Libya, Irak Jilid Dua

Pemimpin Libya Kolonel Moammar Gadhafi nampaknya tinggal menunggu waktu untuk turun dari panggung kekuasaan setelah pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan militer yang diberi nama Operasi Odyssey Dawn ke Tripoli dan sekitarnya pada hari Sabtu (19/03). Pada serangan awal ini, AS dan Inggris menembakkan sekitar 112 rudal dari kapal-kapal perang dan selamnya ke berbagai sasaran pertahanan udara Libya.

Operasi Odyssey Dawn ini merupakan tindaklanjut dari resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) nomor  1973 (2011) yang memberikan persetujuan terhadap wilayah larangan terbang di Libya. Dalam resolusi yang disetujui 10 negara anggota DK PBB dan 5 negara abstain (Brazil, China, Jerman, India, dan Rusia)  terdapat elemen-elemen terkait yaitu penguatan embargo senjata, penyitaan aset-aset, perlindungan terhadap warga sipil, pengupayaan gencatan senjata, serta mengijinkan “semua tindakan seperlunya” untuk melindungi tempat-tempat sipil.

Dalam bahasa yang lebih lugas, Direktur Staf gabungan Pentagon Laksamana Madya William E. Gortney, mengungkapkan bahwa tujuan Operasi Odyssey Dawn adalah untuk mencegah serangan pasukan Moammar Ghadafi terhadap pasukan pemberontak dan warga sipil; dan melemahkan kemampuan militer Libya agar tidak bisa menghambat pemberlakuan wilayah larangan terbang di Libya.

Menanggapi resolusi DK PBB dan aksi pasukan multinasionalt, Pemimpin Libya Moammar Gadhafi menolak mentah-mentah tindakan tersebut. Ia mengatakan bahwa pihaknya tidak akan membiarkan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah terjadi di wilayahnya. Guna memnghadapi pemberontak dan serbuan pasukan multinasional,  Gadhafi telah mempersenjatai warganya dengan senjata otomatis, mortar dan bom serta menjanjikan perang yang berkepanjangan.

Namun seperti halnya Saddam Hussein yang tidak mampu bertahan lama setelah digempur habis-habisan oleh pasukan multinasional karena tuduhan akan kepemilikan senjata pemusnah massal, Kolonel Moammar Ghadafi pun tampaknya tidak akan bertahan lama bila para pemberontak dibekali senjata lengkap oleh Barat dan kedudukan pasukan Ghadafi terus digempur oleh pasukan multinasional.

Jika Moammar Ghadfi jatuh, dapat dibayangkan nasibnya akan sama dengan Saddam Hussein yang tewas dihukum mati. Negerinya pun akan bernasib sama dengan Irak. Libya pun akan berantakan dan ladang-ladang minyak yang ditinggalkan akan menjadi rebutan negara-negara Barat.

Namun dari pemberitaan sejauh ini, Ghadafi nampaknya masih memiliki sedikit keberuntungan, jika ini dapat dikatakan sebagai keberuntungan, karena aksi pasukan multinasional ke Libya belum mendapat dukungan penuh negara-negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Beberapa negara anggota NATO mengindikasikan bahwa negaranya tidak akan berpartisipasi di Libya karena sebagian besar pasukan internasionalnya sedang ditempatkan di Afghanistan. Tanpa bantuan penuh NATO, maka pasukan multinasional “hanya” akan tergantung sepenuhnya pada pasukan AS, Inggris dan Perancis.

Sekarang kita tunggu berapa lama Kolonel Moammar Ghadafi dapat bertahan dari gempuran militer dan bagaimana masa depan Libya dibawah pengendalian pasukan multinasional? Waktu lah yang akan menjawabnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *