Satu lagi
pejabat negara terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberatasan
Korupsi (KPK) pada Jumat malam 26 Februari 2021. Gubernur Sulawesi Selatan NA mengikuti
jejak mantan Menteri Sosial JB dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan EP, yang
sudah terlebih dahulu dicokok KPK.
OTT terhadap
NA seperti membuktikan kebenaran rendahnya indek persepsi korupsi (IPK)
Indonesia di tahun 2020 yang disusun oleh Transparency International. IPK
Indonesia sebesar 37 termasuk rendah (posisi ke 102 dari 180 negara yang
disurvei) dan IPK rendah menunjukkan bahwa negara tersebut memiliki risiko
kejadian korupsi yang tinggi.
Seperti
biasa, banyak orang yang kaget ketika seorang pejabat negara atau tokoh masyarakat
terciduk kasus korupsi. Banyak yang tidak pernah memperkirakan bahwa mereka
berani melanggar pakta integritas dalam sumpah jabatan dan nilai atau norma dalam
organisasi seperti 9 nilai anti korupsi dari KPK yaitu jujur, peduli, mandiri,
disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, berani dan adil.
Seperti
halnya pejabat negara dan tokoh masyarakat yang tertangkap kasus korupsi sebelumnya,
JB, EP dan NA adalah orang-orang penting dan terpercaya di lingkungannya. Bahkan
NA adalah seorang Profesor, sukses memimpin daerah ketika menjabat sebagai
bupati dan penerima penghargaan anti korupsi “Bung Hatta Award 2017”.
Berbagai alasan
dapat dikemukakan tentang mengapa orang-orang yang tadinya dipandang bersih pada
akhirnya terlibat kasus korupsi. Salah satu alasan yang mengemuka adalah karena
orang-orang tersebut tidak dapat mengelak dari praktek-praktek politik kotor dan
berbiaya tinggi di lingkungannya. “Politik itu kotor, bahkan malaikat yang
terjun ke politik pun akan menjadi kotor,” begitu kata seseorang.
Bahwa kepentingan
politik selalu menjadi kambing hitam tidak terlepas dari fakta bahwa seseorang
yang ingin menduduki jabatan politik tertentu mesti mengeluarkan biaya tinggi untuk
mendapatkan dukungan politik dari partai
dan suara dari konstituennya.
Setidaknya
ada dua penyebab politik biaya tinggi. Pertama, sistem rekrutmen dan promosi
oleh partai yang tidak berdasarkan kriteria keunggulan dan karena masyarakat
dibiasakan dengan iming-iming materi sejak memperkenalkan diri sampai meminta
dukungan suara. Kedua, terjebak nafsu
menaikkan status sosial dengan ukuran materi. Perubahan drastis nilai kekayaan
dan gaya hidup dijadikan sebagai ukuran kenaikan status.
Sejalan
dengan aktivitas politik berbiaya tinggi, sementara sang calon tidak memiliki
dana yang cukup, dan keinginan menaikkan status sosial maka hadirlah pihak
ketiga untuk memberikan “bantuan” dana. Dana bantuan yang tentu saja tidak
gratis. “No such free lunch,” kata orang Inggris. Ada “kewajiban” untuk mengembalikan
dana “bantuan.”
Karena adanya
kewajiban tersebut maka muncullah aksi “transaksional” antara calon pejabat negara/kepala
daerah dengan penyandang dana. Akibatnya sang pemimpin pun bisa tersandera
dengan segala tindakan transaksionalnya dan
janji-janji kampanyenya. Disinilah kemandirian dan integritas sang pemimpin pun
diuji untuk patuh atau sebaliknya. Ujian yang tidak mudah karena terjadi di
saat pendapatan resmi sebagai pejabat negara ternyata tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan politik biaya tinggi dan meningkatkan status sosialnya.
Tidak
mengherankan apabila kemandiran menjadi kata kunci. Pemimpin yang berintegritas
tidak dapat dibentuk tanpa kemandirian yaitu penguasaan akan dirinya secara
penuh dan terus menerus melakukan pembelajaran. Pemimpin adalah mereka yang
bisa memotivasi diri sendiri untuk menjadi sosok yang berintegritas.
“Self-mastery:
wrong is wrong even if everyone is doing it, right is right even if only you
are doing it,” begitu kata seorang teman saya yang sedang mengikuti Pelatihan
Kepemimpinan Nasional (PKN) di Jakarta.
Ia mengutip kata-kata pada presentasi dalam mata pelatihan “Integritas
Kepemimpinan.”
“Dengan penguasaan diri maka seorang
pemimpin mampu menjaga karakternya yang baik untuk senantiasa memegang teguh
prinsip-prinsip moral secara konsisten dalam berbagai situasi,” ujar teman yang sedang mengikuti PKN
tersebut dengan penuh semangat.
“Seorang pemimpin
yang berintegritas, yang antara lain ditandai dengan adanya karakter yang baik,
mestinya bisa menguasai diri dan memiliki kemampuan untuk mencegah tindakan korupsi
yaitu menyelewengkan atau menyalahgunakan uang negara untuk keuntungan pribadi
atau orang lain,” ujar teman saya.
“Tapi jangan
lupa, kita juga perlu sistem pencegahan korupsi yang benar. Misalnya kita perlu
menjatuhkan hukuman yang berat kepada terdakwa kasus korupsi sebagai efek jera.
Apalagi korupsi dilakukan pada saat pandemic Covid-19. Kalau perlu hukum mati
seperti kata Wakil Menteri Hukum dan HAM,” tambah teman saya lagi.
Saya sependapat
dengan apa yang disampaikan di atas. Sebagus apapun sistem pencegahan korupsi
dibangun, keberhasilannya tidak akan maksimal jika tidak diikuti dengan penguasaan
diri (self-mastery) atau kemandirian yang baik dari seorang pemimpin.
Seperti kata
seorang politisi di Amerika Serikat, James E. Faust (1920 – 2007), kemandirian merupakan tantangan tersendiri
bagi setiap individu. Penguasaan diri adalah mengerjakan hal-hal yang semestinya
kita lakukan, bukan mengerjakan hal-hal yang semestinya tidak kita lakukan.
Nah kalau anda sebagai seorang pemimpin
bisakah anda bersikap mandiri sehingga tidak tersandung seperti EP, JB dan NA?
Leave a Reply