Mencermati China Pasca Kongres ke-19 Partai Komunis

Seperti sudah diprediksi banyak pengamat, akhirnya Kongres Nasional ke-19 Partai Komunis China (PKC) yang berlangsung pada 18-25 Oktober 2017 sepakat mengubah konstitusi partai dengan memasukkan pemikiran-pemikiran politik Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKC dan Presiden RepubliK Rakyat China (RRC) Xi Jinping mengenai “Sosialisme dengan Karakteristik China untuk Era Baru” ke dalam konstitusi, dan menjadikannya sebagai salah satu panduan utama partai. Melalui kesepakatan tersebut terlihat bagaimana kuatnya posisi Xi dalam kepemimpinan di China, yang bahkan disejajarkan dengan posisi pendiri RRC, Mao Zedong.

Menguatnya posisi Xi semakin terlihat ketika pada akhir kongres ia terpilih kembali sebagai orang nomor satu di Komite Tetap Politbiro, Sekjen PKC, dan Ketua Komisi Militer untuk lima tahun ke depan. Berbekal tiga jabatan penting tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa penetapan Xi sebagai Presiden Republik Rakyat China periode 2018-2023 pun hanya tinggal menunggu ketok palu dari Kongres Rakyat Nasional (sidang parlemen nasional) pada Maret 2018 mendatang.

Posisi Xi dalam kepemimpinan di China bukanlah hal yang asing mengingat sejak berada di tampuk kekuasaan dengan terpilih sebagai Sekjen PKC pada 2012, ia telah berhasil mengkonsolidasikan kekuatan internal PKC. Melalui kampanye anti-korupsi selama lima tahun terakhir, Xi berhasil membersihkan keanggotaan dalam tubuh partai dari faksi politik yang berseberangan dengannya. 

Sekitar 1,3 juta orang yang melakukan korupsi ditangkap dan dipecat dari keanggotaan PKC, termasuk mereka yang duduk di posisi-posisi strategis seperti di Politbiro dan Komite Sentral. Melalui Kongres ke-19 Xi kemudian menempatkan para loyalisnya dalam posisi-posisi strategis di partai, militer dan pemerintahan. Dengan langkah semacam ini, maka semua kebijakan dan programnya dapat dipastikan mendapat dukungan penuh dari seluruh pemimpin tinggi partai.

Bukan hanya itu, Xi pun berhasil membuktikan kepemimpinannya untuk menjaga kesinambungan proses reformasi dan keterbukaan terhadap dunia luar dalam membangun perekonomian China seperti yang dicanangkan Deng Xiaoping pada akhir 1970-an. Di bawah kepemimpinan Xi, China kini telah menjadi kekuatan ekonomi besar dunia yang membuat gentar banyak negara.

Jika dibandingkan dengan Deng Xiaoping yang lebih memusatkan perhatian pada pembangunan ekonomi dalam negeri dan cenderung tidak ingin memperlihatkan pengaruhnya di dunia internasional, maka China di bawah Xi justru terlihat lebih asertif dalam mengejar kepentingan nasionalnya. Xi terlihat ingin mewujudkan “Impian China” yaitu menjadikan China yang bukan saja sebagai kekuatan besar di bidang ekonomi, tetapi juga sebagai negara yang memiliki pengaruh kuat di bidang lain dan mampu memainkan peran yang menentukan.

Kebijakan Luar Negeri

Mencermati semakin kuatnya kekuasaan Xi yang seolah tanpa batas dan kebijakannya dalam lima tahun terakhir yang lebih asertif dalam mengejar kepentingan nasionalnya, maka dapat diperkirakan bahwa dalam lima tahun ke depan kebijakan luar negeri China pun tidak akan banyak berubah bahkan semakin agresif. Untuk itu, beberapa masalah politik yang diperkirakan akan menjadi kepentingan utama China yaitu masalah Taiwan, sengketa perbatasan di Laut China Selatan dan Timur, Korea dan hubungannya dengan Barat.

Dalam masalah Taiwan, Beijing tidak akan mengubah kebijakannya untuk mereunifikasi Taiwan selambat-lambatnya pada 2049 atau saat tepat perayaan 100 tahun sejak berdirinya RRC. Untuk itu, memperhatikan antara lain kedekatan Taiwan dengan negara besar seperti AS, maka China akan menahan diri untuk tidak melakukan tindakan agresif yang dapat merugikan kepentingannya. China akan terus melanjutkan kebijakannya untuk antara lain menghambat keikutsertaan Taiwan di organisasi internasional, dan mendorong kepemimpinan di Taiwan agar sejalan dengan kebijakan Beijing.

Dalam masalah Laut China Selatan dan Timur, diperkirakan China akan meningkatkan kehadirannya di kedua perairan tersebut. Di Laut China Selatan selain mengkondisikan agar situasi di kawasan tetap tenang dan meningkatkan kehadiran militernya, China juga melakukan pendekatan secara bilateral kepada negara-negara yang memiliki klaim di kawasan tersebut. Sedangkan di Laut China Timur, diperkirakan China akan lebih meningkatkan kekuatan militernya di perairan sekitar Pulau Senkaku/Diaoyu guna menghadapi peningkatan kekuatan militer Jepang di kawasan tersebut.

Sementara dalam masalah Korea, mengingat bahwa sebenarnya hubungan personal Xi dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un tidaklah terlalu baik, diperkirakan Xi akan memanfaatkan kekuasaan besar yang dimilikinya untuk mendekatkan China dengan Barat dengan antara lain terus memberikan tekanan terhadap Pyongyang.

Sedangkan dalam hubungannya dengan Barat, China akan cenderung menghindari tindakan-tindakan yang bersifat antagonis dan konfrontatif. China akan lebih memilih untuk melakukan pendekatan pada isu-isu non-militer dengan antara lain memilih untuk membahas isu-isu seperti perubahan iklim dan perdagangan.

Di bidang ekonomi, China juga akan terus memperluas pengaruhnya secara global, salah satunya melalui inisiatif pembangunan infrastruktur kawasan “satu sabuk dan satu jalur” yang diluncurkan Xi pada 2014. Melalui inisiatif tersebut, Beijing bermaksud menjamin kesinambungan pembangunan ekonominya, dan pada saat bersamaan mendorong perluasan produk ekspor China ke seluruh dunia. China tidak segan-segan untuk memberikan bantuan finansial dan teknis untuk pembangunan infrastruktur darat dan laut kepada negara-negara di kawasan. Sementara para pengusahanya difasilitasi dan didorong untuk lebih agresif memasuki pasar global.

Mencermati kebijakan luar negeri China yang diperkirakan akan semakin agresif pasca kongres, tidak mengherankan jika negara-negara di kawasan memberikan perhatian yang saksama. Bagi Indonesia, yang juga sedang berupaya melakukan pembangunan ekonomi, arah kebijakan luar negeri China lima tahun ke depan perlu dicermati dengan saksama mengingat terdapat isu-isu yang bersinggungan dengan kepentingan nasional Indonesia, seperti isu laut Natuna Utara dan pembangunan infrastruktur terkait poros maritim.

Indonesia yang memiliki perjanjian kemitraan strategis-komprehensif dengan China mesti dapat memaksimalkan pemanfaatan perjanjian kemitraan tersebut untuk membangun kerja sama bilateral yang solid. Sementara itu, dengan mengesampingkan segala perbedaan yang ada, Indonesia dapat terus melanjutkan kerja sama kawasan dan membangun arstitektur kerja sama kemitraan yang komprehensif.

Aris Heru Utomo diplomat madya, pernah bertugas di KBRI Beijing 2011-2015. Tulisan ini pendapat pribadi

 

dimuat di Kolom detik.com  https://news.detik.com/kolom/d-3705913/mencermati-china-pasca-kongres-ke-19-partai-komunis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *