Belum lagi keputusan Pertemuan Informal Menlu ASEAN di Jakarta pada tanggal 22 Februari 2011 lalu sepenuhnya dilaksanakan, pertempuran kembali meletus di perbatasan Thailand dan Kamboja pada Jumat 22 April 2011. Dalam pertempuran sejak hari Jumat tersebut, diperkirakan 11 orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka.
Ketika bentrokan bersenjata kembali mencuat, seperti biasa, kedua belah pihak segera saling tuding mengenai siapa yang terlebih dahulu melakukan penyerangan. Menteri Pertahanan Kamboja menuduh bahwa Thailand melakukan serangan menggunakan peluru 75 dan 100 mm berisi gas beracun untuk menguasai candi Tamone dan Ta Krabei di wilayah Kamboja. Sementara Perdana Menteri Thailand, Abhisit Vejjajiva, menuduh Kamboja mencoba menginternasionalisasi konflik kedua negara. Thailand bersikeras bahwa perundingan bilateral merupakan langkah yang tepat untuk memulihkan perdamaian dan keterlibatan pihak luar tidak diperlukan.
Berulangnya bentrokan bersenjata ini tentu saja melecut kesadaran ASEAN bahwa langkahnya untuk menyelesaikan konflik secara damai belum memperlihatkan hasil. Komitmen Kamboja dan Thailand, seperti dinyatakan dalam Pernyataan Menlu ASEAN di Jakarta, untuk menghormati prinsip-prinsip dalam Treaty of Amity and Cooperation (TAC) termasuk penggunaan cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik, ternyata masih terbatas pada pernyataan di atas kertas. Keterlibatan tim observer Indonesia atas nama ASEAN di perbatasan Kamboja dan Thailand pun belum terwujud karena adanya penolakan dari pihak militer Thailand.
Menanggapi sikap militer Thailand yang menolak kehadiran tim observer Indonesia di daerah konflik, Menlu RI Marty Natalegawa, saat berkunjung ke Bangkok dalam rangka menghadiri Special Informal ASEAN Foreign Ministers’ Meeting on East Asia Summit (EAS), 10-11 April 2011, menyatakan kekecewaannya terhadap sikap Thailand yang menginginkan gencatan senjata namun menolak menerima kehadiran tim observer. Padahal kehadiran Indonesia sebagai Ketua ASEAN dibutuhkan sebagai mediator. Ditambahkan oleh Menlu RI bahwa mekanisme bilateral, multilateral dan internasional bisa saling menguatkan dan menciptakan situasi yang kondusif untuk penanganan isu tersebut. Namun pada akhirnya, penyelesaian isu tersebut tergantung pada kedua pihak terkait.
Bahwa pada akhirnya penyelesaian konflik akan sangat tergantung pada kedua pihak terkait merupakan suatu kenyataan yang tak terelakkan. Namun langkah Indonesia selaku Ketua ASEAN untuk melakukan pendekatan dan menghindari adanya kevakuman pada tingkat kawasan, yang membuka peluang intervensi langsung DK PBB, kiranya perlu dilanjutkan.
Indonesia sebagai Ketua ASEAN memiliki kapasitas untuk menyelesaikan konflik karena punya pengalaman sebagai penggagas dan tuan rumah Jakarta Informal Meeting (JIM) pada tahun 1988-1989 untuk menyelesaikan konflik antara Kamboja dan Vietnam. Pada saat itu Indonesia berhasil memfasiltasi dan memediasi kedua negara yang sedang bermusuhan untuk bisa duduk bersama-sama mendiskusikan dan menyelesaikan konflik diantara mereka. Hasilnya, Vietnam menarik pasukannya dari Kamboja dan situasi damai di Kamboja tercipta.
Belajar dari pola penyelesaian yang diterapkan saat JIM, pola yang sama bisa diterapkan kembali untuk kasus Thailand dan Kamboja dengan terus mengingatkan komitmen kedua negara menyelesaikan konflik secara damai. Diplomasi intensif perlu dilakukan guna lebih meyakinkan kedua belah pihak, khususnya militer Thailand, bahwa kehadiran tim observer Indonesia bukan dalam kerangka campur tangan eksternal terhadap negosiasi bilateral Kamboja dan Thailand. Kehadiran tim observer adalah dalam kerangka memediasi negosiasi sesuai dengan kerangka acuan yang disepakati kedua belah pihak.
Jika penyelesaian konflik dapat dilakukan pada tahun 2011 ini, setidaknya dicapai kesepakatan mengenai kerangka atau dasar-dasar penyelesaian konflik, maka hal ini akan menjadi keberhasilan tersendiri bagi ASEAN dalam mengelola dan menyelesaikan konflik territorial. Namun jika belum dapat diselesaikan pada tahun 2011 ini, maka pada tahun-tahun mendatang tampaknya akan lebih sulit mengingat yang akan mendapat giliran sebagai Ketua ASEAN 2012 adalah Kamboja. Bisa jadi pengalaman tahun 2009 akan berulang ketika ASEAN tidak bisa berbuat apa-apa saat meletus bentrokan bersenjata di perbatasan pada tahun 2008, karena adanya kecanggungan dari Thailand yang saat itu menjadi Ketua ASEAN.
Wah bakalan berabe nih, semoga konflik ini segera mereda dan berakhir dengan damai.
salam
Omjay
Perkembangan terakhir, Thailand-Kamboja sepakat utk kembali ke meja perundingan. Semoga semuanya bisa diselesaikan di atas meja.
tertanya masalah perbatasan negara tak hanya di indonesia saja ya. disana malah sudah adu senjata. semoga cepat damai.