Mengawali tahun 2020, masyarakat ibu
kota Jakarta dan daerah-daerah di sekitarnya dihadapkan pada musibah banjir
yang besar. Hujan lebat
yang tercurah sepanjang hari membuat air meluap dan membanjiri banyak kawasan.
Siap tidak siap, musibah yang datang tersebut mesti dihadapi masyarakat dengan
tabah dan sabar serta bersama-sama bergotong royong meringankan beban yang
terkena musibah.
Kata gotong royong sendiri berasal dari Bahasa Jawa yang berarti memikul
(gotong) dan secara bersama-sama (royong). Sehingga gotong royong ini dapat
diartikan dengan bekerjasama dalam menyelesaikan suatu kegiatan tertentu yang
menyangkut kegiatan bersama.
Dalam musibah banjir yang terjadi di awal tahun, terlihat semangat gotong
royong masyarakat dalam menolong korban banjir muncul ke permukaan. Tanpa
menunggu bantuan dari Pemerintah, secara spontan masyarakat melakukan kerja gotong
royong dengan turun langsung ke berbagai
lokasi banjir antara lain guna membantu para korban mengungsi, menyiapkan penampungan,
memberikan bantuan pangan, memberikan pengobatan dan lainnya.
Sejalan kemajuan teknologi informasi, gotong royong tidak hanya
dilakukan di lokasi bencana tetapi juga di dunia maya. Netizen bergotongroyong dengan
antara lain saling bertukar informasi mengenai lokasi banjir agar warga bisa
bersiap menghadapinya ataupun melakukan penggalangan bantuan secara online dan
kemudian menyalurkannya ke anggota masyarakat yang terkena musibah.
Hanya saja berbeda dengan gotong royong di dunia nyata yang terasa
sekali semangat kekeluargaannya, gotong royong di dunia maya justru disertai
perang antarbuzzer. Para buzzer memanfaatkan musibah banjir untuk menuding bahwa
penyelenggara negara kurang cakap mengelola bencana, terutama kepada penyelenggara
negara yang berasal dari lawan politiknya.
Para buzzer tersebut, yang banyak diantaranya tercatat berpendidikan
tinggi dan memiliki latar belakang profesi terhormat, rela mengorbankan
reputasinya untuk menyerang dan memframing berita bohong terhadap orang-orang
yang dipandang tidak sejalan dengan kelompoknya.
Hal tersebut di atas tentu saja sangat menyedihkan karena menciderari
semangat gotong royong yang diwarisi dan dibanggakan leluhur Bangsa Indonesia. Sebagai
salah satu sarana pemersatu bangsa, nilai gotong adalah semangat yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku atau tindakan individu yang dilakukan tanpa
mengharap balasan untuk melakukan sesuatu secara bersama-sama demi kepentingan
bersama atau individu tertentu.
Dalam kaitan ini maka upaya untuk meneguhkan kembali nilai-nilai dan semangat
gotong royong dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kiranya sangat dibutuhkan
apabila kita tidak ingin Bangsa Indonesia terpecah belah karena hilangnya
semangat persatuan yang dilandaskan pada gotong royong.
Budaya Gotong
Royong di Indonesia
Di Indonesia, terutama di pedesaan, budaya gotong royong sebagai warisan leluhur hingga
saat sekarang ini masih terasa kuat dan terlihat dalam berbagai kegiatan mulai,
dari kerja bakti di kampung hingga saling bantu membantu dalam kegiatan perayaan
keagamaan. Beberapa kegiatan yang masih sering dilakukan antara lain “nyadran”
di Jawa Tengah, “gugur
gunung” di Yogyakarta dan “sambatan” di Jawa Timur.
Nyadran adalah kerja bakti membersihkan makam leluhur menyambut bulan
Ramadhan. Gugur gunung adalah tradisi gotong royong di pedesaan untuk membangun
jalan, membersihkan selokan atau memelihara kebersihan lingkungan. Adapun sambatan adalah tradisi gotong royong
membantu salah seorang anggota masyarakat yang hendak membangun rumah.
Dalam tradisi tersebut masyarakat bergotongroyong
menyelesaikan suatu pekerjaan
tanpa menanyakan ras, agama, suku
atau golongan, serta tidak
ada yang menanyakan mengenai pilihan politik. Anggota
masyarakat secara
bersama-sama dan tanpa imbalan jasa merasa terpanggil untuk melaksanakan
dan menyelesaikan suatu pekerjaan.
“Gotong Royong adalah
faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara!
Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan
satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat
Soekardjo satu karyo, satu gawe,” demikian disampaikan Soekarno atau Bung Karno dalam pidatonya di
hadapan peserta Sidang
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1 Juni 1945.
“Tetapi barangkali tidak
semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja?
Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu
itu? Gotong Royong,” ujar Bung Karno.
Bung Karno sangat yakin untuk menjadikan gotong royong sebagai sari pati
dasar negara Pancasila karena telah memikirkannya sejak lama dan melalui proses
perenungan yang mendalam.
Sebagaimana
diketahui, sejak muda
Bung Karno telah banyak membaca buku-buku teks pemikiran tokoh-tokoh dunia dan
berdialog dengan banyak pihak. Sebagai contoh, saat berada di pembuangan di Ende
(1934-1938) Bung Karno banyak berdiskusi dengan para Pastur dan membaca literatur
yang nereka miliki.
Di Ende pula diketahui bahwa
Bung Karno sering duduk-duduk dan merenung di bawah sebuah pohon sukun bercabang lima,
tidak jauh dari rumah pengasungannya. Dari hasil perenungannya tersebut muncul gagasan mengenai lima dasar
atau yang kelak disebut sebagai Pancasila,
Bung Karno melihat bahwa gotong royong yang hidup dan tumbuh berkembang di
masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia. Bung Karno pun
menyadari bahwa negara Indonesia sejatinya dibangun dengan semangat gotong
royong yakni mengembangkan persatuan dari beraneka ragam perbedaan, bukan
menolak persatuan.
Gotong Royong
Pancasila Kini
Setelah
berakhirnya Pemerintahan Bung Karno dan digantikan oleh pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Suharto pada 1967, pemikiran Bung
Karno mengenai Pancasila dan gotong royong seperti dilupakan. Penataran mengenai Pedoman
Pendidikan dan Pengamalan
Pancasila (P4) yang dilakukan semasa Orde Baru lebih dimaknai sebagai
indoktrinasi pemahaman Pancasila versi penguasa.
Selama 32 tahun Pemerintahan Orde Baru, Pancasila hanya digunakan sebagai alat politik untuk
mempertahankan status quo
kekuasaan. Tidak
mengherankan apabila pada masa itu Pancasila
kerap dipahami hanya sebagai norma-norma individu, Pancasila bukan dipahami sebagai
norma-norma dalam peneyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Sayangnya, ketika Pemerintaham Orde Baru berganti ke Orde Reformasi 1998,
alih-alih mengoreksi Pancasila, Pemerintah justru menghapus ingatan Pancasila
dari ruang publik. Pemerintah menghapuskan ketentuan mengenai Pancasila sebagai
satu-satunya asas setiap organisasi. Belakangan diikuti penghapusan pelajaran
Pancasila di bangku pendidikan
Harus diakui bahwa dihilangkannya Pancasila dari ruang publik tersebut
pada dasarnya tidak terlepas dari kekhawatiran di sebagian masyarakat bahwa
membicarakan Pancasila sama saja dengan mempertahankan kebijakan Orde Baru. Akibatnya
masyarakat sekarang ini, terutama generasi muda, banyak yang tidak lagi
mengenal dan memahami norma-norma Pancasila sehingga mudah terpengaruh ideologi
lain, khususnya yang berbasis agama.
Ketidakkehadiran Pancasila di ruang publik tersebut pada gilirannya
berpengaruh pada pengelolaan pemerintahan. Rasa Pancasila tidak menonjol dalam
kebijakan pemerintah, terutama di Kementerian/Lembaga. Akibatnya pula, ketidakadilan
sosial yang antara lain diakibatkan oleh perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme tidak
semakin berkurang seperti yang dicita-citakan oleh Orde Reformasi.
Tantangan
terhadap gotong royong
Dengan dihapusnya upaya pembelajaran dan pemahaman Pancasila di ruang
publik dan sejalan dengan perkembangan global serta kemajuan teknologi
informasi, tata kehidupan masyarakat di Indonesia pun mengalami perubahan. Perilaku
gotong royong yang dimiliki masyarakat dari berbagai lapisan tampak luntur.
Sebagai contoh, apabila di masa lalu sikap saling membantu dan mengenal satu
sama lain sangat menonjol dalam kehidupan bertetangga, sekarang semangat gotong
royong tersebut terasa berkurang, terutama di perkotaan.
Di kota-kota besar, sudah menjadi pemandangan umum bahwa seorang anggota
masyarakat yang tinggal dalam lingkungan tertentu belum tentu mengenal tetangganya.
Kalaupun mengetahui dan mengenalnya, bisa jadi sangat jarang bertemu atau
melakukan komunikasi tatap muka. Komunikasi hanya dilakukan melalui gawai. Saat
ada gotong royong atau kerja bakti diwakilkan kepada pembantunya atau orang
lain.
Di kota-kota besar masyarakat menjadi cenderung individualis, konsumtif,
dan kapitalis sehingga rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan senasib
sepenanggungan antarsesama manusia mulai hilang tergerus arus globalisasi yang
mempunyai dampak negatif serta dampak positif tanpa difilter terlebih dahulu
oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Arus globalisasi dalam bidang sosial
budaya begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama kalangan muda.
Pengaruh globalisasi telah membuat banyak anak muda seakan kehilangan
kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Dari cara berpakaian misalnya,
banyak remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya
Barat, berpakaian minim dan bahan yang digunakan memperlihatkan bagian tubuh
yang seharusnya tidak terlihat.
Dari cara berperilaku, remaja cenderung mencoba sesuatu yang baru yang
tidak mempedulikan dampaknya dan akibat yang ditimbulkannya. Ada juga budaya
“gotong royong” yang diterapkan pada kondisi yang salah. Misalnya, sikap
terlalu “setia kawan” pada kawan yang justru sudah jelas kesalahannya dalam
suatu hal, tetapi tetap saja didukung dengan setia.
Menumbuhkan
Kembali Gotong Royong
“Tentu saja hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Namun seperti kata
Bung Karno, keindahan gotong royong
tidak akan dirasakan tanpa perjuangan. “Tidak ada suatu weltanschauung dapat menjadi kenyataan, jadi realiteit, tanpa
perjuangan,” ujar Bung Karno menyikapi perlunya upaya untuk menumbuhkan dan
memelihara gotong royong.
Untuk itu, guna membangkitkan kembali semangat gotong royong, salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberdayakan keluarga. Strategi yang
ditempuh adalah pembangunan berbasis masyarakat dengan menempatkan manusia atau
penduduk sebagai titik sentral pemberdayaan dan prioritas pembangunan.
Melalui pemberdayaan keluarga, manusia diberikan peran yang cukup
strategis dan diberikan kesempatan untuk membangun dirinya dan orang-orang di
sekitarnya melalui kegiatan yang sifatnya bisa meningkatkan dan menghidupkan
kembali semangat gotong-royong, yang akhir-akhir ini mulai mengendor.
Perlu ada dukungan dari berbagai pihak, terutama dari instansi dan
lembaga sosial kemasyarakat, untuk bersama-sama membangun kebersamaan dan
menciptakan sesuatu yang berharga yang sebelumnya tidak atau belum terpikirkan.
Mengobarkan semangat yang tinggi dan berusaha mewujudkan adanya budaya kerja
keras yang ada manfaatnya dan mempunyai dampak nyata bagi masyarakat, bukan
hanya dengan berbicara saja, tetapi ada buktinya di lapangan.
Dalam kaitan ini kehadiran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjadi sangat penting dalam mengenalkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. BPIP berperan penting untuk mendorong kebijakan pengembangan masyarakat yang berbudaya belajar, budaya membangun dan budaya kerja keras dalam bidang usaha dan akhirnya akan terbentuk budaya gotong royong dan peningkatan kehidupan yang lebih sejahtera.
Hilangnya semangat gotong royong ini bisa dikurangi bila semangat kerja
keras ini bisa dikembangkan dengan lebih baik. Hal ini dapat dilakukan apabila
seluruh elemen masyarakat bersama-sama berkomitmen untuk meneguhkan habitus gotong royong
dalam kehidupan masyarakat dan penyelenggara negara dengan rasa
Pancasila. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan perjuangan.
Leave a Reply