Tanggal 18 September, selalu diingat oleh masyarakat China sebagai sejarah kelam dan masa kegelapan sejarah China modern. Pada tanggal 18 September 1931, 81 tahun yang lalu, tentara pemerintah Jepang melakukan invasi ke wilayah timur China yang dikenal sebagai Manchuria. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Insiden Manchuria atau Insiden 18 September ini dikenal sebagai awal dari pendudukan tentara Jepang di China dan pembentukan negara boneka Machukuo 6 bulan kemudian. Insiden Manchuria ini juga menjadi tanggal penting yang menandai ambisi Jepang untuk memperluas kekuasaannya di Timur Jauh pada tahun 1930an dan awal 1940an.
Saat itu Pemerintah China di bawah pimpinan Chiang Kai-Shek dan Zhan Xueliang tidak dapat berbuat terlalu jauh untuk mencegah dan melawan invasi tentara Jepang. Selain lemah, kekuatan militer Pemerintah China pada saat itu, juga terbelah perhatiannya pada upaya memerangi kekuatan Partai Komunis.
Kini, 81 tahun kemudian, China bukan lagi negara yang lemah secara ekonomi dan militer. Secara ekonomi, China adalah dengan negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS. Secara militer, Tentara Pembebasan Rakyat China merupakan tentara dengan kekuatan terbesar di dunia dengan personil sekitar 3 juta orang dan tentara cadangan aktif sekitar 2,25 juta orang. Kekuatan militer tersebut tersebar di Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Korps Artileri Kedua (Pasukan Peluru Kendali Strategis) serta Pasukan Cadangan.
Dengan kondisi yang berbeda 360 derajat dibandingkan 81 tahun lalu, tidak mengherankan jika langkah Pemerintah Jepang untuk mengklaim Kepulauan Diaoyu yang dianggap milik China justru dibalas gertakan yang tidak kalah kerasnya. Pernyataan tegas dikeluarkan oleh pejabat-pejabat Pemerintah China mulai dari Presiden, Perdana Menteri hingga Menteri Luar Negeri. Pemerintah Jepang diminta untuk tidak bermain-main dengan kepemilikan Diaoyu atau siap menanggung segala resiko yang mungkin terjadi.
Tidak mengherankan pula jika pada pekan-pekan terakhir ini hubungan China-Jepang semakin memanas, terlebih Pemerintah Jepang ternyata bergeming dengan rencananya untuk menasionalisasi kepulauan Diaoyu ke dalam wilayahnya.
Dalam kaca mata China, rencana Jepang menasionalisasi kepulauan Diaoyu tersebut dipandang sebagai upaya memutar jarum jam dan mengingatkan kembali perilaku agresif Jepang pada tahun 1930 dan 1940an. Dan karena itu pula, peringatan Insiden Manchuria pada tanggal 18 September tahun ini seperti menemukan momentumnya dimana China ingin menunjukkan kepada Jepang bahwa China kini bukanlah China pada tahun 1930 yang tidak berdaya saat diinvasi Jepang. China sekarang jauh lebih kuat dan siap menghadapi siapapun. Ibarat kata orang Betawi “Ente jual, ane beli”.
Guna menunjukkan bahwa sikap China mengenai Diaoyu tidak dapat diganggu gugat, Pemerintah China pun kemudian menyiagakan sejumlah kapal perang angkatan lautnya di sekitar kawasan yang disengketakan dan bahkan melakuan serangkaian latihan militer. Di daratan, sejak sepekan lalu serangkaian aksi demonstrasi dan protes dilakukan oleh sejumlah elemen masyarakat China di depan Kedutaan Besar Jepang di Beijing serta beberapa kantor perusahaan Jepang di beberapa kota.
Dan guna mengantisipasi agar aksi demonstrasi tidak berlangsung brutal dan mengakibatkan kerusuhan ataupun kerusakan terhadap kedutaan ataupun perusahaan milik Jepang di saat peringatan Insiden Manchuria 18 September 1931, Pemerintah China telah meliburkan sejumlah pabrik milik perusahaan Jepang sejak hari Senin kemarin hingga hari ini.
Akhirnya, terlepas dari perseteruan yang terus memanas, harapan masyarakat internasional dan harapan kita semua tentunya adalah agar penyelesaian konflik tidak harus berakhir dengan konflik militer. Bagaimanapun, penyelesaian konflik hendaknya dilakukan melalui jalur diplomasi. Hanya dengan jalan diplomasi kekerasan dan jatuhnya korban dapat dihindari.
Leave a Reply