Setelah melewati kemacetan jalan raya di kawasan Ruam Rudee Lumpini ,Thanon Witthayu, Bangkok, akhirnya kendaraan yang kami tumpangi berbelok ke sebuah jalan kecil yang hanya cukup untuk melintas satu kendaraan roda empat. Setelah melewati beberapa jalan yang lebih kecil atau gang, kendaraan berhenti di sebuah ujung gang bernama Soi Polo. Sebuah papan petunjuk bertuliskan “Indonesia Mosque” terpampang di atas tembok
Dari ujung gang terlihat sebuah bangunan masjid berlantai tiga yang terletak di antara kerumunan rumah warga. Kami pun segera turun dan berjalan kaki menyusuri gang tersebut menuju masjid yang jaraknya sekitar 100 meter dari ujung gang. Sepanjang gang terlihat beberapa warung kelontong dan pedagang kaki lima yang menjual pisang goreng dan panganan kecil lainnya. Beberapa warga terlihat sedang duduk-duduk santai di atas kursi kayu sambil berbincang satu sama lain.
Seorang ibu yang mengenakan baju terusan panjang kemudian keluar dari masjid dan menyambut ramah kehadiran kami dalam bahasa Inggris patah-patah bercampur sedikit bahasa Indonesia. Ia adalah salah seorang warga yang ikut mengurus masjid. Dengan penuh keramahan dan layaknya seorang pemandu wisata, ia pun mengarahkan kami ke ruang sholat di lantai dua dan tiga, setelah sebelumnya menunjukkan tempat berwudhu di lantai pertama.
Dari plakat yang ditempel di dinding di lantai dua diketahui bahwa masjid yang diberi nama “Masjid Indonesia” ini merupakan salah satu masjid yang dibangun oleh diaspora Indonesia yang berada di Bangkok. Masjid ini dibangun di atas tanah wakaf masyarakat Indonesia asal Jawa yang tinggal di kawasan Soi Polo dan dipimpin oleh Al-Mahhom Haji Salae pada sekitar tahun 1949. Di atas tanah tersebut didirikan masjid dari kayu dan atas ijin Kedutaan Besar Indonesia di Bangkok, masjid ini kemudian diberi nama “Masjid Indonesia”. Selain digunakan untuk tempat beribadah, masjid ini juga digunakan untuk tempat kegiatan acara keagamaan dan belajar agama.
Keberadaan “Masjid Indonesia” ini melengkapi keberadaan masjid di kawasan Sathorn Bangkok yang dibangun juga oleh diaspora Indonesia seperti masjid Jawa yang dibangun di atas tanah wakaf Haji Muhammad Saleh sekitar tahun 1906.
Setelah lebih dari 56 tahun “Masjid Indonesia” tersebut terbuat dari kayu dan mulai sulit untuk dirawat, maka pada tahun 2005 masjid tersebut dirobohkan. Di atas tanah bekas bangunan tersebut kemudian didirikan bangunan baru tiga lantai yang lebih bagus dan dapat menampung lebih banyak jamaah.
Dari perbincangan dengan warga setempat dan staf Kedutaan Besar RI diketahui bahwa selain warga muslim setempat, jamaah Masjid Indonesia, khususnya pada saat sholat Jumat, kebanyakan adalah warga Malaysia, terutama staf Kedutaan Besar Malaysia. Hal ini tidak mengherankan karena letak Kedutaan Malaysia tidak terlaluh jauh dari masjid tersebut. Sementara warga ndonesia atau staf Kedutaan Indonesia tidak bersholat jamaah disana karena letaknya yang agak jauh dan adanya masjid di dalam Kedutaan. Karena banyaknya warga Malaysia yang sholat di “Masjid Indonesia” secara berkelakar seorang staf Kedutaan Malaysia mengusulkan agar nama “Masjid Indonesia” diganti menjadi “Masjid Malaysia”.
Lalu bagaimana dengan keberadaaan warga Muslim Jawa yang dulu konon banyak tinggal di sekitar kawasan “Masjid Indonesia”? Seiring denga perkembangan kawasan, banyak warga Muslim keturunan Jawa disana yang menjual propertinya dan pindah ke tempat lain. Diperkirakan saat ini hanya ada sekitar 100 warga Muslim Indonesia yang ada di kawasan Soi Polo. Menurut informasi, diaspora Indonesia asal Jawa ini lebih banyak tinggal di kawasan Sathorn dimana terdapat Masjid Jawa dengan tokohnya adalah Winai Dahlan, yang tidak lain adalah cucu dari ulama dan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan
Secara umum keberadaan “Masjid Indonesia” di tengah-tengah perkampungan penduduk yang mayoritas beragama Budha tentu saja menarik. Keberadaan masjid-masjid tersebut memperlihatkan keterbukaan masyarakat muslim dan keinginan bersosialisasi dengan masyarakat umum. Banyak warga Muslimyang memilih untuk tidak bergabung dengan Komunitas Muslim secara eksklusif, namun berbaur dengan masyarakat. Hal ini sekaligus juga memperlihatkan bahwa masyarakat Muslim dan Budha dapat hidup bersama dengan damai dalam suatu komunitas yang sama.
Kehidupan kaum Muslim Bangkok pun sangat tentram dan damai. Sebagai agama minoritas terbesar, Islam mendapat tempat di berbagai sendi kehidupan. Pemerintah Thailand memberikan hak kebebasan beragama. Bahkan kaum Muslim memiliki lembaga urusan agama dengan pemimpin seorang mufti bergelar Syaikhul Islam (Chularajmontree). Muftilah yang memegang segala kebijakan Islam di bawah Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan. Sang mufti ini pun membawahkan wakil Muslimin di setiap provinsi dengan semua pusat kegiatannya berada di Bangkok, tepatnya di Islamic Center Ramkhamhaeng.
salam, saya neneng…pada tahun 2014 silam kami pernah meliput Indonesia Mosque.bisakah dibantu untuk mendapatkan alamat email pengurus masjidnya.tq