Membaca Propaganda Tiongkok mengenai Laut Selatan

South_China_Sea_claims_mapKonflik di kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS) semakin hari semakin memperlihatkan eskalasi politik yang memanas akibat aksi agitasi dan propaganda Tiongkok yang memperjuangkan hak sejarahnya di LTS. Persoalan hak sejarah Tiongkok di LTS mengemuka karena memunculkan berbagai persoalan di kawasan Asia Tenggara terkait klaim tumpang tindih wilayah kedaulatan dan kepentingan maritim yang tidak didasarkan pada Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) yang diakui masyarakat internasional sejak tahun 1982.

Karenanya tidak mengherankan jika kemudian hak sejarah Tiongkok tersebut digugat oleh Filipina pada tahun 2013. Filipina mengajukan gugatan ke Permanent Court of Arbitration (PCA) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, guna mempertanyakan legalitas hak sejarah Tiongkok atas LTS seperti yang dicantumkan dalam peta wilayah Tiongkok tahun 1947 yang memuat “sembilan garis putus-putus (9 dash line/9DL)”.

Setelah dilakukan pembahasan selama sekitar 3 tahun, diperkirakan dalam waktu dekat PCA akan mengeluarkan putusan yang menjawab gugatan Filipina tersebut. Menariknya, menjelang keluarnya putusan PCA, Beijing yang sedari awal menolak berpartisipasi dalam proses persidangan dan mengabaikan apa pun pandangan PCA yang berkekuatan hukum tetap, justru semakin meningkatkan agitasi dan propaganda internasional dan domestik untuk mendapatkan dukungan internasional dan dalam negeri.

Dalam konteks internasional, Tiongkok meningkatkan provokasinya di perairan Natuna guna memancing keterlibatan Indonesia yang tidak mengakui 9DL, tidak memiliki klaim tumpang tindih hak dan kepentingan maritim, maupun adanya daerah penangkapan ikan tradisional nelayan Tiongkok. Langkah provokasi tersebuti terlihat dari masuknya kapal-kapal nelayan Tiongkok yang dikawal kapal penjaga pantainya ke kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesa di Natuna.

Sementara itu, melalui Kementerian Luar Negerinya, Tiongkok melakukan pendekatan ke berbagai negara untuk mendapatkan dukungan terhadap posisinya di LTS. Hasilnya, Tiongkok mengklaim bahwa sekitar 40 negara telah berkomitmen memboikot putusan PCA. Bukan hanya itu, Kementerian Luar Negeri juga mengarahkan para top diplomatnya di seluruh dunia untuk menulis opini dan pandangan Tiongkok di berbagai media terkemuka dan website Kedutaan, sebagai contoh Duta Besar Tiongkok di Jakarta menulis artikel “The dangerous arbitration of Beijing-Manila dispute” di The Jakarta Post edisi 8 Juni 2016 dan Duta Besar Tiongkok di London menulis artikel “Stop playing with fire in the South China Sea” di The Telegraph 10 Juni 2016. Sedangkan Kedutaan Besar Tiongkok di Washington membuat sanggahan terhadap editoral Wall Street Journal yang berjudul “South China Sea Challenge”.

Di dalam negeri, melalui Komite Propaganda Partai Komunis Tiongkok, Tiongkok menekan kantor-kantor media asing yang berkedudukan di Beijing untuk menulis tentang LTS “apa adanya”, yaitu memuat berita yang didasarkan pada narasi tunggal Beijing yang antara lain menyebutkan bahwa sejak sebelum 1970 masyarakat internasional telah mengakui LTS sebagai milik Tiongkok dan tidak ada satu pun negara yang mempermasalahkannya.

Kemudian melalui organisasi hukum “Asia-Pacific Institute of International Law” yang berafiliasi ke Beijing dan berkedudukan di Hong Kong, muncul pertanyaan mengenai kewenangan PCA dalam menyelesaikan sengketa wilayah maritim dan menuduh PCA melakukan kekeliruan secara faktual dan hukum dalam masalah LTS. Selanjutnya melalui China Central Television (CCTV) pada 21 Juni 2016 diluncurkan video berbahasa Mandarin dengan teks bahasa Inggris mengenai pandangan Beijing terhadap LTS untuk konsumsi dalam negeri dan disebarkan lewat Weibo, situs mikro blog populer di Tiongkok.

Kegiatan propaganda yang dilakukan Tiongkok ternyata tidak terbatas pada langkah-langkah seperti yang telah disebutkan di atas. Untuk menggalakkan kawasan wisata di LTS, Tiongkok juga mendorong wisatawan dometiknya untuk berkunjung ke kawasan sengketa di LTS dan mendapatkan indoktrinasi selama perjalanan. Lebih dari 100.000 wisatawan domestik diperkirakan berkunjungan ke kawasan kepulauan Spratly.

 

Propaganda dan Pertahanan Negara 

Setiap negara pada dasarnya melakukan kegiatan propaganda internasional atau diplomasi publik. Yang membedakannya adalah intensitas kegiatannya yang berbeda-beda. Kegiatan propaganda yang dilakukan negara-negara besar akan berbeda dengan negara-negara kecil yang umumnya adalah negara dengan tingkat perekonomian rendah. Negara-negara besar dapat melakukan rangkaian aktivitas propaganda atau diplomasi publik yang sangat luas dengan dana besar sehingga dapat memanfaatkan semua media komunikasi yang tersedia. Sedangkan negara-negara kecil umumnya membatasi diri hanya pada mengeluarkan pernyataan dari juru bicara yang dikirimkan kepada korps media internasional.

Di tengah situasi konflik kawasan yang semakin memanas dan diliputi ketidakpastian dewasa ini, propaganda tetap memainkan peran penting dalam mendorong penyelesaian konflik. Namun tantangan yang dihadapi propaganda saat ini tidak ringan, apalagi jika mengingat bahwa pola hubungan internasional masih dihadapkan pada paradigma kekuatan dan kelemahan, seperti tampak pada polarisasi pusat dan pinggiran.

Dan sebagaimana halnya pengertian propaganda yang dikenal umum sebagai suatu usaha sistematis untuk membentuk atau mengubah sikap, pendapat dan tindakan suatu kelompok sasaran agar sejalan dengan keinginan si pembuat propaganda, maka propaganda yang dilakukan saat ini pun memiliki tujuan sama dengan modus dan medan berbeda, termasuk guna memperkuat pertahanan negara yang tidak akan cukup jika hanya mengandalkan pada kekuatan militer belaka. Pertahanan dikatakan cukup bila sebuah negara memiliki kemampuan diplomasi serta agenda propaganda yang mampu menjawab tantangan yang dihadapi dalam berbagai aspek komunikasi hubungan internasional.

Dalam konteks ini, sebagai suatu negara dengan tingkat perekonomian terbesar kedua di dunia, Tiongkok menunjukkan hegemoninya dengan antara lain menegaskan kedaulatannya dengan didukung kekuatan ekonomi dan militer. Dan untuk mendapatkan dukungan internasional, Tiongkok melakukan propaganda yang tersistematis dan terkoordinasi dengan melibatkan seluruh elemen. Pelaksanannya pun disesuaikan dengan metode dan teknik-teknik komunikasi seperti metode koersif dan teknik- teknik yang biasa digunakan dalam propaganda seperti teknik memberikan julukan (name calling), memberikan iming-iming (Glittering Generalities) dan menumpuk kartu (Card Staking).

Metode koersif atau menekan tampak jelas dimainkan Tiongkok saat meminta kantor-kantor media asing di Beijing, khususnya media asing asal negara-negara Afrika, untuk menulis informasi LTS yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah Tiongkok. Tiongkok memainkan kartu bantuan dan kerja sama ekonomi ke negara-negara Afrika yang menjadikan permintaannya tidak dapat ditolak oleh media Afrika. Bukan hanya media, dukungan dari negara-negara Afrika terhadap posisi Tiongkok di LTS pun sepertinya tidak dapat ditolak. Selain ke Afrika, metode koersif ini juga ditujukan ke beberapa negara anggota ASEAN seperti Laos dan Kamboja yang pada akhirnya tidak dapat menolak keinginan Tiongkok. Dengan metode semacam ini, tidak heran jika Tiongkok mengklaim bahwa terdapat 40 negara yang mendukungnya dan akan memboikot putusan PCA.

Selanjutnya, untuk mendiskreditkan kewenangan PCA, Tiongkok menerapkan teknik “memberikan julukan” atau name calling. Tindakan tersebut dilakukan dengan secara terus menerus dan berulang-ulang memberikan pernyataan bahwa PCA tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk membahas gugatan Filipina. Dengan pernyataan ini Tiongkok ingin mengesankan bahwa apapun putusan PCA nantinya, maka putusan tersebut tidak memiliki legiitimasi dan karenanya tidak layak diikuti.

Sejalan dengan penggunaan teknik “memberikan julukan”, Tiongkok menggunakan teknik iming-iming dengan menggunakan ‘kata-kata yang baik’ dalam menggambarkan sesuatu sehingga diperoleh dukungan pihak lain secara suka rela, tanpa perlu pihak lain tersebut menyelidiki ketepatan gambaran yang diberikan. Teknik ini tampak dari narasi tunggal yang disiapkan Beijing ke media-media yang berkedudukan di Beijing. Dalam narasi tersebut antara lain disebutkan bahwa sejak sebelum 1970 masyarakat internasional telah mengakui LTS sebagai milik Tiongkok dan tidak ada satu pun negara yang mempermasalahkannya.

Teknik berikutnya yang digunakan Tiongkok adah teknik menumpuk kartu (card staking) yaitu sebuah cara memilih pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis dan tak logis untuk kemudian ditonjolkan salah satu aspeknya saja. Teknik ini tampak dari tuduhan-tuduhan yang kerap dikeluarkan Tiongkok secara berulang-ulang kepada PCA. Selain menjuluki proses peradilan PCA sebagai proses cacat hukum karena tidak adanya kewenangan PCA, secara bersamaan Tiongkok juga menyebutkan bahwa proses peradilan di PCA banyak dipengaruhi Amerika Serikat dan karenanya keputusan yang dikeluarkannya pun sudah dipengaruhi Amerika Serikat.

Langkah Indonesia

Indonesia bukanlah termasuk negara pihak yang bersengketa di LTS. Klaim Tiongkok di LTS tidak mencakup kepulauan Natuna yang berjarak sekitar 2.000 km (1.250 mil) dari daratan Tiongkok dan karenanya tidak merasa memiliki permasalahan klaim tumpang tindih wilayah kedaulatan. Namun demikian Indonesia dapat memetik pelajaran dari aksi provokasi dan propaganda Tiongkok di LTS agar dapat menyusun dan menerapkan kebijakan yang tepat menghadapi agresivitas Tiongkok yang ternyata juga menyentuh ZEE Indonesia.

Sejauh ini Indonesia tidak berdiam diri menghadapi “klaim” yang dinyatakan Kementerian Luar Negeri Tiongkok bahwa berdasarkan pendekatan historis dan konsep “kawasan penangkapan ikan tradisional Tiongkok”, kawasan ZEE Indonesia di perairan Natuna adalah bagian dari wilayah maritimnya. Secara resmi Indonesia telah mempertanyakan masalah 9DL dan cakupan kawasan penangkapan ikan tradisional Tiongkok kepada pemerintah Tiongkok. Namun sampai ssejauh ini tidak ada jawaban dari Tiongkok sampai kemudian diketahui bahwa pada akhirnya konsep penangkapan ikan tradisional Tiongkok juga masuk ZEE Indonesia. Untuk menunjukkan ketegasan Indonesia, Presiden RI Joko Widodo pun melakukan kunjungan kerja ke perairan Natuna pada tanggal 25 Juni 2016.

Jakarta pun telah menyampaikan kepada Beijing bahwa Indonesia dengan tegas tidak mengakui 9DL, tidak memiliki klaim tumpang tindih hak dan kepentingan maritim, termasuk adanya daerah penangkapan ikan tradisional nelayan Tiongkok. Untuk itu Beijing mesti menghentikan provokasi dan aksi propaganda yang dilakukan, termasuk mulai mengadu domba pejabat-pejabat Indonesia dengan antara lain menyebarkan kebohongan-kebohongan seperti yang ditujukan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan. Suatu kebohongan yang dimaksudkan untuk mulai mendikte Indonesia dalam proses negosiasi dan konsultasi masalah perikanan yang diatur dalam kerangka Komisi Kerja Sama Maritim RI-RRT.

Bersamaan dengan langkah untuk menunjukkan ketegasan dalam memelihara keutuhan kedaulatan wilayah, Indonesia dapat mendorong Tiongkok mematuhi ketentuan yang tercantum dalam UNCLOS sehingga Tiongkok memiliki hak jika ingin melakukan klaim wilayah. Ibarat penumpang pesawat terbang, jika Tiongkok bermaksud mengklaim nomor tempat duduk yang diinginkan di dalam pesawat, maka Tiongkok mesti bisa menunjukkan boarding pass yang dikeluarkan maskapai penerbangan yang sah, bukan boarding pass yang dikeluarkan leluhurnya

Sementara itu dalam konteks kerja sama regional, Indonesia kiranya dapat terus mendorong upaya membangun rasa saling percaya dan melaksanakan kerja sama di LTS, memperkuat dasar-dasar tatanan yang berasaskan hukum di LTS, khususnya UNCLOS 1982, dan mendorong Tiongkok dan ASEAN untuk segera menyelesaikan proses Code of Conduct (COC) yang bersifat mengikat di LTS.

Terakhir, guna mencapai sasaran dan tujuan yang lebih baik dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri RI di LTS, kiranya para pemangku kepentingan masalah luar negeri perlu sering duduk bersama guna memantapkan koordinasi. Pelaksanaan kebijakan luar negeri yang terkoordinasi dan terpadu diperlukan agar tidak terkesan ada perbedaan artikulasi pendapat dalam menyikapi pasca putusan PCA mengenai LTS antara Kemenlu, Kemenhan, Kemenko Polhukam maupun Kantor Kepresidenan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *