1 Juni 2022 merupakan hari yang istimewa bagi masyarakat Ende karena untuk pertama kalinya peringatan Hari Lahir Pancasila tidak dilakukan di ibu kota negara, melainkan dipusatkan di kota Ende, sebuah ibukota Kabupaten Ende, provinsi Nusa Tenggara Timur. Kota ini merupakan Kota Kabupaten terbesar di Pulau Flores berdasarkan jumlah penduduk dalam kota.
Tidak sedikit orang yang kemudian menanyakan alasan mengapa peringatan Hari Lahir Pancasila pada tahun 2022 ini dipusatkan di Ende. Jawabannya tidak terlepas dari fakta sejarah bahwa selama 4 tahun 9 bulan dan 4 hari (14 Januari 1934 – 18 Oktober 1938) Sukarno atau Bung Karno pernah tinggal di Ende karena diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Saat diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Kota Ende inilah Sukarno mematangkan ide tentang dasar falsafah yang dapat berfungsi untuk menyatukan bangsa Indonesia yang bersifat majemuk dan menjadi dasar perjuangan kemerdekaan Indonesia yang sekarang dikenal sebagai Pancasila.
“Di Pulau Flores yang sepi, dimana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan Tuhan, kemudian dikenal sebagai Pancasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami tradisi-tradisi kami sendiri dan aku menemukan lima butir mutiara indah,” begitu diceritakan Sukarno dalam autobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Kedatangan Sukarno sendiri di Ende bukan tanpa beban. Seperti ditulis oleh Daniel Dhakidae “Soekarno dengan gagah perkasa menjalani hukuman penjara pertama, 1930, tetapi mengalami kehancuran mental, ketidakpastian sosial, dan disorientasi politik pada pemenjaraan kedua, 1933, sampai-sampai meminta belas kasihan pemerintah kolonial. Dalam keadaan begitu, Soekarno menjejakkan kakinya di dermaga Pelabuhan Ende, Februari 1934”. Kondisi ini semakin diperparah dengan kondisi masyarakat Ende yang masih terbelakang dan kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang menjauhkan Sukarno dari masyarakat sej ak kedatangannya di Ende.
“Ende, kampung nelayan yang dipilih sebagai penjara terbuka untukku, yang oleh Gubernur Jenderal diperkirakan akan kutempati selama sisa hidupku, memiliki penduduk sekitar 5.000. Mereka masih terbelakang. Menjadi nelayan, petani kelapa, atau petani biasa,” ujar Sukarno.
Letak Kota Ende yang sangat terpencil jauh dari keramaian, sepi dan jauh hingar bingar politik, sangat sedikitnya kawan diskusi, dan tidak ada buku penawar dahaga ilmu, memang menyulitkan Sukarno dan membuatnya depresi.
“Disamping tidak ada kerja, kesepian dan ketiadaan kawan, aku juga mengalami depresi yang hebat sekali. Pada hari-hari pertama itu Flores adalah tempat penyiksaan. Aku memerlukan suatu pendorong, atau aku akan membunuh diriku sendiri,” ujar Soekarno kepada Cindy Adams.
Seiring perjalanan waktu Sukarno pun dapat memulihkan kembali semangat perjuangannya dan dapat melewati masa kesepian yang menyiksa dengan kehidupan yang kreatif untuk menggali secara rasional maupun spiritual ide dan gagasan dasar negara yang sudah dipikirkannya sejak dari HBS (Hogere Burger School), keikutsertaan dalam organsisasi Tri Koro Darmo dan Jong Java Surabaya dan tinggal bersama HOS Tjrokoaminoto sebelum dimatangkan lagi di Bandung, termasuk saat berada di penjara.
“Di Ende yang terpencil dan membosankan itu aku memiliki banyak waktu untuk berpikir. Di depan rumahku tumbuh sebatang pohon kluwih. Berjam-jam lamanya aku duduk bersandar pada pohon itu, memanjatkan harapan dan keinginan. Di bawah dahan-dahannya aku berdoa dan berpikir, mengenai suatu hari … suatu hari … “, ujar Sukarno.
Sukarno membangun kembali kekuatan dirinya tahap demi tahap. Seperti ditulis Dhakidae, ada lima tahapan proses pemulihan Sukarno di Ende. Pertama, Soekarno menjadi seorang bapak keluarga tanpa gangguan kegiatan politik seperti di Bandung. Soekarno menanam sayur-mayur, memetiknya untuk dimasak di rumah kontrakannya demi lima anggota keluarganya. Sebagai bapak keluarga, Soekarno juga menjadi seorang Muslim yang taat—shalat sehari lima waktu dan setiap Jumat ke masjid.
Kedua, dari menjadi bapak keluarga, Soekarno perlahan-lahan menghidupkan kembali kegiatan intelektualnya dan menjadikan dirinya seorang ahli Islam. Di Jawa, keasyik-masyukannya dengan marxisme menenggelamkan perhatiannya terhadap Islam. Meskipun demikian, tulisan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, 1926, adalah manifesto politik Soekarno muda yang brilian, 25 tahun—tidak kalah dari Marx (30) dan Engels (28); ketiganya berada dalam kurun umur sama.
Ketiga, Soekarno membentuk masyarakatnya sendiri dengan mendirikan ”Kelimoetoe Toneel Club”. Ia membentuk klub tonil dengan dukungan tukang jahit, sopir, nelayan; beranggaran dasar dan Soekarno sendiri direkturnya. Sukarno menulis dan mementaskan 13 drama dalam tempo empat tahun atau rata-rata setiap triwulan satu drama. Tidak semuanya dalam bentuk tertulis karena sebagian berupa plot cerita dan dialog yang disampaikan lisan oleh Soekarno kepada para pemain dan kemudian dihapalkan. Dengan anggota antara 56 dan 90 orang, dia membentuk ”massa kecil”, kemudian jadi ”kampus” tempat diskusi. Sukarno menanam kesadaran akan kemerdekaan meski semuanya dalam bahasa simbolik teater karena lima polisi kolonial selalu mengawasinya.
Keempat, Perlahan Soekarno mengalihkan diri menjadi cendekiawan sejati dengan keluar melangkah ke suatu kelompok berbeda, dengan para pastor/misionaris. Bersama para pastur/misionaris, dipelajari agama mondial dalam diskusi dengan dukungan buku di perpustakaan pribadi para pastor itu. Sosialisme Soekarno dibandingkan langsung dengan sosialisme gereja yang dipelajarinya di sana.
Kelima, Menggali dan merenung tentang Pancasila. Berbekal bacaan yang dimintanya dari Ustad Ahmad Hassan di Bandung dan hasil diskusi dengan pastor/misionaris, Soekarno menggali dan merenung di bawah pohon sukun memikirkan tentang bentuk dasar negara Indonesia merdeka.
Seperti termuat dalam buku Dibawah Bendera Revolusi Jilid I pada judul “Surat-Surat Islam dari Ende”, tercatat 12 surat yang pernah dikirimkan Soekarno ke sahabatnya yaitu Ustad Ahmad Hassan, guru “Persatuan Islam” di Bandung. Surat pertama ditulis Soekarno pada tanggal 01 Desember 1934 (sepuluh bulan setibanya di Ende pada 14 Januari 1934). Surat terakhir ditulis Soekarno pada 17 Oktober 1936 (2 tahun sebelum perpindahannya ke Bengkulu pada 18 Oktober 1938). Semua surat tersebut dikirimkan berkala setiap 1-3 bulan sekali melalui Pos Kapal Laut. Dibutuhkan waktu hampir sebulan lebih untuk tiba di Jawa dan dibalas oleh teman dan gurunya itu.
Hermeneutika Karya Sukarno
Memperhatikan masa pengasingan Sukarno di Ende dan pemikiran-pemikiran genial yang dihasilkannya dalam menggali Pancasila ataupun berbagai isu kebangsaan lainnya seperti yang tercatat dalam Surat-surat Islam dari Ende dan berbagai naskah tonil, Direktorat Pengkajian Materi BPIP memandang perlu untuk melakukan kajian hermeneutika terhadap pemikiran Sukarno selama di Ende yang tertuang dalam surat-surat, naskah-naskah tonil, pidato dan karya lainnya.
“Mungkin banyak orang akan bertanya apa maknanya kita membaca surat-surat dan naskah-naskah tonil Bung Karno? Bukankah lebih bermakna kita membaca buku-buku atau referensi Soekarno seperti Dibawah Bendera Revolusi Jilid I dan II, atau Indonesia Menggugat, Lahirnya Pancasila, Sarinah, Pancasila sebagai Dasar Negara dan buku tentang Soekarno yang ditulis Cindy Adams yaitu Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia,” begitu kata Philipus Tule dalam tulisannya “Menyimak Ide Pembaruan (Tajdid) Islam Dan Isu Khilafah Dalam Surat-Surat Soekarno Dari Ende”.
Sebelum melangkah pada perlunya melakukan kajian hermeneutika karya Sukarno di Ende, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu makna dan pengertian surat dan naskah .serta hermeneutika itu sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘Surat’ adalah sarana komunikasi yang ditulis seseorang kepada pihak lain dengan tujuan menyampaikan pesan atau informasi berupa pemberitahuan, pernyataan, pertanyaan, permintaan, laporan, pemikiran, bahkan debat dan sanggahan tentang pendapat pihak lain itu. Surat itu memiliki banyak jenis. Salah satu adalah surat pribadi, yakni surat yang isinya bersifat kekeluargaan, persahabatan, atau pun perkenalan.
Adapun ‘Naskah’ dalam KBBI diartikan sebagai karangan yang ditulis dengan tangan (kini tentunya bisa ditulis secara elektronik). Sedangkan tonil adalah sandiwara atau drama yang dipentaskan. Dengan demikian naskah tonil adalah karangan yang ditulis untuk sandiwara atau drama yang dipentaskan. Dalam sebuah naskah sandiwara, cerita atau pesan yang ingin disampaikan diuraikan dan disusun secara sistematis di dalam konteks struktur dramatis dari satu adegan ke adegan lainnya. Tujuannya adalah agar naskah sandiwara yang dibuat dapat menjadi acuan ketika proses produksi.
Karena itu dalam sebuah naskah sandiwara dijelaskan pula mengenai latar, tempat, keadaan, dialog, sampai penokohan di dalamnya. Lebih lanjut, sebuah naskah disusun secara sistematis. Maksudnya, tulisan akan disusun di dalam konteks struktur dramatis. Hal itu akan membuatnya menjadi sebuah acuan ketika proses produksi.
Dari pengertian mengenai surat dan naskah sandiwara dalam KBBI kita melihat surat dan naskah sandiwara merupakan medium atau sarana untuk menuliskan pemikiran-pemikiran atau gagasan penulisnya.
Selanjutnya kita perlu memahami arti dasar dari hermeneutika itu sendiri. Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuein yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus.
Fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil-tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan. Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’.
Berdasarkan pendekatan hermeneutika maka seperti dikatakan Felix Baghi, kajian yang dilakukan diharapkan dapat menggarisbawahi ontologi kemungkinan dari konteks menafsir Sukarno untuk ke-Indonesia-an yang prospektif. Tafsiran itu didasarkan pada kekuatan imajinasi Sukarno tentang ke-Indonesia-an ke depan. Imajinasi adalah bagian kodrati eksistensi manusia. “Imagination lies at the very hearth of our existence.” Dalam pengertian yang sesungguhnya, imajinasi berkenaan dengan estetika, etika, religiositas, dan juga politik. Imajinasi adalah energi transformasi. Transformasi di sini bukan sesuatu yang kita lakukan terhadap sesuatu. Ia lebih berhubungan dengan sesuatu yang terjadi. Transformasi terjadi sebagai suara penengah yang dijiwai oleh roh yang baru setelah memiliki semacam vision untuk sesuatu yang lain. Roh itu tidak pernah mati.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka kajian yang dilakukan bertolak dari perspektif filosofis, dengan memusatkan perhatian pada refleksi hermeneutika tentang teks-teks warisan Sukarno baik sebelum, selama dan sesudah pembuangan di Ende. Refleksi hermeneutika di sini lebih dilihat sebagai dasar metodis untuk menangkap dan menjelaskan dimensi roh dan kehendak sebagai “kekuatan kemungkinan” (the power of possibility) dalam mengenal siapa itu Sukarno dan apa mimpinya tentang keislaman, dan tentang keindonesiaan ke depan.
Selain sebagai dasar metodis, refleksi hermeneutika di sini dilihat juga sebagai kritik. Kalau hermeneutika adalah “seni menginterpretasi’ (l’art d’interpréter) mimpi, mitos, hukum, teks,” (2007, 32) dan lain sebagainya, maka interpretasi seperti ini hanya mungkin terjadi jika ada salah penafsiran, salah pengertian, atau jika ditemukan makna ganda yang menimbulkan konflik interpretasi. Di sini, kritik hermeneutika dibutuhkan untuk menjernihkan suatu makna (sens). Untuk itu, jalan yang ditempuh dalam hermeneutika adalah “menjelaskan sejauh mungkin agar (kita) dapat memahami (teks) lebih baik.” Alasannya makna sebuah teks selalu terbentur pada konteks di mana teks itu tertulis dan makna itu juga merupakan jawaban atas setiap pertanyaan yang muncul pada teks.
Dari sini kita dapat melihat bahwa selama berada di Ende Sukarno melakukan proses aktivitas berpikir, berefleksi, dan bermeditasi untuk mengangkat dari kedalaman khasanah nilai sosial, budaya dan religi masyarakat lokal di persada nusantara, khususnya Ende.
Makna menggali yang digunakan Soekarno menunjukkan bahwa selama berada di pengasingan di Ende, Soekarno sesungguhnya tak diasingkan dari kebiasaan menggunakan daya rasional kritis dan kreativitas seni sebagaimana diungkapkan dalam berbagai karyanya seperti Surat-Surat Islam Dari Ende, tonil-tonil dan beberapa lukisannya. Dalam karya-karyanya tersebut dapat dilacak ide pembaruan yang dilakukan Soekarno baik terkait masalah kebangsaan ataupun agama (Islam).
Dalam surat pertamanya misalnya, Soekarno minta untuk dikirimkan buku pengajaran shalat, utusan Wahabi, Al-Muchtar, debat Talqien, Al Burhan, Al-Jawahir, dan sebuah risalah yang membicarakan tentang “sayid.” (sebutan kepada orang Arab keturunan Nabi Muhammad SAW).
Selanjutnya terdapat pendapat-pendapatnya tentang kehidupan keagamaan Islam yang dialami dan disaksikannya di Ende di kalangan umat dan beberapa tokoh Hadramaut. Dalam surat kedua yang dikirimkan pada 25 Januari 1935, Soekarno misalnya menyatakan pentingnya mempelajari hadits nabi karena menurut pandangannya Islam menjadi mundur oleh karena banyak orang yang menjalankan hadits palsu atau dhaif. Karena hadits seperti itulah maka agama Islam seperti diliputi kabut-kabut kekolotan, ketakhyulan, bid’ah-bid’ah, anti rasionalisme dan lain-lain. Padahal tidak ada agama yang lebih rasional dan simplitis selain Islam.
Leave a Reply