“Silahkan Pak dipilih kambing yang
hendak dipotong,” ujar salah seorang panitia kurban IdulAdha 1441H setelah menerima
kwitansi pembayaran hewan yang kusodorkan.
Seperti tahun-tahun lalu, kali ini
akupun menyerahkan urusan kurban ke panitia di masjid yang dekat tempat
tinggalku. Transaksi pembelian kambing telah kulakukan kemarin, sehingga hari
ini aku cukup menyerahkan kwitansi sebagai bukti kepemilikan kambing yang akan
dikorbankan.
Tidak memerlukan waktu lama akupun
segera menunjuk seekor kambing jantan putih dengan sedikit bercak hitam di kepala
dan badan. Kambing tersebut berukuran sedang dan terlihat sangat sehat.
“Jangan khawatir pak, semua kambing yang
akan dikorbankan berjenis kelamin jantan,” jelas si panitia
“Ayah, Kenapa yang dikorbankan mesti hewan
jantan?,” tanya putraku yang ikut mendampingi ke tempat pemilihan kambing dan
sekaligus tempat pemotongan
“Dalam berkorban kita harus ikhlas dan
diniatkan untuk kepentingan bersama dan jangan sampai merugikan orang banyak,
salah satunya menjaga kelestarian hewan. Hewan korban sebaiknya berkelamin
jantan agar tidak terjadi kelangkaan bibit hewan,” jawabku
“Coba bayangkan, apabila semua atau kebanyakan
hewan korban adalah betina, apalagi yang masih usia produktif, maka bisa
terjadi pengurangan bibit atau indukan hewan secara besar-besaran. Karena seperti
yang diketahui bersama, setiap hari raya kurban, jutaan hewan ternak berkaki
empat di seluruh dunia dikorbankan,” jelasku lebih lanjut
“Wah ternyata memilih hewan korban tidak
sesederhana yang dibayangkan ya Yah. Bukan sekedar memilih hewan untuk
dipotong. Ternyata memilih hewan korban pun mesti mempertimbangkan jenis
kelamin dan akibatnya,” ujar putraku
Aku hanya tersenyum mendengar komentar
putraku sambil melihat kambing yang kupilih dituntun ke tempat pemotongan. Kambing
tersebut terus mengembik dengan cukup keras. Sepertinya ia memahami bahwa nyawanya
akan berakhir sesaat lagi.
Setiba di tempat pemotongan, tukang
jagal segera menggeletakkan kambing tersebut dengan posisi kepala diletakkan
atas sebuah lubang. Sesekali kambing tersebut masih mengembik. Tidak lama
kemudian, tukang jagal menempelkan pisau tajam di leher kambing lalu
memotongnya. Darah segar mengucur dan menetes membasahi tanah di lubang yang
sudah disiapkan. Suara mengembik perlahan senyap menyusul lunglainya kepala
kambing.
Saat tukang jagal memegang pisau potong
lalu menempelkannya di leher kambing yang akan disembelih, saya membayangkan
peristiwa sekitar 4200-an tahun lalu. Suatu peristiwa dimana Nabi Ibrahim AS dihadapkan
pada ujian berat untuk mematuhi perintah Allah SWT. Ujian tersebut adalah harus
menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Ismail adalah putra Ibrahim dari
perkawinannya dengan Siti Hajar yang kehadirannya sudah lama ditunggu-tunggu.
Sempat mengalami gejolak batin yang luar
biasa, namun sertelah bermusyawarah dengan keluarga dan dengan penuh keyakinan
akhirnya Ibrahim melaksanakan perintah Allah SWT. Ismail sebagai anak yang
sholeh mematuhinya dengan penuh keikhlasan. Sementara Siti Hajar dengan penuh
kesabaran mematuhi perintah Allah SWT kepada suaminya. Sebagai seorang ibu yang
melahirkan dan membesarkan Ismail di suatu tempat yang gersang, ia paham betul
makna kesabaran. Namun kali ini kesabarannya diuji ketingkat yang jauh lebih berat.
Dihadapkan pada ujian Allah SWT yang sedemikian
berat tersebut, Ibrahim dan keluarga berhasil melewatinya dengan sempurna. Keluarga
Ibrahim berhasil menunjukkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Tidak
mengherankan apabila Ibrahim kemudian mendapat sebutan sebagai “Kekasih Allah”
dan kisah keluarganya hingga kini diperingati dan menjadi mutiara hikmah kehidupan
bagi umat manusia.
Kini di tengah pandemi global Covid-19, dengan
segala keterbatasan ruang gerak karena kekhawatiran tertular virus korona, umat
manusia seperti diingatkan untuk senantiasa memelihara kepatuhan, kesabaran dan
keikhlasan. Patuh terhadap himbauan untuk menjaga jarak dan menjaga kebersihan anggota
tubuh dengan antara lain rajin mencuci tangan. Sabar dan ikhlas untuk
melaksanakan semua himbauan tersebut.
Mengenai hal tersebut, aku merasakannya
sendiri. Khawatir menjadi tempat penyebaran virus, masjid-masjid di sekitar
tempat tinggalku tidak menggelar sholat IdulAdha berjamaah di masjid dan
lapangan seperti tahun-tahun sebelumnya. Adapun satu dua masjid yang mengelar
sholat berjamaah menerapkan protokol kesehatan yang ketat misalnya dengan melakukan
pengaturan shaf dengan jarak tertentu dan pengecekan suhu tubuh.
Pada saat pemotongan hewan korban, aku
melihat panitia kurban membatasi warga yang ingin menyaksikan pemotongan hewan korban.
Warga tidak diperkenankan berkerumun. Hanya mereka yang berkurban saja yang
diperkenankan mendekat, itupun dilakukan secara bergantian.
Karena itu IdulAdha tahun ini terasa
sekali menjadi momentum yang tepat untuk meneladani perilaku keluarga Nabi
Ibrahim AS dan kembali mendekat ke Allah SWT. IdulAdha menjadi momen tepat
untuk menahan diri, menyembelih nafsu keserakahan, menghilangkan sikap egois,
membuang sikap yang tega mengorbankan orang lain dan menghapuskan tindakan yang
menghalalkan segala cara.
Dalam Islam, untuk mendekat ke Allah SWT
tentu saja tidak cukup dengan ritual kurban semata, namun perlu juga diikuti dengan
amalan yang lain yaitu, shalat, infak, dan sedekah, serta membutuhkan
keikhlasan hati dalam pelaksanannya.
Dalam kaitannya dengan sila pertama “Ketuhanan
Yang Maha Esa,” aku paham bahwa para ulama sering mengatakan bahwa ibadah
kurban seseorang tidak akan sampai kepada Allah jika tidak dilandasi oleh
ketakwaan kepada-Nya. Allah tidak akan melihat kepada kecantikan atau
ketampanan seseorang tetapi Allah SWT hanya akan melihat kepada hati dan
perbuatan/amal seseorang.
Sementara itu, dari sisi yang lain yaitu
dari sisi seorang warga negara Indonesia, dimana Indonesia memiliki Pancasila
sebagai dasar negara dan pandangan hidup berbangsa dan bernegara, aku berpandangan
bahwa semua nilai-nilai Pancasila sejatinya juga terekam dalam ritual kurban.
Dalam hal “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,”
aku menyaksikan bahwa terdapat praktik bagi adil dalam hal pembagian daging
kurban oleh panitia atau takmir masjid. Setiap orang akan mendapat porsi yang
sama masing-masing satu paket dengan berat relatif berdasarkan perbandingan
jumlah hewan kurban dan data jumlah calon penerima.
Bagi mereka yang berkurban, dia masih
akan mendapat jatah khusus. Ada yang memberikan atau mengembalikan kepala
kambingnya ke pemilik, ada yang memberikan bagian lainnya. Bagi yang berkurban
mendapat jatah dua porsi yaitu jatah umum dan jatah pemberi kurban. Ini namanya
bagi adil.
Lalu bagaimana kaitannya dengan sila “Persatuan
Indonesia”? Mengenai persatuan, para ulama selalu mengingatkan bahwa kebersamaan
atau persatuan itu sangat diutamakan dalam Islam dengan ungkapan jangan
bercerai berai. Seperti bunyi firman Allah dalam QS Ali Imran 103: ”Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu”.
Lebih lanjut para ulama juga
mengingatkan bahwa Rasulullah mengisyaratkan agar pemotongan hewan kurban
dilaksanakan bersama-sama (bergotong royong) sehingga tidak perlu diberi upah.
Lalu dimana nilai musyawarah seperti disebutkan
dalam sila keempat? Kembali para ulama mengingatkan bahwa musyawarah
mencari mufakat untuk menentukan langkah kerja bersama merupakan inti pokok
ajaran Islam. Dalam musyarah, mereka tidak pernah memutuskan sesuatu urusan
melainkan terlebih dahulu mereka musyawarahkannya di antara sesamanya agar
masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya.
Bermusyawarah ini sudah dicontohkan oleh
Nabi Ibrahim AS. Ketika akan melaksanakan perintah Allah menyembelih Nabi
Ismail AS, Nabi Ibrahim AS mengadakan diskusi (musyawarah) dengan ahli
keluarganya terlebih dahulu.
Dalam konteks kekinian, pelaksanaan IdulAdha
juga sarat dengan musyawarah. Hal ini tercermin dalam musyawarah rencana
pembelanjaan hewan kurban, rencana pembentukan tim kerja/penyembelihan sampai
dengan pemrosesan daging, dan penentuan siapa-siapa yang akan diberi daging
kurbannya.
Terakhir, bagaimana dengan sila keadilan
sosial? Seperti uraian di atas, pembagian daging hewan kurban, dibagikan secara
adil dan merata yaitu semua mendapat jatah yang sama sesuai dengan porsinya,
misalnya bagi yang berkurban mendapat jatah lebih banyak maksimal seperti tiga
dari daging kurban.
Dalam realitas kehidupan keseharian, sila
kelima Pancasila menjadi sila yang paling ditunggu-tunggu pencapaiannya oleh
seluruh masyarakat Indonesia. Namun tanpa gorong royong yang solid maka realisasi
keadilan sosial akan jauh panggang dari api.
“Ayah, pemotongan kambingnya sudah
selesai. Yuk pulang,” tiba-tiba putraku membuyarkan lamunanku
“Oh iya … yuk kita pulang,” jawabku
Tanpa menunggu lama, kamipun segera berpamitan
ke panitia kurban dan kemudian melangkah menuju tempat parkir kendaraan.
Leave a Reply