Dalam postingan terdahulu saya sudah bercerita sedikit tentang Ulaanbaatar, ibu kota Mongolia dan tempat tinggal sekitar 45 persen penduduk Mongolia yang secara keseluruhan berjumlah 2,8 juta orang. Kali ini saya akan bercerita mengenai kehidupan demokrasi di Mongolia, negeri tak berpantai (landlock) yang diapit dua negara besar, Rusia dan China.
Cerita saya awali dengan terpilihnya Ketua Partai Demokrat Norovyn Altankhuyag sebagai perdana menteri menggantikan incumbent Perdana Menteri Sükhbaataryn Batbold dari partai Rakyat Mongolia pada rapat pleno anggota Parlemen Mongolia (State Great Khural) tanggal 8 Agustus 2012 lalu. Terpilihnya Altankhuyag sebagai perdana menteri baru sangat menarik perhatian mengingat proses penunjukannya yang berlangsung alot dan membutuhkan waktu maksimal selama 45 hari seperti yang diamanatkan Konsitusi Mongolia.
Menarik, karena meski Partai Demokrat yang dipimpin Altankhuyag memenangkan pemilu legislatif yang berlangsung pada tanggal 28 Juni 2012, partai tersebut tidak otomatis dapat membentuk pemerintahan baru. Hal tersebut bisa terjadi karena kemenangannya tidak bersifat mayoritas (50 persen+1). Partai Demokrat hanya memenangkan 31 kursi dari 76 kursi parlemen yang diperebutkan atau kurang 8 kursi dari yang dipersyaratkan. Akibatnya, agar bisa membentuk pemerintahan baru, Partai Demokrat mesti melakukan kerjasama atau koalisi dengan partai peserta pemilu lainnya agar memenuhi syarat minimum 39 kursi parlemen.
Setelah melalui berbagai pendekatan dan perundingan yang alot, Partai Demokrat berhasil menggandeng Koalisi Keadilan, peserta pemilu yang merupakan gabungan Partai Revolusioner Rakyat Mongolia dan Partai Demokrat Nasional, yang dalam pemilu tersebut mendapatkan 11 kursi. Dengan menggandeng Koalisi Keadilan maka jumlah suara keduanya menjadi 42 kursi, cukup untuk membawa Althankhuyag ke kursi perdana menteri dan membentuk pemerintahan sendiri.
Tanpa berlama-lama, dua hari kemudian, teoatnya 10 Agustus 2012, Althankhuyag dilantik sebagai Perdana Menteri Mongolia yang baru. Dan sesuai amanat konstitusi, setelah dilantik, tugas pertama Perdana Menteri Althankhuyag adalah membentuk kabinet dan memilih para menteri agar segera dapat menjalankan pemerintahannya. Seperti lazimnya pemerintahan koalisi, maka sudah dapat diperkirakan bahwa komposisi kabinet akan merupakan kombinasi antara menteri-menteri yang berasal dari Partai Demokrat dan Koalisi Keadilan.
Yang tidak kalah menariknya, adalah sikap incumbent Perdana Menteri Sükhbaataryn Batbold yang berasal dari Partai Rakyat Mongolia. Tidak berapa lama setelah kalah dari Partai Demokrat, Sükhbaataryn Batbold langsung mengakui kekalahannya dan memberikan kesempatan kepada Partai Demokrat untuk menentukan pemimpin pemerintahan Mongolia yang baru. Coba kalau terjadi di Indonesia, kemungkinan besar proses pengakuannya tidak secepat yang dilakukan Sukhbbaataryn Batbold, apalagi suara yang didapat Partai Rakyat Mongolia tidak jeblok-jeblok amat yaitu 25 kursi atau cuma selisih 6 kursi dari perolehan Partai Demokrat.
Apa yang dilakukan Sükhbaataryn Batbold sepertinya tidak terlepas dari mulai matangnya kehidupan berdemokrasi di Mongolia. Mungkin tidak banyak yang tahu jika demokrasi di Mongolia bukanlah hal yang baru. Kehidupan demokrasi di Mongolia sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia kembali ke jalur demokrasi lewat reformasi politik di tahun 1998.
Demokrasi di Mongolia dimulai pada tahun 1990 ketika perang dingin berakhir dan Uni Soviet porak poranda menjadi beberapa negara. Pemerintah Mongolia menanggalkan model partai tunggal dimana hanya ada Partai Revolusioner Rakyat Mongolia (semacam Partai Komunisnya Uni Soviet). Pemilu multi partai pertama berlangsung pada tanggal 29 Juli 1990 dimana Partai Revolusioner Rakyat Mongolia merebut 85 persen kursi di Parlemen, sedangkan sisanya direbut oleh Partai Sosialis Demokrat.
Selain keluar dari bayang-bayang sosialisme Uni Soviet dalam kehidupan kepartaian, Mongolia pun merubah sistem perekonomiannya sesuai mekanisme pasar. Mongolia menjadi anggota World Bank pada tahun 1991 dan World Trade Organization pada tahun 1997. Sejak itu secara perlahan Mongolia tumbuh dan berkembang sebagai negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil dengan mengandalkan sektor peternakan, pertanian dan pertambangan.
Kembali ke kehidupan politik, berbeda dengan Indonesia yang tidak secara tegas menerapkan sistim pemerintahannya, presidensial atau parlementer, Mongolia justru secara tegas menganut sistem parlementer yang memisahkan jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan. Kepala negara dijabat oleh seorang presiden, sedangkan kepala pemerintahan dijabat oleh seorang perdana menteri.
Lazimnya kehidupan berdemokrasi, masyarakat membentuk partai-partai politik sebagai kendaraan untuk menyuarakan kepentingan politik masyarakat. Karena itu sejak pemilu pertama di tahun 1990, partai-partai politik di Mongolia pun bermunculan seperti Partai Revolusioner Rakyat Mongolia yang merupakan penjelmaan partai serupa di era komunis, Partai Sosialis Demokrat, Partai Rakyat Mongolia, dan Partai Hijau-Sipil.
Seperti halnya di Indonesia yang suka merubah nama-nama partai akibat perpecahan seperti Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menjadi PDI Perjuangan atau disesuaikan sesuai kondisi seperti Partai Keadilan menjadi Partai Keadilan Sejahtera, maka di Mongolia pun lazim terjadi perubahan dan penyesuaian nama partai seperti Partai Revolusioner Rakyat Mongolia yang terpecah menjadi Partai Revolusioner Rakyat Mongolia dan Partai Rakyat Mongolia atau Partai Sosial Demokrat yang menjadi Partai Demokrat.
Hal lain yang juga tidak kalah menarik untuk dicermati saat berlangsungnya pemilu legislatif Juni lalu adalah tema-tema kampanye yang disampaikan ke masyarakat. Partai ramai-ramai mengkampanyekan isu korupsi dan penolakan atas investasi asing pada proyek-proyek tambang Mongolia, terutama yang berasal dari RRT. Tidak terdengar adanya isu agama dan suku minoritas dalam masa kampanye tersebut.
Dan seperti dikatakan mantan Perdana Menteri Sükhbaataryn Batbold, kemenangan partai pada dasarnya merupakan cerminan suara mayoratas masyarakat. Dan karena Partai Demokrat merupakan partai yang mendukung pasar bebas, maka kemenangannya dapat dimaknai dengan dukungan mayoritas masyarakat terhadap pasar bebas dan menolak nasionalisasi pertambangan milik asing.
Leave a Reply