Mengawali tahun 2016 dunia tetap dihadapkan pada konflik yang terus memanas di berbagai kawasan, salah satunya di Timur Tengah. Peningkatan konflik di kawasan ini ditandai dengan meningkatnya ketegangan hubungan diplomatik Arab Saudi dan Iran setelah Arab Saudi mengeksekusi seorang ulama shiah Iran dan diikuti kemarahan publik di Iran. Sementara isu-isu panas lainnya masih tetap bertahan seperti masalah kemerdekaan Palestina, nuklir Iran, konflik di Suriah ataupun ancaman gerakan ISIS (Islamic State in Irak and Suriah) yang semakin meluas.
Dan di tengah memanasnya situasi di Timur Tengah, Presiden Tiongkok Xi Jinping memulai debut diplomasinya di kawasan tersebut dengan mengunjungi Arab Saudi, Mesir dan Iran dari tanggal 19-23 Januari 2016. Meski telah menduduki jabatan Presiden Tiongkok sejak tahun 2012 dan aktif mempromosikan kebangkitan Tiongkok melalui kunjungan kenegaraan ke banyak negara di berbagai kawasan dunia, mulai dari India, Rusia, Eropa, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Zimbabwe, hingga ke Indonesia, namun baru pertama kali inilah Xi Jinping berkunjung ke Timur Tengah. Kunjungan ini juga menjadi kunjungan pertama bagi pemimpin Tiongkok sejak kunjungan Presiden Hu Jintao ke Arab Saudi di tahun 2009 dan kunjungan Presiden Jiang Zemin ke Iran di tahun 2002.
Kunjungan tak biasa dan pertama Xi Jinping ini tentu saja menarik perhatian terkait arah kebijakan luar negeri Tiongkok di kawasan Timur Tengah. Meski dalam “Kertas Kebijakan Tiongkok terhadap Arab” yang untuk pertama kalinya dikeluarkan Pemerintah Tiongkok pada 13 Januari 2016 atau seminggu sebelum kunjungan Xi Jinping ke Timur Tengah, hanya secara samar disebutkan mengenai penegasan kembali komitmen Tiongkok untuk mendukung terciptanya stabilitas politik dan pembangunan yang berkelanjutan dan komprehensif di kawasan, namun kunjungan tersebut dapat dipandang sebagai refleksi keinginan Tiongkok untuk meningkatkan eksistensinya secara politis di Timur Tengah. Sebagai salah satu anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), Tiongkok merasa kini lah waktunya untuk berperan secara politis di Timur Tengah dan tidak semata menyerahkan urusan tersebut kepada 4 anggota DK PBB lainnya yaitu AS, Perancis, Inggris dan Rusia.
Selanjutnya, Tiongkok tampaknya juga ingin menepis pandangan bahwa mereka hanya peduli pada masalah ekonomi dan perdagangan, khususnya terkait dengan kebijakan yang menjamin kebutuhan energinya. Untuk itu Tiongkok berupaya menggabungkan pengaruh ekonominya yang sudah dimiliki selama ini dengan pengaruh politik yang semakin diperkuat untuk membantu proses perdamaian dan menyelesaikan konflik di Timur Tengah. Hal ini tampak darii pernyataan Xi Jinping dihadapan perwakilan negara-negara anggota Liga Arab di Kairo, Mesir, 21 Januari 2016: “Tidak ada obat mujarab untuk menyelesaikan konflik berabad-abad di Timur Tengah. Pertengkaran keluarga yang terjadi di Timur Tengah tidak dapat dituntaskan begitu saja. Kunci penyelesaiannya adalah dengan menjembatani perbedaan melalui peningkatan dialog dan pembangunan yang sesuai dengan kondisi nasional masing-masing negara di Timur Tengah”.
Guna mencapai tujuan tersebut, Tiongkok berkeinginan untuk mendorong peningkatan komunikasi melalui kegiatan saling kunjung antar pejabat tingkat tinggi Tiongkok dan negara-negara Arab, memberdayakan mekanisme kerja sama dan konsultasi antar pemerintah, bekerjasama di forum internasional dan menegaskan kembali mengenai “Kebijakan Satu Cina”.
Untuk itu Tiongkok berupaya mendorong kerja sama perdagangan dan investasi antara lain melalui konsep Jalur Sutra (dikenal pula sebagai strategi “Satu sabuk, satu jalan”) yang merupakan disain besar Tiongkok untuk menghubungkan negeri-negeri yang dilintasi rute perdagangan bersejarahnya, mulai dari Asia Tengah hingga Eropa dan Afrika, mulai dari Asia Tenggara hingga Jazirah Arab.
Di bawah kepemimpinan Xi Jinping, Tiongkok terus meningkatkan upaya mempromosikan perdamaian dunia seperti terlihat dalam keikutsertaan dalam penyelesaian masalah nuklir Iran dan berhasil berkat bantuan Tiongkok terhadap Teheran, memainkan peran penting dalam perundingan perdamaian di Afghanistan dan menjadi penengah perdamaian di Suriah. Karenanya kunjungan Xi Jinping ke Timur Tengah memiliki peran penting bagi Tiongkok sendiri dan negara-negara di belahan dunia lainnya guna mempengafuhi proses perdamaian di kawasan tersebut.
Kebijakan luar negeri Tiongkok ini bukanlah kebijakan yang tiba-tiba, tetapi sudah berjalan cukup panjang dan konsisten. Seperti disebutkan dalam “Kertas Kebijakan terhadap negara Arab”, kebijakan yang ditempuh Tiongkok didasarkan pada pertimbangan historis yang panjang dan tidak bersifat konfrontatif dengan Barat serta tetap menjaga hubungan baik antar negara yang berseteru. Dan kebijakan ini sekarang memperoleh momentum yang tepat untuk semakin meningkatkan pengaruh politik dan keuntungan ekonomi di Timur Tengah, dan berpotensi menggeser pengaruh Barat dan AS.
Sejauh ini kebijakan luar negeri tersebut dipandang cukup berhasil dalam membangun hubungan yang kuat dengan Israel dan negara-negara Arab lainnya. Saat Israel masih menjadi salah satu sumber krisis stabilitas di Timur Tengah dalam konfliknya dengan Palestina dan dunia Islam sampai sekarang ini, Tiongkok juga memiliki jalur hubungan bilateral yang erat dengan Israel. Seperti dikatakan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dalam acara peringatan 20 tahun hubungan diplomatik kedua negara, di Tel Aviv, 23 Januari 2012, “Seperti orang-orang Tiongkok, orang-orang Yahudi memiliki memori panjang. Kami selalu ingat teman-teman kita. Kita selalu ingat orang-orang yang mengulurkan tangan kepada kita di hari-hari tergelap kita dan kita berterima kasih kepada Tiongkok untuk itu.”
Dengan kedekatan hubungan Tiongkok-Israel, tidak mengherankan jika pengusaha dan investor Tiongkok misalnya bersedia menanamkan modal dalam jumlah besar di “Silicon Wadi”, Israel dan membantu pengusaha negara Yahudi tersebut dalam berbagai usaha patungan. Bagi Israel, Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar ketiga. Sebaliknya, Israel merupakan mitra terbesar kedua Tiongkok dalam hal penyediaan sumber teknologi militer.
Sementara itu di negara-negara Arab, perusahaan-perusahaan Tiongkok telah berinvestasi besar-besaran di bidang infrastruktur, penjualan senjata dan menginisiasi berbagai kegiatan lainnya. Pada tahun 2014, Tiongkok mengimpor sekitar 6,2 juta barel minyak bumi per hari. Sekitar 3,1 juta barel tersebut berasal dari Timur Tengah, 989.000 barel dari Arab saudi, 573.000 dari Irak dan 546.000 dari Iran. Dan sejalan dengan semakin tumbuhnya perekonomian Tiongkok, negeri tersebut juga melaju sebagai importir minyak terbesar di dunia mengungguli Amerika Serikat. Bahkan sejalan dengan preferensi AS untuk menggunakan sumber minyak dari negara-negara non-Arab, hubungan antara negara-negara produsen minyak di Arab dan perusahaan-perusahaan Tiongkok pun semakin menguat.
Tetapi minyak bukanlah satu-satunya faktor yang memperkuat hubungan Tiongkok dengan negara-negara Arab, faktor perdagangan juga menjadi perekat dalam upaya memelihara hubungan tersebut, khususnya melalui konsep Jalur Sutra. Konsep perdagangan Jalur Sutra memberikan peluang kepada negara-negara Timur Tengah untuk meningkatkan prospek pertumbuhan ekonominya melalui jalur distribusi yang menghubungkan Tiongkok hingga Eropa. Jalur sutra tersebut, baik darat maupun laut, menghubungkan Tiongkok, Kyrgizstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Iran, Turki dan Eropa. Sejauh ini Tiongkok telah mengeluarkan biaya sekitar 50 milyar dollar untuk membangun jalur kereta, jalan raya, pipa minyak, jalur pelayaran dan infrastruktur lainnya di kawasan yang menghubungkan Tiongkok dengan negara-negara di Asia Tengah, Asia Barat dan Eropa.
Hal lain yang perlu dicatat adalah pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AAIB) yang menyatukan faksi-faksi di Timur Tengah dan pada saat bersamaan mendukung pembangunan Jalur Sutera. AIIB memberikan pendanan dan investasi yang diperlukan untuk merealisasikan visi satu sabuk satu jalan. Mesir telah bergabung sejak awal sebagai negara pendiri AIIB, diikuti Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Yordania, Oman, Qatar dan Kuwait yang bergabung kemudian. Keanggotaan negera-negara tersebut di AIIB memberikan akses cepat pendanaan investasi dari Tiongkok dan menyatukannya dalam kepentingan ekonomi yang sama.
Memperhatikan fakta-fakta tersebut di atas, tampak bahwa kerja sama ekonomi dan militer akan menjadi bangunan utama dalam hubungan Tiongkok dengan negara-negara Arab. Bermodalkan hubungan baik selama ini, Tiongkok dapat bertindak sebagai penengah dalam konflik di Timur Tengah. Tiongkok tidak terganggu dengan masalah agama, kolonialisme dan beban sejarah terkait pembagian wilayah geografis negara-negara di Timur Tengah seperti yang dialami negara-negara besar lainnya seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman dan Rusia. Tiongkok juga telah menunjukkan bahwa ia tidak memihak Yahudi atau Muslim, termasuk tidak memihak pada aliran-aliran atau sekte-sekte Islam tertentu.
Dalam kaitan ini, Israel dan Palestina misalnya mengakui bahwa pendekatan yang dilakukan Tiongkok, antara lain melalui investasi, dipandang berperan penting dalam menjaga perdamaian dan kesinambungan pembangunan ekonomi di kawasan. Melalui pendekatan dialog dan pembangunan yang diajukan, Tiongkok dapat bertindak sebagai penengah dalam proses perdamaian dan penyelesaian konflik di Timur tengah dimana pihak-pihak yang bersengketa akan dipaksa untuk memoderasi tuntutannya dengan mendasarkan pada pondasi hubungan yang lebih damai dan sejahtera.
Kebiijakan luar negeri Tiongkok yang pro-Arab seperti dukungan terhadap kemerdekaan Palestina dan bantuan finansial serta persenjataan kepada Palastina yang diberikan pada tahun 1970-an dan 1980-an ataupun dukungan terhadap pemerintahan yang berkuasa di Iran, tidak berarti menghentikan undangan Pemerintah Israel kepada pengusaha Tiongkok untuk berinvestasi di bidang infrastruktur, pendidikan dan teknologi. Bahkan negara-negara anggota Dewan Kerjasama negara-negara Teluk juga menyambut baik keterlibatan ekonomi Tiongkok sebagai upaya menstabilitaskan kawasan. Sebagai contoh, Arab Saudi dan Qatar, menghormati Tiongkok sebagai kekuatan penyeimbang bagi kepercayaan negara Timur Tengah terhadap kekuatan Barat dalam menjaga stabilitas kawasan.
Akhirnya, perkuatan dan agresifitas kebijakan strategis Tiongkok di Timur Tengah memang mengkhawatirkan AS dan Barat. Namun di tengah semakin menurunnya pengaruh AS dan Barat di kawasan Timur Tengah, kehadiran Tiongkok dan upayanya untuk “mengimbangi” hegemoni negeri Paman Sam di kawasan tersebut tentunya memberikan pengaruh dan harapan baru bagi terlaksananya proses perdamaian dan penyelesaian konflik yang lebih baik.
Blog yang menarik, mengingatkan saya akan Deng Xiao Ping, dikenal sebagai “Bapak Reformasi” Tiongkok, Bapak Deng di tahun 1978 mengumumkan kebijaksanaan baru, “Kebijaksanaan Pintu Terbuka”
Saya mencoba menulis blog tentang Deng Xiao Ping, semoga anda juga suka: https://stenote-berkata.blogspot.com/2021/06/wawancara-dengan-bapak-deng.html