Siang itu, bersama adik, kami baru saja pulang dari sekolah di Sekolah Dasar Mutiara. Penuh senyum, ibu menuggu di depan pintu. “ayo cepat ganti pakaian dan makan, nanti ibu kupaskan mangga untuk kalian”, ujar ibu kemudian.
Kami berdua pun bergegas berganti pakaian dan segera ke meja makan. Di atas meja tampak sebakul nasi, beberapa potong tahu goreng, ikan asin dan oseng-oseng kangkung, serta tentu saja buah mangga seperti yang dikatakan ibu. Dua buah mangga yang cukup besar dan belum dikupas. Meski berkulit hijau, saya bisa menebak isinya pasti kuning dan manis.
“Ibu tadi beli di pasar, ditempatnya bu Rah. Ibu beli dua untuk kamu dan adikmu”, tanpa ditanya ibu menjelaskan mengenai mangga di atas meja makan, seolah menjawab keheranan kami berdua. O ya bu Rah adalah tetangga kami yang berjualan sayur mayur dan buah di pasar kaget di daerah tempat kami tinggal.
“Jangan terburu-buru makannya, nanti keselek”, kata ibu lagi
“Enggak kok bu, cuma ingin cepat-cepat aja makan mangga”, ujarku
“ah kamu itu Her, kayak enggak pernah makan mangga selama setahun aja”, timpal ibuku
Saya selalu tersenyum setiap kali mengingat percakapan-percakapan ringan seperti di atas. Percakapan ringan yang membuat hari-hari kami begitu indah dan ceria. Pulang sekolah rasanya plong tanpa beban pertanyaan dari ibu mengenai pelajaran di sekolah dan sebagainya.
Ibu saya bukannya tidak peduli dengan sekolah kami sehingga tidak mau bertanya tentang pelajaran di sekolah. Tapi saya yakin ibu justru tahu kalau setiap pulang sekolah kami pasti lelah, sehingga perlu makan dan istirahat sejenak tanpa harus dibebani kembali dengan urusan sekolah.
Selesai makan, sambil mengupas mangga yang isinya memang kuning, barulah ibu menanyakan keadaan kami waktu di sekolah. Kami pun kemudian bercerita tentang pelajaran di sekolah, tentang bagaimana kami ditegur guru karena lupa bawa buku pekerjaan rumah, tentang baju kami yang kotor karena terjatuh saat bermain bola di lapangan di dekat sekolah atau tentang teman kami yang ditegur guru karena ketahuan membolos.
Sambil mendengarkan semua cerita kami, ibu terus mengupas mangga dan membagikan potongan-potongan mangga kepada kami. Sesekali ibu menghentikan kupasannya dan menanggapi cerita kami. Yang menarik, setiap kali mengupas mangga, kulit mangga jarang sekali putus hingga panjang. Kupasan kulit mangga yang tidak terputus itu terkadang kami kalungkan di leher seperti mengalungkan pita.
Nach cerita soal mangga, harus diakui bahwa ibu saya memang pandai memilih mangga. Beliau tahu mana mangga yang manis dan asam, beliau juga tahu mana mangga yang banyak seratnya dan mana yang tidak. Karena itu setiap kali disuapi potongan mangga, kami tidak pernah protes karena kami tahu mangganya pasti manis. Kalaupun ada bagian yang sedikit busuk, ibu akan menyingkirkannya. Ibu juga selalu adil membagi biji mangga untuk kami grogoti. Karena kami berdua, ibu selalu membeli mangga setidaknya dua buah. Belakangan, ketika kedua adik saya yang lain lahir, ibu membeli mangga paling sedikit empat buah.
Bertahun-tahun kemudian, ketika saya kuliah dan mesti kost di Depok ataupun ketika sudah bekerja dan merantau ke luar negeri, saya masih sering teringat dengan kupasan kulit mangga ibu. Setiap kali melihat seorang wanita mengupas kulit mangga, apalagi tanpa putus, saya teringat ibu saya. Ingat senyumnya yang tulus, belaiannya yang hangat dan tutur katanya yang membuat saya bisa melangkah seperti sekarang ini.
Sekarang, ketika melihat saya tersenyum saat menyaksikan seorang wanita mengupas mangga, saya yakin ibu juga sedang tersenyum bahagia dari atas sana. Selamat beristirahat ibu, doa kami di setiap sholat senantiasa menyertaimu. Kami tahu, doa kami belum cukup membalas kebaikanmu. “Seperti udara … kasih yang engkau berikan, tak mampu ku membalas ,,, ibu, Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu, Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu”, sayup-sayup suara Iwan Fals terdengar dari radio di ruang kerja seorang rekan saya.
Selamat hari ibu untuk para ibu di Indonesia dan dimanapun berada.
Beijing, 22 Desember 2011.
Cerita yang sangat mengharukan
semoga sang ibunda tercinta bisa ditrima disisi-Nya
amin..
saya setiap milih mangga selalu ada yang asem, nggak pernah bener.
Mestinya saya harus banyak belajar sama ibunya mas aris nih hehehehe…..
@Baju Bali, terima sudah mampir dan doanya :)
@Rawi, hehehehe, tks sudah mampir
kulit mangga bermakna cinta, usapan jemari ibu tanpa pamrih, serat dan guratan menerjang hidup, kasih yang mulia bagi anak-anaknya…
Kalau ibuku bukan kulit mangga, tapi kulit apel yang gak pernah putus waktu ngupasnya. Rasanya jadi kepengin lagi dikupasin apel ama ibuku.