Melihat Orang Jawa di Seberang Lautan

Judul: Jejak Orang Jawa di New Caledonia

Penulis: Widyarka Ryananta

Penerbit: Peniti Media

Tahun terbit: April 2017

Tebal: 248

ISBN: 978-602-6592-03-3

Setelah bekerja keras dalam tiga bulan terakhir menjelang selesainya masa penugasan sebagai Konsul Jenderal RI di Noumea, New Caledonia, akhirnya Widyarka Ryananta, berhasil menyelesaikan bukunya “Jejak Orang Jawa di New Caledonia”. Buku tersebut diluncurkan pada Jumat, 21 April 2017 di Benteng Vredeburg, Yogyakarta bersamaan dengan kegiatan “Javanese Diaspora 3” yang dihadiri Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hemengku Buwono X serta ratusan wakil Diaspora Jawa dari berbagai belahan dunia, termasuk keturunan Jawa dari wilayah New Caledonia.

Sejarah dan kisah kehidupan diaspora Jawa di New Caledonia selama ini memang belum banyak diketahui masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia hanya mengetahui keberadaan penduduk keturunan Jawa di Suriname, sebuah negara di Amerika Latin, yang sama seperti Indonesia juga pernah dijajah Belanda. Padahal di New Caledonia terdapat pula komunitas masyarakat Jawa yang jumlahnya cukup besar.

Buku setebal 248 halaman berisi 32 artikel yang diterbitkan oleh Peniti Media ini merupakan kumpulan potret dan pengalaman hidup diaspora Jawa di New Caledonia yang dicatat oleh penulisnya selama menjadi Konsul Jenderal RI di Noumea (ibu kota New Caledonia) periode Desember 2014 – Maret 2017. Melalui buku ini penulis ingin memberikan gambaran kepada pembacanya mengenai suka duka kehidupan orang-orang keturunan Jawa di New Caledonia.

Anatomi

Sebagian informasi pada buku “Jejak Orang Jawa di New Caledonia” pada awalnya merupakan informasi yang dibuat dalam bentuk laporan yang dikirimkan ke Kementerian Luar Negeri ataupun tulisan yang dibuat untuk konsumsi media massa di Jakarta. Namun untuk konsumsi pembaca yang lebih luas, maka informasi yang terdapat dalam laporan dan tulisan untuk media massa tersebut ditulis ulang dengan gaya bahasa yang populer menjadi artikel-artikel yang renyah namun tetap informatif.

Untuk memudahkan membaca isi buku yang terbagi dalam 4 bab ini, pembaca sebaiknya melihat anatomi buku berdasarkan tema yang terdapat pada setiap bab.  Pembaca jangan terjebak pada keinginan membaca kronologis sejarah keberadaan orang Jawa di New Caledonia sejak pertama kedatangan hingga saat ini. Sebagai contoh, pada bab pertama yang berjudul ”Kenangan Masa Lalu Dan Yang Masih Dilestarikan”, pembaca sebaiknya fokus pada tema mengenai kehidupan orang-orang Jawa di New Caledonia generasi pertama. Sementara pada bab kedua mengenai “Sosok Diaspora Yang Berkarya”, pembaca fokus pada kehidupan diaspora Jawa saat ini.

Saya menyadari kesulitan penulis jika menyusun bukunya mesti berdasarkan pendekatan sejarah. Jika hal tersebut dilakukan maka diperlukan adanya penelitian yang panjang dan dukungan sejumlah dokumen sejarah yang memadai. Karena itu cara yang lebih mudah adalah dengan menulisnya dalam bentuk catatan perjalanan menggunakan informasi yang didapat dari komunikasi dengan orang-orang keturunan Jawa yang tinggal di New Caledonia.

“Tidak mudah untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran cerita masa lalu keturunan orang Jawa di New Caledonia, meski beberapa cerita diantaranya telah menjadi rahasia umum. Sebab rahasia itu menjadi luka lama yang kadang hanya beredar di antara sesama keturunan Indonesia”, demikian diakui penulis dalam bukunya. Pengakuan tersebut diperkuat oleh pernyataan Catherine Adi, seorang sejarawan New Caledonia keturunan Jawa yang mengatakan “Kesengsaraan orang Jawa dulu membuat mereka enggan menceritakan sejarah kehidupannya”.

Acungan jempol patut disampaikan kepada penulis, yang di tengah tugas utamanya sebagai Kepala Perwakilan RI di Noumea masih sempat blusukan ke berbagai komunitas orang Jawa di seluruh New Caledonia untuk mendapatkan informasi untuk bukunya. Penulis selalu menghadiri kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang-orang Jawa atau komunitas masyarakat keturunan Jawa seperti kawinan, sunatan, tahlilan ataupun nyadran. Selain itu, penulis juga menyambangi para sesepuh orang Jawa untuk bersilahturahmi dan mendengarkan cerita mereka dalam bahasa Jawa.

Melalui pendekatan seperti tersebut di atas, tidak mengherankan jika penulis berhasil menjalin persahabatan dengan masyakarat Jawa dari berbagai kalangan di New Caledonia seperti Zaini Ridwan dan Walad (mantan pekerja kontrak yang tiba di New Caledonia pada tahun 1949), Marie Jo-Siban (tokoh masyarakat Jawa yang kedua orang tuanya merupakan pekerja kontrak yang tiba di New Caledonia pada 1938), Catherine Adi (sejarawan dan penulis buku tentang koeli kontrak asal Jawa), dan Fidayanti Muljono Larue (mahasiswi perguruan tinggi di New Caledonia yang menulis skripsi tentang kedatangan orng Jawa), serta banyak lainnya.

Gambaran Kehidupan Diaspora Jawa

New Caledonia merupakan kepulauan seluas 18,575 kilometer persegi yang tersembunyi di Pasifik Selatan, tepatnya di sebelah selatan Papua Nugini, sebelah timur Australia dan sebelah utara Selandia Baru. Wilayahnya yang tidak terlalu luas dan tersembunyi menjadikan New Caledonia terdengar asing dan luput dari perhatian masyarakat Indonesia. Jarang sekali media-media di Indonesia yang memberitakan mengenai keberadaannya.

Menurut sejarahnya, kepulauan ini ditemukan pertama kali oleh penjelajah James Cook pada 4 September 1774 ketika melakukan perjalanan keduanya di kawasan Pasifik. Ia menamakan wilayah ini New Caledonia karena teringat tanah kelahirannya, Skotlandia. Pada 24 September 1853 New Caledonia menjadi bagian dari wilayah Perancis di seberang lautan. Selanjutnya pada 25 Juni 1854 Perancis membangun Port de France (Noumea) sebagai ibu kota New Caledonia,.

Pada 1864-1897 New Caledonia sempat dijadikan sebagai lokasi pembuangan tidak kurang dari 22.000 narapidana. Namun setelah Gubernur Prancis di New Caledonia, Paul Feillet memberikan penghapusan hukuman, New Caledonia menjadi kekurangan tenaga kerja karena banyak mantan narapidana yang kemudian kembali ke kampung halamannya. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja, Pemerintah Perancis kemudian mendatangkan pekerja imigran dari Asia untuk bekerja di pertambangan nikel dan perkebunan di New Caledonia, salah satunya pekerja dari Pulau Jawa.

Kedatangan orang-orang Jawa tersebut bermula dari aturan “Koeli Ordonantie” pada 1880 yang mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja di perkebunan Belanda di Sumatra. Melalui aturan tersebut, Perancis meminta bantuan Belanda untuk mengirim tenaga buruh ke pertambangan nikel dan perkebunan di New Caledonia. Untuk itu, pada 16 Februari 1896 sebanyak 170 pekerja dari Pulau Jawa tiba di New Caledonia. Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah orang Jawa yang berada di New Caledonia semakin bertambah.

Kini, menurut data Badan Statistik New Caledonia, dari total penduduk sekitar 268.000 jiwa yang berasal dari berbagai etnis seperti Melanesia, Eropa, Afrika hingga Asia, sekitar 7.000 jiwa atau sekitar 2,5 persen diantaranya adalah orang-orang keturunan Jawa.

Orang-orang keturunan Jawa ini tersebar di seluruh wilayah New Caledonia dan terbagi dalam tiga golongan yaitu Niaouli (orang Jawa yang lahir di New Caledonia dan memiliki orangtua yang merupakan kelahiran Jawa), Wong Baleh (orang Jawa yang pernah pergi dari New Caledonia dengan alasannya masing-masing, namun kembali dan menetap di New Caledonia lagi), dan Jukuan (orang Jawa yang lahir di tanah Jawa, namun dibawa dan akhirnya tinggal di New Caledonia).

Sebagai kuli kontrak, kehidupan awal orang-orang Jawa di rantau tidaklah mudah. Banyak kesengsaraan yang dialami para pekerja asal Jawa yang disebabkan antara lain oleh ketidak sesuaian antara pekerjaan dengan kontrak. Tidak heran jika banyak pekerja asal Jawa yang kemudian mengundurkan diri dan memilih kembali ke Indonesia. Akibatnya, jumlah pekerja Indonesia yang tadinya berjumlah belasan ribu jiwa turun menjadi beberapa ribu jiwa saja.

Kini kehidupan sebagian besar diaspora Jawa di New Caledonia, yang sebagian besar sudah menjadi warga negara Perancis, hidup sejahtera dan banyak yang berkarir di berbagai sektor mulai dari pemerintahan, militer, hingga swasta. Seperti disebutkan dalam bab dua “Sosok Diaspora Yang Berkarya”, keturunan orang Jawa banyak yang menjabat posisi penting di pemerintahan seperti Rusmaeni Sanmohammad, seniman tari yang pernah belajar tari Jawa di Padepokan Bagong Kusudihardjo yang menjadi anggota parlemen atau Corine Voisin yang sekarang menjabat sebagai Walikota La Foa, salah satu wilayah di Provinsi Selatan.

Melalui buku ini terlihat bahwa sesungguhnya leluhur diaspora Indonesia, dalam hal ini orang Jawa, di berbagai pelosok dunia adalah orang-orang tangguh yang mampu bertahan hidup jauh dari tempat kelahiran dan keluarganya di Pulau Jawa, bahkan mereka mampu mewarnai perikehidupan bangsa lain. Anggapan bahwa orang Jawa tidak berani merantau ke luar pulau, jika dibandingkan orang Padang atau Batak misalnya, terpatahkan melalui buku ini.

Manfaat

Melalui bukunya, penulis berhasil membawa pembaca melihat lintasan suka duka kehidupan diaspora Jawa di New Caledonia dan menunjukkan bahwa Diaspora Jawa adalah orang-orang tangguh dan semua jerih payah yang mereka lakukan di masa lalu bukanlah kesia-siaan.

Lalu apa manfaat buku ini atau siapa yang akan mendapat manfaat jika membaca buku ini dari awal hingga akhir? Untuk para diplomat dan pengambil kebijakan di Kementerian Luar Negeri, pelaku usaha, traveller atau masyarakat umum?

Dalam konteks hubungan Indonesia – New Caledonia, dengan semakin banyaknya diaspora Jawa yang berhasil di New Caledonia maka secara tak langsung hal tersebut sangat menguntungkan Indonesia. Keberadaan diaspora Jawa di New Caledonia tersebut dapat menjadi aset soft power diplomacy Indonesia di wilayah Pasifik Selatan untuk meningkatkan kerja sama hubungan ekonomi dan sosial budaya.

Untuk itu bagi diplomat dan pengambil kebijakan di Kementerian Luar Negeri, informasi mengenai keberadaan diaspora Jawa di New Caledonia dapat digunakan sebagai salah satu bahan penyusunan kebijakan politik luar negeri RI di Pasifik. Keberadaan diaspora Jawa tersebut bisa dimanfaatkan untuk mendukung kepentingan nasional Indonesia dan tugas-tugas Konsulat Jenderal RI dalam melakukan promosi ekonomi dan sosial budaya.

Adapun bagi para pelaku usaha, informasi mengenai terjadinya peningkatan ekonomi masyarakat di New Caledonia, khususnya masyarakat keturunan Jawa, memunculkan kesempatan untuk membuka peluang pasar dan upaya meningkatkan kerja sama ekonomi, perdagangan dan pariwisata. Diaspora Jawa di New Caledonia ini dapat dijadikan target pasar dan agen pemasaran produk-produk Indonesia.

Selanjutnya buku ini juga bermanfaat bagi traveller yang ingin melakukan perjalanan ke New Caledonia dengan hemat dan praktis. Traveller dapat memanfaatkan keberadaan dan pengetahuan orang-orang keturunan Jawa selama di perjalanan dan memintakan bantuan mereka jika diperlukan.

Akhirnya, masyarakat umum juga bisa membaca buku ini, karena selain ditulis dengan bahasa yang populer sehingga mudah dicerna, buku ini padat informasi yang bisa menambah wawasan, antara lain mengenai migrasi orang-orang Indonesia ke luar negeri.

Dan seperti kata pepatah “Tak ada gading yang tak retak”, buku ini pun tidak terlepas dari kekurangan, salah satunya adalah tidak dicantumkannya peta geografis New Caledonia dan gambaran umum mengenai situasi dan kondisi wilayah tersebut. Dengan tidak adanya peta New Caledonia, pembaca yang ingin mengetahui letak geografis New Caledonia mesti mencari-cari sendiri dari sumber terbuka lainnya sebelum membaca buku ini. Selanjutnya, hilangnya artikel 190 “Vandalisme Menolak Eksekusi Mati” pada halaman 181 dan adanya duplikasi artikel antara halaman 195-204 dengan halaman 191-204, karena keteledoran penerbit, membuat buku ini kurang lengkap.

Selebihnya, bagi anda yang ingin melihat suka duka kehidupan diaspora Indonesia di luar negeri, terutama kehidupan diaspora Jawa selain di Suriname, saya merekomendasikan untuk membaca buku ini.

Aris Heru Utomo, Pemerhati Hubungan Internasional

 

Bekasi, 7 Juni 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *