Tahun 2016 berlalu dengan suasana penuh ketidakpastian global dan kejutan-kejutan. Salah satunya adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) periode 2017-2021 mengungguli Hillary Clinton yang justru diprediksi banyak jajak pendapat sebagai pemenang Pemilu.
Dengan sikapnya yang kontroversial dan pernyataannya yang ceplas ceplos berbau SARA, seperti anti imigran Muslim dan Meksiko, akan menyiksa tahanan teroris, menuduh imigran Muslim adalah sumber terorisme di AS, tidak heran jika sebagian besar jajak pendapat memperlihatkan akan kemungkinan kekalahan Trump dalam pemilihan presiden. Namun dengan strategi pemenangan yang terukur dan memaksimalkan penggunaan sosial media, Trump justru membalikkan keadaan, bukan saja berhasil memelihara dan meningkatkan elektabilitasnya, tapi juga menarik perhatian masyarakat AS untuk memilihnya.
Seperti dikutip dari laporan EzyInsight, sebuah lembaga penelitian dari Finlandia, salah satu upaya yang membuat Trump bertahan dalam persaingan dengan Hillary Clinton adalah karena pemahamannya mengenai pentingnya penggunaan sosial media. Menurut EzyInsight, di Facebook saja Trump unggul dari Hillary dalam hal jumlah pengikut (follower). Trump memiliki pengikut sebanyak 11.8 juta orang, sedangkan pengikut Clinton hanya berjumlah 7,7 juta orang. Menurut EzyInsight, banyaknya pengikut dalam sosial media sangat penting karena semakin banyaknya jumlah pengikut maka semakin besar kemungkinan orang mengenalnya dan menerima pesan-pesan yang dikirimkan.
Berbekal pengalaman menggunakan sosial media untuk meraih kursi presiden, Trump tampaknya ingin mengulangi kesuksesannya dengan mengadopsi penggunaan sosial media untuk ruang lingkup yang lebih luas. Sebagai seorang kepala negara dari sebuah negara adidaya, Trump tampaknya ingin membuat tradisi baru komunikasi diplomatik dengan memotong jalur komunikasi diplomatik yang ada selama ini. Pada saat bersamaan, ia pun ingin menunjukkan bahwa meski dirinya adalah seorang kepala negara namun ia tetap bagian dari masyarakat.
Karena itu, meskipun belum lagi resmi menjabat sebagai Presiden AS, Trump langsung memanfaatkan media sosial untuk mengomunikasikan pesan-pesannya ke dunia internasional. Melalui Twitter 28 November 2016 ia mengingatkan Kuba bahwa pemerintahannya akan mengubah hubungan AS-Kuba jika Havana tidak memberikan Washington “perjanjian yang lebih baik”.
Tidak cukup dengan pernyataannya mengenai Kuba, pada 2 Desember 2016 Trump kembali mengeluarkan pernyataan lewat Twitter untuk membenarkan percakapannya dengan Presiden Taiwan Tsai-Ing-Wen, percakapan yang membuat Beijing meradang. Bukan hanya itu, Trump pun langsung menuduh Tiongkok telah melakukan praktik perdagangan yang merugikan AS dan melakukan perkuatan militer di Laut Tiongkok Selatan. Serangkaian komunikasi diplomatik yang dilakukan Trump ini memunculkan pertanyaan banyak orang terkait efektifitasnya, meski tidak sedikit pula yang memuji improvisasi Trump di sosial media sebagai suatu bentuk penyegaran ritual diplomatik sejak Pemerintahan Richard M Nixon.
Kalangan diplomatik di Kementerian Luar Negeri AS misalnya mempertanyakan efektifitas komunikasi yang dilakukan Trump terkait isu-isu strategis yang jika terus dilakukan selama menjabat sebagai presiden akan dapat memunculkan miskomunikasi atau kemungkinan lain yang lebih buruk. Trump mesti dapat memisahkan antara pernyataan yang bersifat personal dengan pernyataan yang bersifat strategis dan menyangkut hubungan antar negara.
Salah satu permasalahan yang menjadi perhatian kalangan diplomatik ataupun pengamat komunikasi terkait komunikasi hubungan dan kebijakan luar negeri di sosial media adalah keterbatasan jumlah karakter dalam setiap pesan yang disampaikan. “Dengan maksimum 140 karakter dalam setiap pesan, kita tidak dapat menyampaikan pesan secara menyeluruh,” demikian kritik yang umumnya disampaikan kalangan diplomnatik dan para pengamat komunikasi.
Komunikasi mengenai isu-isu hubungan dan kebijakan luar negeri melalui Twitter memiliki risiko munculnya salah paham. Untuk itu pernyataan strategis terkait kebijakan internasional hendaknya dibahas terlebih dahulu di lingkup internal di antara para pejabat tinggi terkait. Selanjutnya komunikasi yang dilakukan presiden hendaknya dikelola oleh para ahli di bidangnya. Para ahli tersebut mempersiapkan pesan secara hati-hati, bukan hanya mempersiapkan kata-kata yang sesuai, tetapi juga mempersiapkan kemungkinan kata-kata yang digunakan disalahartikan secara tidak sengaja pada saat diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Kalangan diplomatik menyarankan agar kiranya Trump belajar dari pengalaman Presiden Barack Obama dalam menggunakan sosial media. Sebagai Presiden AS pertama di era sosial media, Obama dipandang telah secara bijak menggunakan Twitter, Facebook dan aneka platform sosial media lainnya dengan didukung staf profesional yang memadai. Obama hanya menyampaikan pernyataan terkait isu-isu personal dan permasalahan dalam negeri. Sedangkan terkait isu-isu kebijakan luar negeri di sosial media dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri.
Karena itu, meski mengkritisi komunikasi yang dilakukan Trump di sosial media, namun kalangan diplomatik tetap mendukung penggunaan sosial media untuk berkomunikasi. Hanya saja komunikasi terkait isu-isu kebijakan internasional di sosial media dilakukan secara hati-hati dan profesional seperti yang dilakukan Obama.
Kalangan diplomatik berharap agar jangan sampai nantinya kata-kata yang disampaikan Trump di sosial media dapat memunculkan dampak yang serius dalam pelaksanaan hubungan dan kebijakan internasional. Hal ini mengingat karena bagaimanapun masyarakat akan senantiasa mencermati setiap kata dan kalimat yang disampaikan oleh seorang presiden dan mengartikannya sesuai dengan persepsi masing-masing.
Karena itu pula akan sangat menarik untuk menantikan diplomasi Trump di sosial media dan mencermati bagaimana Trump memaksimalkan penggunaan sosial media untuk menarik perhatian dunia dan mengomunikasikan berbagai kebijakan luar negeri AS sebagaimana ia menarik perhatian masyarakat AS untuk memilihnya.
Tulisan ini juga dimuat di klom detik.comĀ https://news.detik.com/kolom/d-3389316/menanti-diplomasi-media-sosial-ala-donald-trump
Leave a Reply