanya Bayinbulag yang sekolah dan kemudian melanjutkan pendidikan ke kota. Digambarkan pula bagaimana si nenek memperlakukan anak angkatnya sama seperti anak atau cucunya sendiri. Si nenek tidak membeda-bedakan pengasuhan antara cucu sendiri dan anak angkat, semua diperlakukan dengan kasih sayang yang sama.
Secara keseluruhan penulis menilai bahwa film ini telah berhasil membawa misinya dengan baik untuk memperkenalkan masyarakat Mongol kepada dunia dan memberitahukan bahwa terdapat etnis Mongol di Tiongkok yang sebagian besar tinggal di kawasan Mongolia Dalam, untuk membedakannya dengan Mongolia sebagai sebuah negara berdaulat yang beribukota di Ulaaan Baator.
Penulis juga melihat keseriusan dari pembuat film dalam menggambarkan masyarakat Mongolia yang sesungguhnya seperti tampak dari penggunaan dialog dalam bahasa Mongolia sepanjang film, bahasa yang sebenarnya tidak dikuasai oleh sang sutradara Xie Fei dan juga masyarakat Tiongkok pada umumnya. Namun demi otentifikasi cerita, dialog dalam film sengaja dibuat dengan bahasa Mongolia. Bukan hanya itu, lebih dari 90% aktor dan aktris yang berperan dalam film ini juga berasal dari Mongolia.
Karena itu penulis juga menilai bahwa film Mongolian Tale telah berhasil merekam kehidupan suatu masyarakat Mongolia Dalam pada suatu masa dengan baik dan menjadikannya sebagai catatan sejarah yang kelak dapat disaksikan dan dipelajari oleh generasi berikutnya.
Penulis sependapat dengan perkataan Prof Xie Fei bahwa dalam membuat film, ingatlah itu sebagai warisan. Hasil karya yang bisa diputar berulang ulang tanpa batas waktu. Maka kerjakan (film) dengan sepenuh hati dan masukkan nilai-nilai dan budaya supaya generasi berikutnya memahami
Apresiasi juga layak ditujukan ke Zhang Chengzi sebagai penulis novel dan penulis cerita film yang telah sangat baik menuliskan deskripsi mengenai masyarakat Mongolia. Meski bukan berasal dari etnis Mongol, Zhang Chengzi yang berasal dari etnis Muslim Hui dengan rinci menuliskan catatannya mengenai kehidupan masyarakat Mongol. Bahkan untuk memperlihatkan keseriusannya dalam menyiapkan novel Mongolian Tale, Zhang Chengzi sampai belajar bahasa Mongol.
Di tengah situasi dan kondisi Tiongkok pada tahun 1994-1995, yang belum seterbuka seperti sekarang ini, tentunya bukan hal yang mudah bagi pembuat film untuk membuat gambar di kawasan Mongolia Dalam. Selain menghadapi kondisi alam yang nyaris dingin sepanjang tahun, pembuat film juga mesti mendapatkan ijin dari Beijing dan Ulaan Baator.
Namun seperti pepatah yang mengatakan tak ada gading yang tak retak, film ini juga banyak memiliki kelemahan. Kelemahan yang utama adalah minimnya informasi mengenai Mongolia Dalam dan tidak disebutkan nama kota besar dimana Bayinbulag bersekolah dan berkarir sebagai musisi, apakah Beijing (ibu kota Tiongkok( atau Ulaan baator (ibu kota Mongolia). Dengan tidak adanya keterangan semacam ini, bisa jadi banyak orang yang pada awalnya menduga bahwa film ini adalah bukan produksi perfilman Tiongkok, melainkan produksi perfilman Mongolia.
Leave a Reply