Mengikuti himbauan pemerintah untuk
menghindari perjalanan di libur panjang dan memelihara kedisiplinan terhadap
protokol kesehatan Covid-19, saya pun menghabiskan sebagian besar waktu libur
panjang Maulid Nabi Muhammad SAW 1442 H pada 23 Oktober – 1 November 2020 di
rumah saja dengan antara lain berkumpul bersama keluarga, membaca buku dan
menonton film di saluran televisi digital, salah satunya adalah film “Hadratussyaikh
Sang Kiai”.
Hadratussyaikh Sang Kiai atau Sang Kiai adalah
film drama Indonesia produksi Rapi Films dengan sutradara Rako Prijanto dan
dirilis pada tahun 2013. Film Sang Kiai merupakan Film Terbaik Festival Film Indonesia
(FFI) 2013 dan mendapatkan penghargaan untuk kategori Pemeran Pendukung Terbaik
bagi Adipati Dolken yang berperan sebagai Harun.
Meski dirilis tahun 2013 atau tujuh
tahun lalu, harus diakui bahwa baru kali ini saya menontonnya. Dua alasan saya
memilih film ini untuk ditonton adalah statusnya sebagai film terbaik dalam FFI
2013 dan temanya yang sejalan dengan semangat peringatan Maulid Nabi Muhammad
SAW yang jatuh pada 29 Oktober 2020 dan masih berdekatan dengan Hari Santri 22
Oktober 2020. Bukankah memperingati Maulid Nabi berarti mempraktekkan segala
ajaran Islam dan mengikuti tauladan Nabi Muhammad SAW melalui ulama. Ulama
adalah rujukan bagi umat Islam sebagai tempat belajar dan bertanya tentang
kehidupan di dunia, khususnya persoalan agama. Ulama dinilai sebagai orang yang
mumpuni untuk menjawab persoalan-persoalan menyangkut agama.
Film Sang Kiai mengangkat kisah perjuangan
ulama dan santri pada awal tahun 1940-an menghadapi penjajahan Jepang yang
dipimpin salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dari Jombang, Jawa
Timur yakni Hadratussyaikh K.H Hasyim Asyari (14 Februari 1871 – 25 Juli 1947). K.H Hasyim Asyari adalah
pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur sekaligus merupakan
salah seorang ulama yang paling dihormati dan berpengaruh di tanah Jawa yang
menjadi tokoh sentral dalam film ini.
Film Sang Kiai ini dibintangi antara
lain oleh Ikranegara sebagai K.H Hasyim Asyari, Christine Hakim sebagai Masrurah/Nyai
Kapu, Agus Kuncoro sebagai K.H Wahid Hasyim (putra pertama K.H Hasyim Asyari
dan ayahanda Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur), dan Adipati
Dolken sebagai Harun.
Adegan di film Sang Kiai dibuka dengan
suasana penerimaan calon santri di pesantren Tebuireng yang diasuh Hadratussyaikh
K.H Hasyim Asyari dan kedekatan Kiai dengan salah seorang santrinya yang bernama
Harun. Harun digambarkan sangat dekat dengan Sang Kiai dan sering diberikan
nasihat, termasuk menjodohkan Harun dengan seorang wanita dan menjadi wali
nikahnya.
Dalam sejarah resmi, jarang orang yang
tahu nama Harun begitu kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PNNU)
K.H Said Agil Siroj dalam “Webinar Nasionalisme Santri, Ketahanan Pancasila dan
Indonesia yang Kuat” yang diselenggarakan bersama oleh Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) dan PBNU dalam rangka memperingati Hari Santri ke-5 tanggal 23
Oktober 2020.
“(Harunlah) yang memasang bom di mobil Brigjen
Mallaby bukan tentara, Harun adalah santri
Tebuireng yang kemudian ikut gugur,” begitu kata K.H Said Agil Siroj.
Dari adegan suasana penerimaan santri,
adegan kemudian bergulir ke suasana perjuangan Sang Kiai melawan penjajah Jepang.
Sang Kiai ditangkap Jepang dan ditahan dan disiksa selama sebulan di tahanan di
Mojokerto karena menentang keinginan penjajah Jepang dan menganggap peraturan yang
dikeluarkan penjajah Jepang melanggar akidah Islam.
Saat Sang Kiai ditahan, berbagai upaya dilakukan
untuk membebaskan Sang Kiai, seperti melalui unjuk rasa yang dipimpin Harun
maupun melalui pendekatan dan diplomasi yang dipimpin putra Sang Kiai, K.H
Wahid Hasyim.
Sebagai sosok ulama yang luas ilmunya
dan memiliki kadar ketakwaan yang tinggi, Sang Kiai tentunya sangat berhati-hati
dalam bersikap dan menyusun strategi dan arah kebijakan menghadapi penjajah
Jepang dengan selalu mendasarkan segala tindakannya pada ajaran agama.
Kehati-hatian atau sikap moderat Sang Kiai,
yang antara lain tampak dari kesediaannya “bekerjasama” dengan Jepang dalam memberikan
hasil bumi dan menyetujui pasukan pembela pertahanan yang disebut Hisbullah, sempat ditafsirkan oleh Harun sebagai sikap
dan strategi yang keliru dan lemah.
Belakangan Harun menyadari kekeliruannya
dalam menafsirkan startegi dan arah kebijakan Sang Kiai yang ternyata mampu melihat
jauh ke masa depan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sang Kiai sendiri tidak mempermasalahkan
munculnya salah tafsir atau prasangka buruk terhadap strategi dan arah kebijakannya
menghadapi penjajah Jepang. “Prasangka buruk tidak selamanya berasal dari niat
uruk, tapi bisa jadi berasal dari ketidaktahuan saja.” ujar Sang Kiai kepada
istrinya Nyai Kapu, yang pada suatu kesempatan menyatakan keheranannya akan
sikap Harun.
Selain menggambarkan dinamika strategi
dan arah kebijakan Sang Kiai seperti dalam hubungan Sang Kiai dengan Harun, film
ini dengan sangat baik berhasil memberikan informasi ke publik tentang alasan penetapan
tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Peran para santri dalam merebut
kemerdekaan dari penjajah Jepang dan mempertahankan kemerdekaan dari upaya Belanda
yang ingin kembali menguasai Indonesia digambarkan dengan apik, bukan hanya rajin
belajar agama saat di pesantren, tetapi juga mampu memanggul senjata dan
bertempur di medan laga.
Gambaran peran ulama dan santri sebagai
pejuang kemerdekaan diperkuat dengan suasana pertemuan para ulama dari berbagai
daerah yang melahirkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 (di film ditulis 22
September 1945), resolusi yang menjadi tonggak penting perjuangan kemerdekaan
Indonesia karena berisi fatwa jihad yang pendorong para santri untuk berjuang dan bersedia mati membela tanah air. Resolusi
Jihad ini merupakan jawaban atas pertanyaan Sukarno “apakah hukumnya apabila
mati atau tewas karena membela tanah air.”
Melalui adegan pertempuran yang dilakoni
para santri menghadapi NICA di Surabaya dan sekitarnya, film ini juga berhasil
memperlihatkan semangat para santri dalam membela tanah air setelah mendengar ijtihad
Sang Kiai bahwa nasionalisme bagian dari iman (hubbul wathan minal iman).
Jargon hubbul wathan minal iman sendiri
dapat dikatakan merupakan bentuk kecerdasan K. H Hasyim Asyari dalam merespon tantangan
umat Islam, bukan hanya di Indonesia tetapi juga dunia pasca runtuhnya kekhalifahan
Islam terakhir yaitu Kekhalifahan Usmani yang dibubarkan pada 1 November 1922
dan diganti dengan Republik Turki pada 29 Oktober 1923 dengan Ankara sebagai
ibukotanya.
Pada saat itu banyak negara atau daerah
yang penduduknya beragama Islam, termasuk di Nusantara, yang khawatir bahwa negara
atau wilayahnya akan dijadikan negara sekuler oleh penjajah seperti yang terjadi
di Turki. Untuk itu Sang Kiai mengabungkan teologi dan nasionalisme, sesuatu yang
bahkan tidak dilakukan oleh para ulama Timur Tengah. Melalui jargon Hubbul
Wathan Minal Iman dilakukan penggabungan antara keimanan dan politik kebangsaan
secara harmonis. Anda beriman harus nasionalis, anda nasionalis harus beriman.
Melalui jargon tersebut dan berangkat
dari sikapnya yang moderat dan toleran K.H Hasyim Asyari mendorong kemerdekaan
bangsa Indonesia dan menjadikannya sebagai negara Darussalam (negara yang
damai) yaitu negara kebangsaan yang merekrut semua komponen bangsa yang ada,
bukan negara Darul Islam ataupun negara Darul Kufr.
Dalam film Sang Kiai, pemikiran atau
jargon K.H Hasyim Asyari diucapkan melalui K.H Wahid Hasyim saat suatu malam berjalan
beriringan dengan Sang Kiai. “Agama dan nasionalisme bukan dua kutub yang
berseberangan. Berawal dari agama lalu akan timbul nasionalisme. Nasionalisme adalah
bagian agama,” begitu perkataan yang dikemukakan K.H Wahid Hasyim.
Kini setelah 75 tahun kemerdekaan Indonesia
dan 75 tahun Resolusi Jihad, pandangan Sang Kiai bahwa nasionalisme adalah
bagian Iman
masih sangat relevan dan
tetap terus diperjuangkan dalam memelihara keutuhan Negara Kesatuan RI (NKRI).
Bahwa masyarakat Indonesia mesti membangun sebuah negara yang nasionalis reljius dimana
agama dibangun di atas tanah air. Karena itu barangsiapa yang tidak punya tanah
air, maka tidak akan bisa membangun agama dan tidak punya sejarah. Barangsiapa
yang tidak punya sejarah, pasti akan dilupakan.
Karena itu pula, apabila masih ada
sebagian orang yang mulai mempertanyakan soal agama dan nasionalisme, maka sebaiknya
orang-orang tersebut belajar sejarah dan meningkatkan literasinya untuk meningkatkan
pemahaman akan perjuangan para pendiri bangsa, termasuk perjuangan ulama dan
santri, dalam mempersatukan dan mendirikan negara dan bangsa Indonesia. Bukan
hanya mempelajari dan memahami perjuangan bersenjata di medan tempur, tetapi
juga perjuangan intelektual dalam bentuk ide dan gagasan seperti tampak dalam
pembentukan dasar negara, pandangan hidup berbangsa dan ideologi negara yaitu Pancasila.
Leave a Reply