Awal hingga pertengahan tahun 1970-an merupakan masa-masa sulit bagi jurusan Bahasa Indonesia di Univeristas Peking, Beijing, Tiongkok. Sejak terjadinya pemutusan hubungan diplomatik RI-RRT pasca pemberontakan G30S/PKI di Indonesia tahun 1965, jumlah mahasiswa yang mendaftar dan belajar di salah satu universitas ternama dan tertua di Tiongkok tersebut terus menurun dan universitas pun kesulitan mendapatkan referensi bahan pengajaran mengenai Indonesia. Karena itu banyak yang kemudian menyarankan agar jurusan Bahasa Indonesia dihapuskan.
Di tengah situasi sulit tersebut tampil sosok Prof. Liang Liji. salah seorang Huaqiao asal Bandung, Jawa Barat dan tenaga pengajar pada jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Peking. Ia tidak sependapat dengan rencana penutupan jurusan Bahasa Indonesia dengan alasan bahwa universitas tidak bisa begitu saja menutup jurusan tersebut hanya karena adanya pemutusan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Memang pemutusan hubungan diplomatik RI-RRT telah mengakibatkan penurunan minat mahasiswa untuk belajar Bahasa Indonesia dan kesulitan mendapatkan referensi, tetapi bukan berarti Bahasa Indonesia tidak diperlukan di Tiongkok.
Dijelaskan oleh Prof. Liang Liji bahwa Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara dan terbesar kedua di Asia Timur setelah Tiongkok, jika pengajaran Bahasa Indonesia dihapuskan, maka saat hubungan RI dan RRT membaik dalam 10, 20 atau 30 tahun ke depan, Tiongkok tidak akan memilliki persiapan yang memadai untuk membina hubungan bilateral dengan Indonesia. Mendengar penjelasan tersebut dan setelah melakukan beberapa kali pertemuan serta mempertimbangkan segala sesuatunya maka kemudian diputuskan untuk tidak jadi menutup jurusan Bahasa Indonesia.
Cerita mengenai perkembangan pengajaran Bahasa Indonesia di Universitas Peking tersebut disampaikan Prof. Liang Liji saat berbincang-bincang dengan penulis di sela-sela acara Panggung Gembira Peringatan HUT Kemerdekaan ke-67 RI dan halal bihalal yang diselenggarakan di halaman KBRI Beijing pada tanggal 19 Agustus 2012.
“Bahasa adalah faktor penting dalam mempelajari dan memahami hubungan antar negara. Saya beruntung bisa mempelajari hubungan Indonesia-Tiongkok karena saya menguasai kedua bahasa tersebut dengan baik,” ujar lulusan Fakultas Bahasa Timur, Universitas Peking tahun 1954 ini dalam Bahasa Indonesia yang bagus tanpa terdengar aksen Mandarin seperti halnya masyarakat Tiongkok yang baru belajar Bahasa Indonesia.
“Saya lahir tahun 1927 di Bandung dan dibesarkan disana pada masa jaman penjajajahan Belanda, Jepang, masa revolusi dan awal kemerdekaan Indonesia. Saya menyaksikan Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945?, ujar Prof. Liang Liji. “Saya masih ingat, saat itu kebanyakan anggota masyarakat Indonesia setiap kali berpapasan dengan orang lain dengan penuh semangat mengacungkan dan mengepalkan tangannya sambil berteriak ‘MERDEKA !’. Orang yang disapa pun menjawab dengan semangat ‘TETAP ! (merdeka)”, kenangnya mengenai suasana kemerdekaan di Indonesia.
Pada usia yang tidak lagi muda, 85 tahun, penuturan Prof. Liang Liji masih sangat jelas dan pengucapan kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang disampaikannya pun masih bagus meski ia dan keluarganya sudah meninggalkan Indonesia sejak tahun 1950 atau sudah 62 tahun yang lalu.
Sambil menyantap bakso Malang dan minuman es blewah kami pun berbincang-bincang akrab mengenai hubungan bilateral RI-RRT yang menurut sejarahnya sudah dimulai sejak 2.000 tahun lalu. Sebagai akademisi yang bergelar profesor, peneliti, ahli bahasa Indonesia dan penulis buku setebal 600 halaman berjudul “Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis: 2.000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia” terbitan Kompas Penerbit Buku, Prof. Liang Liji memahami betul sejarah hubungan Indonesia-Tiongkok sejak awal.
Dikemukakan oleh Prof. Liang Liji bahwa hubungan Indonesia-Tiongkok sebenarnya bisa ditelusuri sejak 2.000 tahun lalu yang dimulai sejak dibukanya jalur sutra laut di jaman Dinasti Han (206 SM-220 M). Dari referensi kita-kitab sejarah Tiongkok kuno yang dipelajarinya, terlihat adanya kontak antara Tiongkok dan kerajaan-kerajaan tempo dulu di wilayah yang sekarang di kenal sebagai Indonesia.
Oleh karena itu menurut Prof. Liang Liji, kebekuan hubungan Indonesia-Tiongkok akibat pemutusan hubungan diplomatik tidak mesti diikuti dengan pemutusan hubungan sosial dan budaya antar anggota masyarakat kedua negara. Kedua belah pihak bisa menjalin hubungan dengan baik dengan mendasarkan pada unsur-unsur persamaaan dan persahabatan, bukan perbedaan, apalagi perselisihan. Dan salah satu faktor penentu yang dapat mendekatkan hubungan antar masyarakat dan negara adalah bahasa.
Karena itu pula untuk selalu menjaga hubungan Indonesia-Tiongkok dipandang perlu untuk tetap menghidupkan program pengajaran bahasa Indonesia di Tiongkok di saat terjadinya kebekuan hubungan diplomatik. Salah satu cara untuk mengisi kekosongan tersebut adalah dengan melakukan penyusunan kamus Bahasa Indonesia-Tiongkok. Usulan tersebut disampaikan Prof. Liang Liji kepada pihak universitas dan pemerintah RRT. Setelah disetujui, proyek pembuatan kamus menjadi proyek dan tanggungjawab bersama staf jurusan bahasa Indonesia. Berkat kerja keras tim, maka kamus tersebut dapat diselesaikan pada tahun 1988.
Insting Prof. Liang Liji bahwa hubungan Indonesia-Tiongkok psca pemutusan hubungan diplomatik suatu saat akan membaik kembali mulai terbukti ketika pada tahun 1985 ia diundang oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (P3BI) untuk menghadiri Kongres Bahasa Indonesia di Jakarta. Suatu undangan yang tentu saja disambut antusias oleh Prof.Liang Liji dan para koleganya di Universitas Peking.
Segera Prof. Liang Liji dan anggota rombongan lainnya mempersiapkan diri dan pergi ke Hong Kong untuk mendapatkan visa dari Konsulat Jenderal RI disana. Permasalahan timbul, meski ia sudah memegang surat undangan dari P3BI, namun ternyata belum ada ijin dari pihak aparat keamanan RI sehingga Konsulat Jenderal Ri di Hong Kong pun tidak berani memberikan visa.
“Saat itu saya sempat ragu-ragu, apakah saya bisa ke Indonesia atau tidak”, begitu dikemukakan Prof. Liang Liji. “Beruntung, setelah kontak secara terus menerus dengan Kepala P3BI Prof. Anton Moeliono, akhirnya diperoleh jaminan bahwa permohonan visa saya dikabulkan dan saya pun bisa menghadiri Kongres Bahasa Indonesia”, tambahnya.
Di tengah kondisi hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok yang masih membeku, kehadiran delegasi Tiongkok dari Universitas Peking pada Kongres Bahasa Indonesia di Jakarta tentu saja menarik perhatian. Menurut Prof. Liang Liji banyak peserta kongres yang menanyakan hal-hal di luar kebahasaan seperti yang ditulis dalam makalah yang mereka bawakan, seperti kondisi dalam negeri di Tiongkok.
Sedangkan mengenai kebahasaan, salah satu pertanyaan yang mengemuka dan menjadi pembahasan hangat pada saat itu adalah mengenai istilah Cina dan Tiongkok. Banyak peserta yang mempertanyakan alasan kenapa Pemerintah RRT lebih suka menggunakan istilah Tiongkok dibanding Cina. Pertanyaan tersebut muncul karena banyak yang mengira bahwa Pemerintah RRT ingin menghilangkan stigma negatif dari masyarakat Indonesia terhadap masyarakat etnis keturunan yang berasal dari Tiongkok.
Menanggapi pertanyaan tersebut di atas, Prof. Liang Liji mengemukakan bahwa penggunaan istilah Tiongkok sebenarnya tidak ada kaitannya dengan sentimen negatif atau isu rasialisme di Indonesia. Istilah Tiongkok muncul jauh sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Istilah Tiongkok berasal dari bapak revolusi Tiongkok Dr. Sun Yat Sen pada tahun 1921 yang ingin mempersatukan suku-suku bangsa yang bermukim di wilayah negara Republik Tiongkok yang baru berdiri pada tahun 1911 menggantikan negara kerajaan dibawah Dinasti Qin.
Seperti halnya Indonesia, di Tiongkok pun masyarakatnya beragam dan terdiri dari banyak suku bangsa seperti Han, Man, Mongol, Hui, Tibet dan suku-suku minoritas lainnya. Agar bisa bersatu dalam satu negara diperlukan suatu identitas bersama yang tidak membedakan antar suku mayoritas maupun minoritas. Untuk itu oleh Dr. Sun Yat Sen dimuncukan istilah “bangsa Tiongkok atau Tionghoa”, suatu istilah yang merujuk pada gabungan dari suku bangsa Han, Man, Mongol, Hui, Tibet dan suku-suku minoritas lainnya yang bermukim di wilayah Republik Tiongkok. Istilah tersebut juga untuk membedakan dengan masa kerajaan Cina di bawah Dinasti Qin yang berasal dari suku bangsa Man. Dalam kerangka yang lebih luas, penggunaan istilah Tiongkok sebenarnya juga merujuk pada semangat kebebasan, demokrasi dan semangat kesatuan berbangsa dan bernegara tanpa membedakan suku bangsa. Dengan semangat ini kita dapat memahami kenapa Mao Zedong tidak menggunakan sebutan Republik Cina ketika memproklamasikan negara Republik Rakyat Tiongkok (Zhonghua Renmin Gongheguo) pada tahun 1949.
Kunjungan delegasi Universitas Peking ke Indonesia pada tahun 1985 tersebut membawa kesan yang mendalam bagi anggota delegasi, khususnya Prof. Liang Liji. Karena sejak itu kontak-kontak antar anggota masyarakat Indonesia dan Tiongkok terus meningkat, baik melalui pendekatan ekonomi, sosial maupun buaya. Puncaknya adalah pembukaan kembali hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok pada tahun 1990.
Atas usaha Prof. Liang Liji untuk mempertahankan pengajaran Bahasa Indonesia di Tiongkok dan upayanya membuka hubungan dengan pihak-pihak di Indonesia, maka banyak orang yang kemudian memberikan julukan kepada Prof. Liang Liji sebagai “Duta Masyarakat yang menjembatani Indonesia-Tiongkok”. Sementara itu, guna memberikan apresiasi terhadap upaya yang dilakukan Prof.Liang Liji, KBRI di Beijing sendiri yang pada tahun 2006 telah memberikan penghargaan kepada Prof.Liang Liji atas jasanya dalam upaya turut meningkatkan hubungan dan kerjasama RI-RRT.
Seperti dituturkan kepada penulis, Prof. Liang Liji tentu saja ia merasa senang segala jerih upaya dan karyanya diakui banyak pihak. Ia berharap di masa depan hubungan Indonesia-Tiongkok akan semakin meningkat menuju titik-titik kulminasi yang jauh lebih tinggi, apalagi kedua negara telah menjalin kemitraan strategis sejak tahun 2005. Kedua negara memiliki kedudukan yang sama sebagai negara besar di kawasan dan di Asia. Kedua negara pun tidak memiliki klaim tumpang tindih wilayah, baik di daratan maupun di lautan. Relasi kemitraan yang erat dengan mendasarkan pada unsur-unsur persamaaan dan persahabatan, bukan perbedaan, apalagi perselisihan, di antara keduanya akan menciptakan stabilitas kawasan dan memberikan kontribusi bagi kemajuan global.
Mengakhiri percakapan, saya menanyakan satu pertanyaan sederhana mengenai keinginan Prof. liang Liji berikutnya. Dengan senyum ia kemukakan bahwa jika memungkinkan ia ingin segera menerjemahkan beberapa karyanya yang lain yang ditulis dalam bahasa Mandarin ke dalam bahasa Indonesia seperti kumpulan 100 puisi jaman Dinasti Tang. Menurutnya puisi-puisi tersebut memiliki nilai sastra yang tinggi dan indah yang layak dipelajari dan diketahui oleh masyarakat Indonesia agar lebih mengenal kesusastraan dan budaya Tiongkok
Leave a Reply